Narendra Kabur

1076 Words
BSM 8 Narendra pergi meninggalkan acara makan malam dengan sembunyi-sembunyi. Ia terpaksa melakukan ini karena tak rela dijodohkan dengan perempuan pilihan mamanya yang sebenarnya sudah ia kenal sejak kecil. "Biar aja mama tahu kalau aku ngga mau dijodohin." Narendra bergumam sambil melihat layar ponsel untuk memantau pergerakan driver ojek online. Seorang driver ojek online berhenti tepat di depan Naren yang sudah menunggu di ujung jalan. Niat nekatnya kali ini terbilang lancar karena hingga beberapa saat menunggu, Fara tak juga mencari keberadaannya. "Dengan Pak Naren?" tanya driver ojek tersebut. "Iya, Pak. Saya Narendra." "Silahkan, Pak." Sebuah helm diulurkan oleh driver ojek tersebut. Dengan cepat Naren naik di atas jok sambil tangannya memasang pengait helm di bawah dagunya. "Alamatnya sesuai aplikasi ya, Pak?" "Iya, Pak. Agak cepet ya? Takut kemalaman soalnya." "Baik, Pak." Setelah motor mulai melaju, ponsel Naren terdengar berbunyi. Mata Naren mengintip layar ponsel yang terdapat tulisan nama si pemanggil. Dalam hatinya, ia bersyukur karena setelah motor melaju, mamanya baru menghubungi. Sudah bisa dibayangkan bagaimana berkobarnya amarah Bu Sarah ketika Naren pulang nanti. Seisi rumah pasti penuh dengan suara Bu Sarah yang menggelegar. Sayangnya, Naren tak peduli. Ia tetap membiarkan driver ojek online mengendarai motornya melaju sesuai alamat yang tertera di aplikasi. "Mas Naren?" pekik Nara kaget saat melihat Narendra tiba-tiba sudah ada di depan rumahnya. Naren menatap wajah Nara penuh rasa bersalah. Sebuah senyum kecil membalas rasa kaget Nara yang masih tak percaya kekasihnya tiba-tiba ada di depan rumahnya. "Boleh masuk kan?" tanya Naren yang masih terdiam di depan pintu menatap wajah kaget Nara yang membuatnya menahan senyuman. "Bolehlah. Kok tiba-tiba ada di sini?" Nara mundur untuk memberikan kesempatan pada Naren masuk ke ruang tamu. "Kenapa? Ga boleh?" jawab Naren setelah ia meletakkan bobot tubuhnya di atas sofa. "Boleh aja sih. Cuma tumben aja ngga ada kabar apapun tau-tau sudah ada di depan pintu." "Aku ngga kuat nahan rindu," goda Naren sambil mengerling nakal. Dalam hatinya, Naren bersyukur bisa lepas dari acara makan malam itu. Minimal ia bisa menghindar untuk memberi pelajaran pada Fara bahwa dirinya tidak menginginkan perjodohan itu. "Ck! Gombal," sela Nara seraya mencebikkan bibir. "Iya. Ngga percaya? Buktinya aku datang loh." Nara melirik jam yang ada di atas pintu pembatas ruang tamu dengan ruang tengah. Sudah hampir pukul sembilan, dan ini tidak biasanya. "Emangnya mau ngajak aku keluar ya?" Naren turut melirik jam di pergelangan tangannya, lalu pikirannya menimbang-nimbang sesuatu. "Ini sudah malam. Ngga baik kalau jalan berangkatnya sudah malam begini. Nanti pulangnya kemalaman." "Oke, tapi aku masih ngga percaya aja Mas bisa datang jam segini." Naren terkekeh. Kekasihnya ini memang sulit dibohongi. Akan tetapi ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. "Enggak, tadi habis diajak jalan sama Fatih. Eh dia janjian sama gebetannya. Ya, aku tinggal kabur aja. Masak bosnya ini jadi obat nyamuk? Enak aja?!" Naraya tergelak mendengar cerita Naren. Sebab tak biasanya ia menemani sahabatnya untuk berkencan. "Na, ketawanya kenceng banget. Ada siapa sih?" tanya Bu Fatimah dari dalam ruang jahitnya. "Ada Mas Naren, Bu." Nara membalas pertanyaan ibunya dengan teriakan. "Ibu sedang apa? Kok tumben kamu yang bukain pintu? Lagi banyak kerjaan ya?" bisik Narendra. Beberapa kali Narendra datang ke rumah selalu Bu Fatimah yang membukakan pintu. "Lagi ngerjain pesenan gaun, Mas. Gaun pengantin, bagus banget." Ada binar cerah di dalam manik hitam milik Nara. Seperti ada sebuah harapan dalam dirinya akan mendapatkan gaun yang sama dengan gaun yang sedang dibuat oleh ibunya. Melihat Binar itu, seketika d**a Narendra berdesir. Ditambah dengan makan malam yang baru saja digelar membuat Naren makin digelayuti rasa bersalah. "Wah kayaknya bisa dibuat referensi gaun buat nikahan kita nanti dong?" hibur Naren penuh semangat. "Iya, Mas. Tadi aku mikirnya juga gitu." Raut wajah cantik yang tadinya dihiasi binar bahagia, perlahan redup bak rembulan yang tertutup awan mendung. "Sabar ya, Sayang. Mas lagi usaha." Naren menggeser duduknya lebih dekat dengan badan Naraya. Tangan kekar yang bersih itu terulur mengusap bahu Naraya. "Iya, aku sabar kok," sahut Nara. Embusan napasnya yang dalam sedikit bisa mengurai sesak yang menggumpal dalam dadanya. "Walah, ada Nak Naren," sapa Bu Fatimah yang baru saja keluar dari dalam rumah. "Kok ndak dibuatkan minum to Nduk?" Pandangan lembut wanita berciput abu tua itu memandang putrinya yang tepat berada di depannya. "Ngga usah, Bu. Saya ngga lama. Cuma mampir aja kok." "Beneran ngga usah? Ngga sopan Nak Naren, kalau ada tamu ngga dibuatin minum." "Iya. Jangan nolak ya, Mas. Biar aku buatin minuman sebentar." Tanpa permisi lagi, Naraya berdiri dari duduknya dan melesat menuju dapur kecil yang berada di bagian belakang rumah sederhana ini. "Wah saya jadi merepotkan, Bu." "Ya, enggak lah, Nak. Namanya tamu ya harus di muliakan. Ngga baik kalau dibiarkan ngga ada apa-apa di meja ini." "Ditunggu sebentar ya, biar dibuatkan Nara," sambung Bu Fatimah sebelum ia pergi dari hadapan Naren. Dering ponsel mengganggu ketenangan Narendra di ruang tamu milik Bu Fatimah. Ia segera meraih ponsel itu di dalam saku dan melihat nama yang tertera dalam layar panggilan. "Ck! Mama lagi!" desis Naren kesal. Dengan kasar Naren melempar ponselnya ke sudut sofa di sisi kanannya. Ia kembali duduk bersandar pada sandaran sofa yang sudah tak lagi empuk tersebut. "Siapa, Mas? Kok dibiarin bunyi? Ngga diangkat?" tanya Nara sambil membawa segelas air jeruk manis di atas nampan. Dengan hati-hati Nara memindahkan gelas itu ke atas meja di hadapan Narendra. "Biarin aja." "Kok biar? Gimana kalau penting?" "Enggak, kok. Ngga penting." Mendengar reaksi Naren yang acuh, Nara mengernyitkan kening. Matanya melirik layar ponsel yang masih menyala itu. "Mama ya, Mas? Mas lagi berantem sama Mama?" Pandangan Nara beralih ke wajah yang sedang menyesap air yang baru saja disuguhkan olehnya. "Iya. Biarin aja lah." "Kok gitu? Jangan biarin aja lah, Mas. Nanti mama nyangkanya yang enggak-enggak sama aku." "Enggak, lah. Mama ngga tau kalau aku ke sini." Naren tak peduli. Ia masih saja sibuk menyesap air buatan Nara yang terasa melegakan tenggorokannya yang kering. Nara menghela napas dalam. Sikap Naren kali ini membuatnya kesal. Sikap acuh Naren pada panggilan mamanya membuat Nara khawatir akan kemungkinan buruk yang bisa saja memperparah hubungan percintaannya. "Tenang, Sayang. Mama ngga tahu kalau aku ke sini." "Beneran, Mas?" "Iya. Kamu jangan khawatir ya? Aku kangen banget sama kamu. Besok kita jalan ya?" "Jalan? Kemana?" "Kemana aja. Harusnya hari ini, tapi tadi ada keperluan mendadak jadi aku ga bisa ajak kamu jalan. Tapi besok pasti jadi. Habis Magrib kamu siap-siap ya?" ujar Narendra sambil mengerling nakal. Nara tergelak melihat wajah Naren yang genit itu. Mendung yang sejak tadi bergelayut dalam hatinya perlahan sirna seiring dengan sikap Narendra yang melucu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD