"Apa dia belum sadarkan diri?" tanya Arfa sambil melangkah tergesa begitu turun dari mobilnya.
"Belum. Tapi kau tidak perlu kuatir, dia hanya sekedar pingsan," jawab Alex sambil mensejajarkan langkahnya dengan Arfa.
"Apa di rumah sakit sedang kedatangan orang penting? Mengapa banyak sekali petugas keamanan yang berjaga?" tanya Arfa dengan wajah heran, begitu melihat barisan pengawal yang berjaga di sekitar rumah sakit.
Belum sempat Alex menjawab, terlihat seorang pria dengan mengenakan long coat hitam dan kaca hitam melangkah keluar dari dalam rumah sakit dengan pengawalan sangat ketat.
Pria dengan wajah dingin itu segera masuk kedalam mobil, tanpa menghiraukan tatapan Arfa yang sejak tadi melihat ke arahnya.
Arfa masih terpaku di tempatnya, sampai iring-iringan mobil yang mengawal pria berkaca mata hitam itu menghilang di ujung jalan.
"Sepertinya ia bukan orang sembarangan. Lihat saja, para pengawalnya membawa senjata api semua," ucap Alex.
"Kau benar sekali. Tapi apa perduliku," sahut Arfa sambil melangkah masuk kedalam rumah sakit.
Begitu tiba di kamar Aleena, Arfa langsung menghampiri wanita yang masih tidak sadarkan diri itu. Di ciumnnya kening dan seluruh wajah Aleena dengan lembut.
"Sayang, bangunlah. Aku datang," bisik Arfa di telinga Aleena, berharap jika wanitanya itu akan segera sadar.
Melihat tidak ada reaksi dari Aleena, Arfa kemudian naik ke atas tempat tidur, lalu ikut berbaring di samping wanita itu.
Di peluknya tubuh Aleena dengan erat, lalu mencoba ikut memejamkan kedua matanya.
Hari ini ia begitu merasa lelah. Lelah karena belum puas menuntaskan amarahnya kepada Laura. Seharusnya ia sudah menceraikan wanita itu saat ini, namun tiba-tiba saja sang mama jatuh pingsan hingga ia mengurungkan niatnya untuk sementara waktu.
"Aku tidak akan melepaskanmu kali ini Laura, tunggu saja," ucap Arfa didalam hati, lalu perlahan memejamkan kedua matanya.
*** ***
Aleena mengerjapkan kedua matanya berulang kali, sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Wanita itu perlahan membuka kedua matanya dengan sempurna. Seulas senyum langsung terbit di wajah Aleena, begitu melihat pria yang sangat di cintainya telah hadir di hadapannya.
"Mas Arfa." Aleena menyebut nama Arfa dengan lirih.
"Aleena, sayang, kamu sudah sadar?" Arfa bertanya dengan raut wajah kuatir. Di genggamnya tangan Aleena dengan erat, serayak membelai kepala wanita yang sangat di cintainya itu.
"Mas Arfa, kita ada di mana? Ini seperti di rumah sakit," tanya Aleena sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling ruangan rawat inap kelas VVIP itu.
"Aleena, maafkan aku. Aku sudah lalai menjagamu, hingga membuatmu sampai terluka. Maafkan aku sayang, maafkan aku," ucap Arfa dengan suara bergetar. Di rengkuhnya tubuh Aleena kedalam pelukannya, sambil terus mengatakan kata maaf kepada wanita itu.
"Mengapa Mas Arfa meminta maaf kepadaku? Sebenarnya apa yang terjadi? Apa kita memang sedang berada di rumah sakit sekarang?" tanya Aleena dengan wajah bingung serayak mengurai pelukan Arfa di tubuhnya.
"Sayang, apa kamu tidak ingat dengan kejadian yang menimpamu kemarin? Hem?" Arfa bertanya dengan wajah cemas. Pria itu sangat kuatir jika benturan di kepala Aleena mengganggu daya ingatnya. Apalagi Aleena pingsan hingga semalaman.
Sejenak Aleena terdiam mendengar pertanyaan Arfa. Wanita itu mencoba mengingat kejadian yang menimpanya kemarin.
"Mas, hiks, aku takut. Mereka menyakitiku, hiks hiks, sakit Mas." Aleena langsung terisak sedih, begitu mengingat apa yang telah di perbuat oleh Laura kepadanya.
Arfa kembali merengkuh tubuh Aleena kedalam pelukannya. Di usap-usapnya punggung wanita itu dengan lembut sambil berulang kali mencium puncak kepala wanita kesayangannya itu.
"Maafkan aku sayang. Aku sudah lalai menjagamu. Tapi tidak perlu kuatir, aku akan membalas setiap apa yang sudah mereka lakukan kepadamu. Aku akan membuat mereka jauh lebih menderita dari pada kamu, percayalah," ucap Arfa.
"Sakit Mas, hiks hiks. Mereka sangat jahat kepadaku, hiks hiks." Aleena kembali terisak di dalam pelukan Arfa.
"Sstt, tenanglah. Ada aku disini. Tidak ada yang akan berani menyakitimu. Aku akan selalu bersamamu sayang. Aku akan selalu menemani dan menjagamu," ucap Arfa dengan lembut.
"Mereka sangat jahat Mas, meraka menghina dan menyakitiku, hiks, hiks, apa salahku pada mereka, apa Mas?"
"Kamu tidak bersalah sayang, kamu tidak bersalah. Mereka hanya iri dengan denganmu. Percayalah, aku akan membuat perhitungan dengan mereka. Aku tidak akan membiarkan Laura tenang menikmati hidupnya, wanita itu akan kubuat menderita karena telah berani-beraninya menyakitimu lagi," ucap Arfa sambil mengeratkan pelukannya di tubuh Aleena.
"Aku tidak mau melihat atau bertemu wanita itu Mas," ucap Aleena di sela isak tangisnya.
"Dia tidak akan berani menemuimu, dan aku tidak akan membiarkan wanita itu mendekatimu sayang," sahut Arfa.
"Aku ingin wanita itu lebih menderita dari pada aku Mas, dia wanita jahat. Dia wanita yang sangat keji." Aleena memukul-mukul d**a Arfa berulangkali, menumpahkan rasa sesak di dadanya.
"Sstt, tenanglah sayang, tenanglah. Aku berjanji akan menuruti semua keinginanmu. Aku berjani akan melakukan apa saja untuk membalaskan sakit hatimu pada wanita itu. Kau boleh meminta apapun agar luka dan sakit hatimu terobati. Mintalah apapun itu sayang, aku pasti akan mengabulkannya," sahut Arfa yang langsung membuat Aleena terdiam.
"Janji?" Aleena menatap dalam ke manik mata Arfa.
"Iya sayang. Aku berjanji," jawab Arfa serayak menggenggam tangan Aleena dengan erat.
Aleena tersenyum, lalu merebahkan tubuhnya di pangkuan Arfa.
Dengan lembut Arfa membelai kepala Aleena. Mencium pipi wanita itu berulang kali. Hatinya sedikit tenang melihat Aleena nya sudah mau tersenyum kembali.
"Mas, aku mau pulang." Rengek Aleena dengan manja.
"Pulang? Kau belum sembuh sayang, bagaimana Dokter akan mengizinkanmu pulang?" sahut Arfa dengan lembut.
"Aku sudah sembuh. Mas bisa minta Dokter Hana merawatku di rumah nanti," ucap Aleena bersikukuh.
"Baiklah, baiklah. Nanti sore kita akan pulang, oke," sahut Arfa, mencubit hidung Aleena dengan gemas.
Sementara itu di rumah kediaman keluarga Pratama, nyonya Miranda terlihat sedang marah besar kepada Laura. Bahkan wanita paruh baya itu terlihat beberapa kali menampar wajah Laura.
"Dasar wanita bodoh! Kau tau sekarang akibatnya jika kau bertindak sendiri! Jika Arfa menceraikanmu saat itu kau akan jadi gembel di jalanan! Apa kau paham!" Teriak nyonya Miranda dengan suara melengking.
"Ampun Ma, aku mengaku salah. Aku berjanji mulai saat ini aku akan menuruti semua perkataan Mama. Ampuni aku Ma." Laura berkata dengan suara gemetar dan wajah ketakutan.
Wanita paruh baya di depannya itu sedang benar-benar marah besar kepadanya saat ini.
"Kau tau, jika aku tidak pura-pura pingsan mungkin saat ini kau sudah berada di jalanan! Seharusnya kau tau diri Laura!" bentak nyonya Miranda, masih emosi.
"I-iya Ma. Aku minta maaf," cicit Laura dengan penuh penyesalan.
"Kau tau, kelemahan Arfa saat ini hanya ingatannya, tapi dia juga tidak bisa menolak permintaanku. Selagi ingatannya belum kembali, kita harus benar-benar memanfaatkannya dengan baik. Kau pasti tau apa yang akan terjadi jika Arfa mendapatkan ingatannya kembali? Sementara isi surat wasiat itu begitu rumit, dan aku belum menemukan solusi untuk mematahkan isinya. Jadi aku peringatkan kepadamu, jangan lagi bertindak bodoh, atau aku tidak akan mau menolongmu lagi, apa kau paham?" tanya nyonya Miranda, menatap tajam kearah Laura.
"I-iya Ma, aku paham," jawab Laura dengan wajah menunduk.
"Sekarang kau boleh. Aku mau istirahat. Gara-gara perbuatanmu aku merasa sangat lelah hari ini," ucap nyonya Miranda serayak menarik nafas panjang.
Tanpa berani menjawab, Laura segera melangkah pergi meninggalkan kamar ibu mertuanya itu. Wanita itu melangkah menuju ke kamarnya dengan wajah lesu.
Wanita itu menatap kearah cermin dengan perasaan miris. Marah dan sakit hati. Wajah cantiknya terlihat sangat babak belur. Tidak hanya Arfa yang melukainya, tapi ibu mertuanya pun melakukan hal yang sama. Bahkan Arfa melarang Dokter keluarga untuk mengobati lukanya.
Laura lalu mengambil kotak P3K yang ada di kamarnya. Wanita itu lalu mengobati luka-luka yang ada di wajah dan bagian tubuhnya yang lain, sambil sesekali meringis menahan sakit.
"Aaarrggh! Wanita ja*a*g sialan!! Gara-gara kehadiranmu hidupku jadi menderita!"
Prang!
Laura melemparkan kotak P3K itu ke arah cermin hingga pecah berantakan.
Tubuh wanita itu luruh ke bawah, dengan air mata yang mulai menetes di wajahnya.
"Aku memberikan dua tamparan kepada ja*ang itu, dan mas Arfa membalasku dengan memberikan banyak tamparan dan luka kepadaku. Apa yang aku lakukan kepada pelakor itu, pasti mas Arfa akan membalasnya dengan berkali-kali lipat. Sungguh hebat wanita sialan itu, bisa mengendalikan mas Arfa dengan mudahnya," ucap Laura sambil menyeka air matanya.
"Kau boleh merasa menang kali ini pelakor, tapi ingatalah, aku tidak akan pernah menyerah menghadapimu. Aku akan membalas semua perbuatanmu pe*ac*r sialan!" Umpat Laura, dengan kedua tangan terkepal dengan kuat.
"Biarlah untuk saat ini aku akan mengikuti semua rencana Mama Miranda. Dan jika saatnya tiba, aku juga akan menyingkirkan wanita tua itu sialan itu. Hahaha."
Laura tertawa terbahak-bahak seorang diri di dalam kamarnya. Wanita itu menumpahkan semua kekesalan dan beban hatinya dengan tertawa sekeras-kerasnya seperti orang yang kehilangan kendali atas pikirannya.
Puas tertawa, Laura kemudian bangkit sambil mengusap sisa air mata di wajahnya. Wanita itu berjalan ke arah tempat tidur, lalu meraih benda pipih yang tergeletak di atas bantal.
Wanita itu mencoba menghubungi seseorang yang selama ini selalu ada untuknya.
[Aku ingin kau membantuku mencari informasi tentang wanita pelakor itu] ucap Laura, begitu panggilannya tersambung dengan seseorang di ujung sana.
[Apa kau baik-baik saja? Suaramu seperti habis menangis] terdengar suara kuatir seseorang di sebrang sana.
[Aku memang sedang tidak baik-baik saja. Aku sakit! Aku terluka, untuk itu aku membutuhkan bantuanmu] sahut Laura.
[Apa aku perlu menghabisinya seperti yang dulu, sayang?]
[Tidak untuk saat ini. Aku hanya perlu kau menggali informasi tentang siapa wanita itu, aku sendiri yang akan membuat hidupnya menderita] jawab Laura.
[Kau tidak perlu kuatir sayang, aku akan melakukan apapun itu untukmu]
[Trima kasih. Saat ini hanya kau yang aku miliki di dunia ini] ucap Laura dengan suara lirih.
[Beristirahatlah. Aku akan selalu ada untukmu]
[Thanks honey] jawab Laura dengan senyum di sudut bibirnya.
Laura kemudian memutuskan sambungan telfonnya begitu selesai berbicara. Wanita itu nampak menghela nafas lega, setelah mendengar jawaban dari seseorang yang ia jadikan sebagai tempat bersandar selama ini.
"Jika kau pandai berakting di depan mas Arfa, aku juga bisa melakukan hal yang sama. Kita lihat, siapa di antara kita yang benar-benar pandai bersandiwara," ucap Laura sambil menyeringai lebar.