Braakk!
Arfa menggebrak meja dengan kuat. Wajahnya terlihat mengeras hingga otot-otot di lehernya terlihat menonjol keluar, setelah ia melihat video rekaman CCTV yang di tunjukkan Alex kepadanya.
"Wanita itu memang cari mati. Kali ini aku tidak akan segan lagi berbuat sesuka hatiku kepadanya," ucap Arfa dengan mengepalkan kedua tangannya.
"Kali ini wanita itu harus kau buat jera, agar ia tidak berani mengulang perbuatannya lagi. Kau harus membuatnya merasakan dua kali lipat atas apa yang di lakukannya kepada wanita mu," ujar Alex dengan wajah datar.
"Aku ingin siapa saja yang terlibat menganiaya Aleenaku, merasakan akibatnya. Cari mereka sampai ketemu, dan buat perhitungan dengan mereka, Lex," ucap Arfa dengan penuh penekanan, lalu mengatupkan gerahamnya dengan kuat.
"Kau tidak perlu repot-repot melakukannya. Ada seseorang yang sudah mewakilimu melakukannya. Kafe itu sudah rata dengan tanah, pemiliknya terkapar di rumah sakit, tidak terkecuali semua orang yang terlibat sore itu, mereka semua sudah masuk rumah sakit dengan kondisis mengenaskan. Tinggal istrimu saja yang masih selamat," sahut Alex dengan cepat.
"Apa? Siapa yang melakukan semua itu?" tanya Arfa, dengan nada terkejut.
"Aku tidak tau, bahkan video penganiayaan itu langsung hilang dalam hitungan menit setelah banyak di tonton oleh orang. Hanya yang ada pada diriku yang masih utuh tersimpan," jawab Alex dengan sorot mata aneh.
"Siapa pria yang menolong Aleena? Apakah pria itu yang melakukannya? Apa dia punya hubungan dengan Aleena?" tanya Arfa, dengan perasaan tidak menentu.
"Entahlah. Yang jelas dia bukan orang sembarangan hingga bisa melakukan semua itu dengan cepat dan bersamaan. Apalagi sampai pihak kepolisian tidak menemukan bukti pelanggaran dalam semua peristiwa itu," jawab Alex.
"Alex, cari tau siapa pria itu. Aku tidak ingin dia mendekati Aleenaku dengan memanfaatkan kebaikannya," ujar Arfa memberi perintah.
"Siyaap Pak Arfa," sahut Alex dengan tersenyum lebar.
**** ****
Laura berjalan mondar mandir di dalam kamarnya dengan wajah panik. Wanita itu terus menguhubungi nomer telfon Sandra dan Jenny yang tidak aktif sejak beberapa jam yang lalu.
Kabar tentang ledakan di kafe milik Lusy telah sampai ke telinganya, dan itu membuatnya semakin ketakutan dan cemas. Apalagi kedua temannya itu tidak bisa di hubungi sama sekali.
"Mengapa sampai kebetulan seperti ini? Siapa yang melakukannya? Apa mas Arfa? Itu tidak mungkin, dia tidak tau dengan kejadian ini. Apa pria misterius yang menolong Aleena? Jika ia, apa hubungan pria itu dengan Aleena?"
Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Laura. Wanita itu semakin penasaran dengan sosok Aleena yang telah membuat hidupnya berantakan selama kehadiran wanita itu dalam kehidupan Arfa.
Tok tok tok
"Bu Laura, di tunggu nyonya besar untuk makan malam."
Terdengar suara salah satu pelayan di depan pintu kamar Laura.
"Iya, sebentar lagi aku turun," sahut Laura.
Wanita itu bergegas merapikan penampilannya, kemudian turun ke lantai bawah untuk makan malam.
Namun, begitu sampai di ruang makan, Laura melihat sang ibu mertua menatap tajam ke arahnya.
"Apa kau sudah gila? Mengapa kau sangat bodoh sekali, hah! Mengapa kau begitu ceroboh dan tidak mau mendengar apa yang aku katakan?" Nyonya Miranda bertanya dengan sorot mata tajam dan wajah gusar. Bahkan wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda itu membanting sendok dan garpu yang tergeletak di depannya karena menahan kesal.
"Ma-maksdud Mama?" tanya Laura dengan wajah gugup.
"Kau kira Mama tidak tau dengan apa yang kau lakukan pada wanita itu? Video itu menyebar dengan cepat, meskipun langsung menghilang dalam hitungan menit. Apa kau tidak berfikir apa akibat dari perbuatanmu itu? Kau sama saja dengan menggali lubang kuburmu sendiri! Apa kau tau! Kau terlalu bodoh Laura! Kau bodoh sekali!" teriak nyonya Miranda, hingga suaranya bergema di seluruh ruangan itu.
"Ma, aku tidak tahan melihat kelakuan wanita itu. Dia terus saja merongrong uang Mas Arfa. Mas Arfa baru saja memberikan penthouse miliknya kepada wanita ja*a*g itu! Dan Mas Arfa rela membeli semua barang di butiknya Clara untuk wanita itu. Apa tidak wajar kalau aku sampai marah Ma? Aku sakit hati, aku kecewa, aku terluka, aku benci, aku sangat ingin membalas semua perbuatan wanita itu. Apa aku salah Mama?" jawab Laura dengan menahan emosi.
"Tidak salah jika kau marah, tapi kau juga tidak pantas berkata seperti itu. Dan tindakanmu kali ini hanya akan memperpanjang masalah dan justru semakin membuat renacana kita semakin sulit terwujud. Apa kau tau?"
"Lalu apa aku harus diam saja dan cukup menjadi penonton Ma? Aku mencintai mas Arfa, Mama tau itu kan?
"Kau hanya perlu bersabar dan tahu diri. Apa kau belum mengerti juga? Kau tidak perlu melakukan hal sekecil apapun kecuali atas perintah Mama. Jika kau masih bersikeras dengan rencanamu sendiri, lihat saja sampai mana kau akan mampu bertahan tanpa bantuan Mama mertuamu ini!" ucap nyonya Miranda dengan nada kesal.
"Tapi Ma — "
"Kau bahkan belum mendapatkan informasi tentang wanita itu bukan? Kau sudah berani mengabaikan apa yang sudah Mama perintahkan kepadamu. Kau memang benar-benar wanita bodoh Laura! Kau wanita yang sangat bodoh!" potong nyonya Miranda dengan wajah geram.
"Ma, aku juga punya hati, aku juga punya perasaan," sahut Laura, lirih.
"Lalu apa kau kira wanita kampungan itu tidak punya hati? Tidak punya perasaan?" sergah nyonya Miranda, semakin bertambah emosi.
"Kau baru beberapa bulan menghadapi situasi seperti ini, tapi kau sudah iehilangan kepercayaan dirimu dan berubah menjadi wanita bodoh. Sekarang jika sampai Arfa pulang dan mencarimu karena perbuatanmu itu, kau tanggung sendiri saja akibatnya," lanjut nyonya Miranda.
Brakk!!
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka dengan cukup keras.
Tidak lama kemudian muncul sosok Arfa dengan raut wajah dingin dan sorot mata membunuh menatap ke arah Laura tanpa berkedip.
"Arfa? Kamu sudah pulang nak?" sapa nyonya Miranda, sambil melirik sekilas ke arah Laura.
"Ma-mas Arfa? A-apa Mas Arfa mau ikut makan malam? Bi-biar aku siapkan ya," tanya Laura dengan suara terbata-bata. Wajah perempuan itu sudah terlihat pucat pasi.
Tanpa berniat menjawab pertanyaan sang Mama dan Laura, Arfa melangkah mendekat ke arah wanita Laura dengan sorot mata penuh kebencian.
"Kau sudah bosan hidup bukan? Baiklah, aku akan mengabulkan keinginanmu malam ini," ucap Arfa.
Pria itu dengan sekonyong-konyongnya menjambak rambut Laura ke belakang dengan sangat kuat, hingga kepala wanita itu mendongak ke atas.
"Ma-mas Arfa, a-ada apa ini?" tanya Laura, masih berpura-pura tidak tau.
"Kau masih bertanya? Kau pura-pura tidak tau, hah! Sudah berapa kali aku ingatkan, jangan pernah menyentuh Aleenaku! Apa kau tuli!" sentak Arfa dengan kilat amarah di kedua matanya.
"Ma-maaf Mas Arfa, a-aku tidak sengaja," cicit Laura dengan bibir bergetar.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat dengan cukup keras di wajah Laura.
"Kau bilang kau tidak sengaja? Sampai kejadian itu berlangsung cukup lama, kau bilang itu masih tidak sengaja!" Arfa berteriak dengan suara menggelegar, hingga membuat nyonya Miranda berjengit terkejut.
Arfa dengan sekuat tenaga menyeret tubuh Laura menjauh dari meja makan tersebut, lalu menghempaskan tubuh wanita itu ke lantai dengan begitu kuat.
"Arfa, sayang, ada apa ini, Nak? Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian?" tanya Nyonya Miranda dengan suara lembut seraya mengusap bahu Arfa.
"Wanita ini, dia telah menyakiti wanita yang aku cintai Ma! Dia membuat wanitaku terbaring tidak sadarkan diri di rumah sakit, dan dia sudah membuat wanitaku dipermalukan di depan umum Ma! Kali ini aku tidak akan mengampuninya lagi," jawab Arfa dengan kilat marah di wajahnya.
"Sayang, selesaikan semuanya dengan baik-baik. Laura itu seorang wanita, mungkin — "
"Ma, Aleena juga seorang wanita. Harusnya wanita ini yang sadar diri! Aku sudah memperingatkannya beberapa kali tapi dia tidak pernah mendengarkan peringatanku, dia menganggap seolah peringatanku hanyalah isapan jempol semata."
"Mas Arfa, aku minta maaf. Aku terbawa emosi hingga melakukan hal bodoh seperti itu. Maafkan aku Mas, maafkan aku," ucap Laura dengan lirik di sela isak tangisnya.
"Aku tidak akan memaafkanmu lagi kali ini!" teriak Arfa.
Pria itu lalu menyiram Laura menggunakan semua minuman yang ada di meja makan hingga kepala dan tubuh wanita itu basah kuyup.
"Arfa, kendalikan emosimu Nak, jangan memperturutkan amarah yang ada di hatimu sayang," ucap nyonya Miranda, sambil berusaha mencegah Arfa melakukan tindakan yang lebih brutal lagi.
"Aku tidak ingin melukai Mama. Lebih baik Mama menyingkir dari hadapanku!" teriak Arfa sambil menyentakkan tangan sang Mama dengan kasar.
Pria itu lalu menumpahkan semua makanan yang ada di atas meja makan ke atas tubuh Laura, hingga membuat tubuh wanita itu sudah tidak berbentuk lagi.
Arfa tidak peduli jika Laura terus menjerit-jerit memohon ampun kepadanya.
"Mas Arfa, tolong ampuni aku Mas, aku berjanji, aku akan meminta maaf kepada Aleena, tolong ampuni aku kali ini Mas Arfa." Laura memohon sambil bersimpuh di kaki Arfa.
"Aku tidak sudi memaafkanmu kali ini! Dan jangan harap aku akan membiarkanmu menemui Aleena ku.
Plak!
Pria itu menampar wajah Laura dengan kuat, hingga wanita itu langsung tersungkur ke lantai sambil memegangi pipinya yang terasa sakit dan panas.
"Arfa hentikan, Nak, jangan berbuat kasar kepada wanita," seru nyonya Miranda dengan wajah panik.
Jangan salahkan aku jika aku berbuat kasar Ma, wanita tidak tahu diri ini yang menginginkannya."
Plak!
Arfa kembali menampar Laura hingga membuat sudut bibir wanita itu mengeluarkan darah, tidak peduli dengan jerit kesakitan dari mulut wanita itu.
"Sekarang kau keluar dari rumah ini, sebelum aku benar-benar membunuhmu dan mencincang tubuhmu, keluar!" teriak Arfa dengan mata nyalang.
"Mas, tolong jangan usir aku. Aku berjanji, aku tidak akan melakukan hal-hal bodoh lagi. Aku akan menerima apapun yang Mas Arfa lakukan kepadaku, tapi tolong, jangan usir aku dari rumah ini," pinta Laura dengan wajah memelas.
"Kau membuatku semakin muak dan jijik melihatmu!" Sahut Arfa, lalu menjambak rambut Laura dan menyeretnya keluar.
"Mas, sakit, tolong lepaskan. Ampun Mas. Ampuni aku!" jerit Laura di sela-sela isak tangisnya.
"Arfa, hentikan Nak, kau bisa mencelakainya," seru sang Mama, sambil mencoba meraih tangan Arfa.
"Aku tidak peduli! Bahkan, saat ini yang aku inginkan hanya membunuh wanita sialan ini," sahut Arfa, sambil terus menyeret tubuh Laura keluar dari dalam rumah tersebut.
Bruuk!
Dengan sekuat tenaga Arfa menghempaskan tubuh Laura ke teras rumah. Kondisi wanita itu sungguh sangat memprihatinkan, namun Arfa tidak sedikitpun menaruh belas kasihan kepada wanita yang berstatus istrinya itu.
"Mas Arfa, aku ini iatrimu, mengapa kau tidak punya perasaan sedikitpun? Mengapa kau tidak punya rasa belas kasihan sedikitpun kepadaku?" ucap Laura dengan nada putus asa.
"Apa kau bilang!" teriak Arfa, lalu kembali mendekat ke arah Laura.
Di cengkramnya rahang wanita itu dengan sangat kuat hingga Laura meringis kesakitan.
"Wanita sepertimu tidak pantas untuk dikasihani dan aku tidak mau memberi sedikitpun rasa simpatiku kepadamu! Kau adalah satu-satunya wanita yang sangat menjijikkan yang pernah hadir di dalam hidupku!"
Plak!
Arfa kembali mendaratkan sebuah tamparan di wajah wanita itu.
"Arfa, sudah Nak, cukup. Hentikan sayang," ucap nyonya Miranda.
"Laura, hari ini aku ce—"
"Arfa! Sa-sakit, tolong Ma-ma, Nak."
Bruuk!
"Mama!!"