Mendapatkan Jawaban

1033 Words
BSM 10 "Tumben nih sore banget datangnya?" sapa Nara setelah mendapat panggilan dari Bu Fatimah bahwa ada Narendra di ruang tamu. Naren sedang duduk menekuri layar ponselnya. Kepalanya mendongak dengan bibir tersungging menyambut kedatangan sang kekasih. Binar bahagia yang keluar dari wajah Nara membuat Narendra turut tersenyum senang. "Iya, dong. Kan ini weekend dan kita ngga ketemu kalau ngga aku ke sini. Kangen," balasnya sambil nyengir. "Baru kemarin ketemu loh." Nara tergelak. Ia menjatuhkan bobot tubuhnya di atas kursi tepat di samping Narendra. Tangan kekar Narendra menggemas pipi Nara yang tak terlalu chubby. Gemasan itu berakhir pada satu kecupan yang mendarat di kening Nara. "Dih, asal cium aja! Udah mau puasa jangan main cium-cium aja!" sungut Nara pura-pura serius. "Puasa masih lama tauk!" "Orang sudah minggu depan! Udah harus siap-siap." "Siap-siap? Mau kemana emang?" goda Narendra yang dibalas dengan pukulan kecil di lengannya. "Becanda terus ih!" "Ya habisnya, kamu. Orang cuma cium dikit pake bawa-bawa mau puasa segala!" Narendra mencebik. "Ya kan aku cuma ingetin! Khawatir Mas bablas!" "Enggak lah! Orang sayang itu ngga mungkin ngerusak. Aku sayang kamu, pasti akan menjaga kamu sebaik mungkin," jawab Naren dengan mimik serius. Binar cinta terpancar dari matanya yang sedang membingkai wajah cantik natural milik Nara. Ada rasa berat saat di dalam mata indah itu benar-benar terpancar cinta yang sama untuk Naren. Hatinya berdenyut ngilu. Rasa takut tiba-tiba menjalari sekujur tubuhnya saat kata-kata Bu Sarah kembali terngiang di kepalanya. Perlahan, rasa takut kehilangan melesak ke dalam dadanya dan membuat embusan napas kasar keluar dari bibirnya untuk menetralkan segala rasa yang menyakitkan. "Mas," panggil Nara saat Naren tertegun memandangi wajahnya. "Hmm?" "Gitu banget liatnya? Mikir apa?" Mata Naren mengerjap pelan. Ia berusaha menghilangkan rasa-rasa yang bisa merusak mood-nya hari ini. Bibir ranum itu kemudian tersenyum tipis, lalu mengusap pucuk kepala Nara perlahan. "Jalan yuk?" ajak Naren. Alisnya naik turun, genit. "Masih sore, Mas. Masih jam segini," sahut Nara sambil melirik jam dinding. "Ya ngga apa-apa dong, biar puas jalan-jalannya." "Aku belum mandi ini." Nara mencium pangkal lengannya. "Bau." "Mandi gih. Mas tunggu." "Oke. Bentar ya?" Nara pergi dari hadapan Naren. Ia berlari menuju kamar mandi. Sedang Bu Fatimah, ia berdiri di ambang pintu pembatas ruang tamu dengan ruang tengah. Matanya memperhatikan gerak gerik Nara hingga anak gadisnya benar-benar masuk ke dalam kamar mandi. "Sudah lama, Nak?" sapa Bu Fatimah lembut. Ia duduk di sebelah Narendra. "Belum, Bu. Baru aja." Saat melihat wajah Bu Fatimah, Narendra kembali teringat kata-kata mamanya. Terbersit rasa ingin tahu dalam dirinya untuk mengetahui penyebab mamanya benar-benar menolak kehadiran Nara dalam hidupnya. "Emm, Bu, apa saya boleh bertanya?" Ragu-ragu Narendra memulai pertanyaan. "Boleh, Nak. Ibu juga ada satu hal yang ingin ibu tanyakan. Tapi ngga apa-apa, Nak Naren dulu, silahkan mau tanya apa." "Emm, saya mau tanya soal masa lalu ibu dan papa." Bu Fatimah tertegun mendengar pertanyaan Narendra. Tanpa ia mengutarakan pertanyaannya, rasanya ia telah mendapatkan jawaban. Dada Bu Fatimah bergerak naik turun, mengeluarkan sebuah helaan napas yang dalam. Ada yang harus di tata dalam hatinya sebelum ia mengutarakan kejadian masa lalu yang kini mulai dipertanyakan. "Sebelumnya saya permisi, maaf lancang. Harusnya saya tanya ini sama mama atau papa. Tapi melihat kondisi mereka yang mudah meledak, membuat saya ragu." Narendra memulai pembicaraan dengan kalimat awalan yang sopan. "Saya merasa kesusahan mencari restu, dan salah satu yang disebut mama adalah karena masa lalu." Kepala Bu Fatimah mulai kembali mengenang masa-masa indah dahulu yang terpaksa terhenti karena perjodohan keluarga besar Pak Hadi. "Mas janji mau nikahin aku," ujar Fatimah muda kala itu. "Tapi sekarang Mas datang bawa foto pernikahan kalian," sambungnya dengan linangan air mata Sebuah pukulan kecil mendarat di d**a Hadi muda dari kepalan tangan Fatimah muda. Dengan cepat, Hadi muda memeluk erat tubuh langsing Fatimah muda dengan penuh rasa penyesalan. "Ini diluar kemampuanku. Biaya pendidikan yang sudah dikeluarkan, ASI yang sudah diberikan untukku semasa bayi, dan semua kemudahan yang telah diberikan ibu bapak terancam menjadi haram ketika aku menolak apa yang mereka minta." Mendengar alasan itu, Fatimah muda terhenyak. Sebegitu kerasnya ancaman itu hingga ASI yang telah menjadi rejeki bayi terancam diminta kembali, yang sejatinya sebesar apapun harta yang dimiliki anak tidak akan pernah bisa membalas budi baik orang tua yang telah mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat hingga anak-anaknya tumbuh dewasa. "Maafkan aku. Sungguh aku tidak punya pilihan lain." Tundukan kepala Hadi muda membuat d**a Fatimah teriris. Betapa sang kekasih telah berada di posisi yang sulit dan berat. Dan dengan sangat terpaksa, keputusan besar harus diambil. Fatimah muda menghela napas dalam sebelum mengambil keputusan. Siapapun tidak akan pernah bisa bertahan jika dalam kondisi sulit seperti ini. Pernikahan telah terjadi, dan Fatimah muda tidak mau menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Ia tak mau sanksi sosial melekat pada dirinya yang bisa mencoreng nama baik keluarganya. "Baiklah. Bagaimana pun pernikahan telah terjadi. Aku tidak mungkin dan tidak mau menjadi madu. Maka, dengan sangat berat hati, aku yang harus pergi." "Maafkan aku. Sungguh aku minta maaf." "Tidak perlu minta maaf. Aku harus mau mengerti dan memahami. Mungkin memang kita tidak berjodoh, dan ini cara Allah menunjukkan pada kita bahwa kamu bukan yang terbaik bagiku dan aku bukan yang terbaik untukmu." Mata Hadi muda menatap lekat wanita yabg dipujanya selama ini. Betapa kriteria jodoh yang ia impikan ada pada diri Fatimah semuanya. Namun, manusia bisa apa jika yang dianggap baik ternyata tidak begitu menurut Tuhan? "Selamat menempuh hidup baru. Aku permisi." Fatimah muda pergi dari taman tempat mereka janjian. Ia pergi dengan membawa luka yang teramat sangat. Harapan dan angan yang telah membuatnya terbang tinggi terpaksa ia kubur dalam-dalam karena sebuah fakta yang mengejutkan. "Jadi, mama dan papa itu juga menikah karena perjodohan?" Pertanyaan Narendra menghentikan kenangan masa lalu yang baru saja kembali terngiang dalam pikiran Bu Fatimah. "Iya. Dan pernikahan mereka membuat ibu terpaksa memilih pergi. Makanya, begitu ibu tahu bahwa kamu adalah anak dari mereka, ibu diam saja." Bu Fatimah menjeda ucapannya sejenak. Air yang mengalir dari sudut matanya ia usap dengan punggung tangannya. "Ibu ingin menunggu bagaimana reaksi keluarga Nak Naren dahulu. Jika memang tidak ada masalah. Maka ibu tak mengapa. Namun, jika memang masa lalu kami menjadi penghambat hubungan kalian, maka ibu terpaksa meminta Nara untuk mundur." Mendengar penjelasan Bu Fatimah, seketika d**a Narendra seperti tengah tertohok. Ia sudah mendapatkan jawabannya sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD