Amukan Bu Sarah

1059 Words
BSM 9 "Apa-apaan si Naren ini! Bisa-bisanya kabur dari acara," sungut Bu Sarah setelah sampai di rumahnya. Ia melempar tasnya di atas sofa lalu membanting bobot tubuhnya di atas sofa tersebut. "Makanya kamu jangan maksa anak." Pak Hadi menimpali. Ia turut duduk di sebelah istrinya. "Jangan maksa gimana? Orang tua itu selalu mau yang terbaik buat anaknya. Fara gadis yang baik, dari keluarga baik-baik juga. Kerjaan bagus, cantik lagi. Apanya yang kurang?" Wajah wanita paruh baya yang penuh dengan balutan mekap itu kembali tersulut emosi. Pandangannya tak lagi datar, ada kilat-kilat yang membuat mata itu menatap suaminya dengan tatapan tajam. "Ini namanya kamu maksa. Ya, jangan salahin kalau dia kabur." "Papa ini bukannya bantuin, malah bilang seperti itu!" "Bantuin apa? Sudah dibantu gini, kok!" "Bantu apa! Ini malah bikin mama emosi aja!" Bu Sarah makin kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan d**a. "Ck! Kamu ini selalu aja keras kepala!" Pak Hadi menyahuti. Sejenak kemudian tubuh lelaki pensiunan guru itu bangkit dari duduknya dan meninggalkan sang istri seorang diri di ruang tamu. "Pa! Diajak ngobrol malah kabur loh!" Mata Bu Sarah melotot menatap tubuh lelaki sah-nya berjalan kian menjauh darinya. "Dua laki-laki di rumah ini ngeselin semuanya! Ngga ada yang bisa diandalkan!" omel Bu Sarah lagi. Dengan kasar, Bu Sarah membuka tas kecil yang ia letakkan di atas meja lalu mengambil ponsel dari dalamnya. "Kemana kamu ini! Ditelpon dari tadi ngga diangkat!" ocehnya lagi sambil mencari kontak sang putra dalam ponselnya. Setelah menemukan kontak milik Narendra, Bu Sarah menekan tombol gagang warna hijau. Ia menunggu panggilan itu tersambung dengan mulut tak henti mengomel. "Kemana kamu ini? Ditelpon dari tadi ngga diangkat!" sungutnya lagi saat satu panggilan tak juga mendapat jawaban. "Awas aja kalau pulang nanti!" sambung Bu Sarah lagi. Ia lantas bangun dari duduknya dan berjalan ke dalam kamarnya. Hati yang penuh amarah itu makin panas ketika melihat sang suami sudah terlelap dalam tidurnya. "Bisa-bisanya tidur saat ada masalah begini." Bu Sarah membanting pintu dengan kerasnya. Wanita paruh baya itu berada dalam titik tertinggi emosinya. Ia bahkan tak peduli bahwa nada suaranya yang tinggi itu sangat mengganggu tidur sang suami. "Istri lagi marah, bukannya ditenangin malah didiemin." Sebuah lirikan mendarat di tubuh yang sedang berbaring di atas ranjang. Sedang ia tengah berdiri di depan lemari untuk mengambil baju ganti. "Ck!" desisnya sambil membawa baju ganti yang sudah berada di tangan ke luar ruangan. Tubuh tambun itu berjalan menuju kamar mandi yang berada di dekat dapur. Emosi yang sedang menguasainya membuat wanita paruh baya itu enggan berlama-lama berdekatan dengan suaminya yang beberapa hari ini selalu bertikai soal perjodohan Narendra. Ketidaksetujuan Pak Hadi atas pertunangan Narendra dengan Fara membuat mood Bu Sarah buruk akhir-akhir ini. Rasa cemburu yang besar membuatnya selalu menuduh bahwa masih ada sebuah rasa dalam diri Pak Hadi kepada Bu Fatimah, mantan kekasihnya jaman dahulu. Tuduhan negatif itu selalu terlontar dari mulut Bu Sarah saat Pak Hadi mencoba mengutarakan apa yang Narendra minta. Hingga malam tadi Narendra benar-benar nekat pergi dari acara makan malam yang telah susah payah dirancangnya tetapi malah berujung pada rasa malu. "Dari mana saja kamu?" ucap Bu Sarah ketus saat tak sengaja berpapasan dengan Narendra yang baru saja pulang. Narendra berjingkat, sebab sebisa mungkin ia berjalan tanpa meninggalkan suara agar sang ibu tidak mengetahui kepulangannya. "Dari rumah temen." Narendra memutar bola mata dengan malas. Segudang alasan telah ia siapkan untuk memghadapi omelan Bu Sarah yang pasti akan panjang dan tidak berujung. "Ngga sopan kamu ya? Bisa-bisanya pergi ditengah-tengah acara, pake ninggalin Fara yang lagi sakit di taman sendirian! Mama ngga pernah ngajari kamu berbuat tidak sopan pada perempuan." "Apanya yang ngga sopan, Ma? Naren pergi pas udah nolongin Fara. Ya udah, selesai dong. Kan Mama yang suruh buat keluar, ya udah aku keluar!" Narendra menjawab dengan santainya. "Tapi ngga ditinggal juga! Dia itu calon istri kamu!" "Naren ngga mau nikah dengan dia, Ma! Narendra sudah punya Nara!" "Nara anak penjahit itu?! Yang ibunya mantan kekasih papamu? Iya?!" "Astaga, Mama! Itu masa lalu Papa, ngapain diungkit-ungkit!" "Kamu bisa mikir ngga sih? Selain dia adalah anak dari masa lalu papamu, keluarga kita ini keluarga terpandang, masak kamu nikah sama anak penjahit? Malu dong, Mama! Kamu yang menjabat sebagai kepala cabang dealer dan bengkel besar, masak nikah sama gadis murahan?" "Dia ngga murahan, Ma!" pekik Naren keras. Ia tak terima gadis pilihannya direndahkan oleh orang tuanya. "Segitunya kamu membela perempuan itu! Mama lebih tahu mana yang terbaik untuk keluarga mama!" "Ma, tolonglah, izinkan Narendra untuk menentukan jodoh Naren sendiri, Ma!" "Kamu anak tunggal mama sama papa. Mana mungkin mama membiarkan kamu menikah dengan gadis yang ngga jelas keturunannya!" Narendra meremas rambutnya kasar. Wajah tampan itu frustasi. Ada gumpalan amarah yang berkumpul di dalam kepalanya yang tak lagi bisa ia luapkan karena melihat reaksi Bu Sarah yang begitu kerasnya. Tak lagi mau menanggapi sang mama, Naren berlari masuk ke dalam kamarnya. Ia menghindari pertikaian yang menyebabkan hatinya kian diliputi amarah. "Ren! Diajak bicara malah kabur! Ngga sopan kamu!" teriak Bu Sarah. Tubuh wanita paruh baya itu berdiri seraya menatap punggung anak tunggalnya hingga hilang dari pandangan. Tangan yang terdapat beberapa cincin dengan gramasi besar itu mengepal erat. Seakan-akan siap memukul musuh yang telah menyakitinya. Rahang Bu Sarah mengeras dengan bibir mengatup rapat. Gemuruh di dalam dadanya tak lagi bisa ia hentikan untuk tidak membuat gaduh. Dengan keras, Bu Sarah melempar pakaian kotor yang ada di atas kursi ke lantai di dekat kakinya. Amarah yang menguasai kesadarannya butuh pelampiasan dan malam ini, baju kotor itu menjadi korbannya. "Sudahlah, Ma. Yuk tidur," ajak Pak Hadi yang sejak tadi mendengar pertikaian ibu dan anak tersebut. Ia sengaja keluar untuk menenangkan hati istrinya. Tangan kekar Pak Hadi menggandeng tangan Bu Sarah berjalan menuju kamarnya. Hingga beberapa langkah, tangan kekar itu terlepas dan berganti memeluk pundak sang istri yang wajahnya masih terdapat kilat-kilat emosi. Esok harinya, Bu Sarah sudah lebih baik. Ia kembali menjalankan aktivitas kesehariannya. Beberapa menu telah terhidang di atas meja makan. "Narendra pergi dulu ya, Ma?" pamit Naren saat Bu Sarah telah bersiap di meja makan bersama Pak Hadi. "Kemana, Nak?" Mata Bu Sarah menatap lekat wajah anak lelakinya. Ada sebuah tuntutan rasa yang tak bisa ia tahan. Pertanyaannya harus terjawab. "Mau jalan, Ma. Pamit dulu ya?" pamit Naren lagi sambil meraih tangan Bu Sarah. "Mau jalan sama perempuan itu?" pekik Bu Sarah yang membuat langkah Naren terhenti. "Ma, sudahlah! Biarkan saja!" Suara Pak Hadi membuat kaki Naren kembali melangkah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD