"Cih! Lihatlah, statusnya hanya seorang buruh cuci di sebuah laundri. Bagaimana mungkin kau bisa kalah darinya? Dia itu tidak lebih dari seorang wanita miskin, gembel, dia pasti hanya menginginkan kekayaan Arfa dengan memanfaatkan rasa cinta Arfa kepadanya."
Nyonya Miranda berkata dengan nada gusar, serayak melemparkan berkas di tangannya dengan kasar ke atas meja.
"Lalu apa yang harus aku lakukan Ma?" tanya Laura.
"Tetap jalankan rencana pertama, jika itu tidak berhasil, Mama sendiri yang akan datang menemuinya," jawab nyonya Miranda.
"Di mana aku harus menemuinya Ma? Dia tinggal di penthouse bersama mas Arfa, dan pengawal mas Arfa tidak akan mengizinkan aku masuk kesana. Mas Arfa selalu membawanya kemanapun ia pergi," ucap Laura dengan nada putus asa.
"Bukankah kau punya mata-mata di kantor? Kau pasti bisa menyuruhnya untuk mengawasi wanita itu. Pastikan untuk mencari waktu dan tempat yang tepat saat kau menemuinya nanti. Kau hanya perlu sedikit merendahkan diri untuk membuatnya terhina dan jauh lebih malu," jawab nyonya Miranda.
"Aku rasa aku akan dapat dengan mudah melakukannya Ma," sahut Laura, yakin.
"Kau jangan terlalu yakin. Memperebutkan hati Arfa saja kau kalah telak. Jangan menganggap remeh wanita gembel itu, bisa jadi dia lebih pintar darimu. Pastikan rencana pertamamu berjalan sebaik mungkin. Suruh orang kepercayaanmu itu mengawasi gerak geriknya dari sekarang," tukas nyonya Miranda.
"Baik Ma, aku akan mendengarkan semua arahan dari Mama," ucap Laura, sambil menundukkan kepala.
"Bagus. Bersikap manislah, agar rencana kita berhasil. Ingat, jangan melakukan apapun di luar perintahku, apalagi sampai kau berniat menyingkirkan aku." Nyonya Miranda berkata dengan santai, seolah ucapannya hanyalah angin lalu.
"Baik Ma, kali ini aku akan mendengarkan semua perkataan Mama," sahut Laura, menyembunyikan rasa gugup di hatinya.
Wanita paruh baya itu lalu meraih cangkir berisi teh hijau miliknya, menyesap dengan perlahan, menikmati setiap teguk air yeng melewati kerongkongannya.
"Dari mana Mama bisa tau rencanaku? Bahkan aku tidak pernah mengatakannya kepada siapapun. Sepertinya aku harus lebih berhati-hati lagi. Untuk saat ini tidak ada pilihan lain selain tunduk dan patuh kepada Mama," ucap Laura di dalam hati.
"Pergilah ke salon, sepertinya kau perlu melakukan perawatan, wajahmu sudah seperti gembel jalanan saja," ucap nyonya Miranda sambil menggeleng samar.
"I-iya Ma," sahut Laura, pelan.
"Sialan wanita tua satu ini, seenaknya saja dia menghinaku, aku begini juga gara-gara perbuatannya dan Mas Arfa," batin Laura, kesal.
Wanita itu kemudian bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke lantai atas menuju ke kamarnya.
Terpikir dalam benak Laura ingin mengajak Sandra dan Jenny untuk melakukan perawatan ke salon siang ini. Wanita itu pun segera meraih gawainya lalu mengirimkan pesan kepada dua sahabat dekatnya itu.
Tidak lama Jenny dan Sandra mengirimkan pesan balasan kepadanya. Mereka dengan senang hati menerima tawaran dari Laura.
Tanpa menunggu lama, Laura segera bersiap dan bergegas keluar dari kamarnya menuju ke lantai bawah.
Begitu sampai di bawah, Laura sudah tidak mendapati ibu mertuanya itu di ruang tengah, entah pergi kemana wanita paruh baya itu. Laura pun buru-buru mengetikkan pesan kepada ibu mertuanya itu, jika ia akan berangkat ke salon sekarang.
Dengan wajah sumringah, Laura segera melangkah keluar rumah lalu menuju ke mobilnya yang masih terparkir di garasi.
Wanita itu bergegas masuk kedalam mobil, lalu melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumah yang sangat luas tersebut.
*** ***
Arfa terus memompa tubuhnya dengan tempo lebih cepat, sebelum akhirnya mengerang tertahan serayak memeluk tubuh Aleena dengan erat, begitu mendapatakan pelepasannya untuk yang ke sekian kalinya. Sementara Aleena, tubuh wanita itu langsung terkulai lemas di dalam pelukan Arfa setelah pria itu berulang kali menghujam miliknya dalam, hingga mereka sama-sama mendapatkan pelepasan yang luar biasa.
Arfa mendekap tubuh wanita itu dengan erat, agar tidak luruh ke lantai.
"Trima kasih sayang, kau benar-benar membuat hidupku sangat bahagia," bisik Arfa di telinga Aleena.
Dengan lembut arfa melepas penyatuan tubuh mereka, pria itu lalu mengangkat tubuh Aleena, kemudian membaringkan tubuh wanita itu dengan lembut ke atas tempat tidur king size yang ada di dalam kamar.
"Mas Arfa nakal. Nanti kalau aku sampai enggak bisa jalan bagaimana?" tanya Aleena dengan bibir mengerucut.
Arfa terkekeh pelan, lalu mencium bibir Aleena sekilas.
"Tubuhmu sangat nikmat sayang, bagaimana bisa aku mengendalikan hasratku, kau seperti candu bagiku," sahut Arfa sambil merapikan anak rambut Aleena yang berantakan.
Kali ini Aleena benar-benar di buat gila oleh hasrat lelaki itu. Bagaimana tidak, baru saja selesai mandi dan hendak mengenakan pakaiannya, Arfa kembali memasuki tubuhnya, pria itu melakukan penyatuan dengan posisi berdiri.
Lagi-lagi, Aleena di buat menjerit oleh Arfa. Pria itu seolah sengaja ingin membuatnya terus mendesah tiada henti karena cumbuannya.
"Mengapa aku bisa jatuh pada Mas Arfa?" tanya Aleena dengan nada heran, sambil membelai rahang pria itu dengan lembut.
"Karena aku tampan," jawab Arfa dengan sombong.
"Suamiku juga setampan dirimu," sahut Aleena.
"Karena aku kaya," ucap Arfa.
"Suamiku yang dulu jauh lebih kaya," sahut Aleena dengan bangga.
"Karna kau mencintaiku," ujar Arfa.
"Mas Arfa benar. Karna aku sangat mencintai Mas Arfa. Untuk itu aku rela menanggung semua derita ini sendiri," sahut Aleena dengan suara lirih.
"Kau tidak boleh menanggung derita itu sendiri, ada aku yang akan menggantikanmu menanggungnya. Kau hanya perlu hidup bahagia di sampingku. Aku akan menjadi perisai bagimu, mulai detik ini dan selamanya," ucap Arfa serayak mendekap erat tubuh Aleena.
"Mengapa Mas Arfa bisa kehilangan ingatan? Apa Mas Arfa tidak ingin mencari tau tentang sepenggal ingatan Mas Arfa yang hilang itu?" tanya Aleena dengan rasa penasaran.
"Aku tidak tau pasti apa yang terjadi padaku, mama mengatakan jika aku mengalami kecelakaan waktu itu. Aku selalu berusaha mengingat semua kenangan yang menghilang dari diriku, namun semakin aku berusaha mengingatnya, semakin aku merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku hingga aku harus berulang kali di larikan ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri. Akhirnya mama memohon kepadaku, agar aku ikhlas melupakan kenangan yang hilang itu. Mama lalu menceritakan masa-masa sebelum aku mengalami kecelakaan itu," jawab Arfa panjang lebar.
"Kalau boleh aku tau, kenangan tentang apakah yang hilang itu?" tanya Aleena dengan hati-hati.
Arfa tersenyum, lalu mencium kening Aleena dengan lembut.
"Jangan kuatir, itu hanya kenangan tentang percekcokanku dengan rekan bisnis, bukan kenangan tentang sesuatu yang spesial. Mama memberikan semua buktinya, jadi aku percaya tentang semua itu," jawab Arfa.
Sejenak Aleena terdiam. Ada rasa sakit yang tiba-tiba saja menghujam ulu hatinya. Namun wanita itu mencoba untuk tetap tersenyum.
"Lalu apa Mas Arfa masih meminum obat setiap hari?"
"Tidak. Aku hanya rutin konsultasi ke Dokter yang sudah sejak awal menanganiku sebulan sekali. Biasanya Dokter itu akan memberiku suntikan obat untuk menghilangkan rasa nyeri yang kadang masih sering muncul di kepalaku," sahut Arfa.
"Ooh," sahit Aleena hanya ber oh ria.
"Hei, kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu, hem? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Arfa sambil membelai wajah Aleena.
"Tidak. Aku hanya takut Mas Arfa akan melupakan aku karena penyakit itu kelak," jawab Aleena, menatap dalam ke manik mata Arfa.
"Tidak mungkin aku melupakanmu sayang. Kau akan selalu ada di hatiku. Percayalah, namamu akan selalu terukir di hati ini," ucap Arfa, lalu menempelkan telapak tangan Aleena ke dadanya.
"Tapi Mas Arfa masih belum menceraikan wanita itu, aku jadi ragu," ucap Aleena, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Sayang, maafkan aku. Aku sudah bertekad akan menceraikan wanita itu, tapi keadaan mama yang tiba-tiba tidak sadarkan diri, membuatku urung untuk melakukannya. Maafkan aku Aleena, aku terlalu menyayangi mama, aku tidak bisa melihatnya menangis dan memohon seperti itu," jawab Arfa dengan wajah menyesal.
"Kalau begitu aku tidak mau melanjutkan hubungan ini. Aku tidak mau seumur hidup di katakan sebagai pelakor dan menjadi yang kedua dalam hidup Mas Arfa," ucap Aleena sambil melepaskan pelukan Arfa di tubuhnya.
Namun dengan cepat Arfa kembali meraih tubuhnya, lalu memeluknya dengan erat.
"Aku mohon sayang, jangan berkata begitu. Kau tetap menjadi yang pertama bagiku. Kau adalah segala-galanya bagiku. Kehadiran Laura sebagai istri tidak ada gunanya bagiku. Aku mohon bersabarlah sebentar lagi, aku akan mencari cara untuk menyingkirkan wanita itu sayang, percayalah. Aku sangat mencintaimu Aleena, aku bisa gila bila hidup tanpamu, tetaplah di sampingku sayang," pinta Arfa dengan suara lirih di telinga Aleena, tanpa mau melepaskan pelukannya di tubuh wanita itu.
"Mas Arfa bohong! Bagaimana aku bisa menjadi yang pertama, jika dia masih memegang black card pemberian Mas Arfa, jika dia masih membawa mobil keluaran terbaru kemana-mana, mendapat pelayanan special di mana-mana, sedangkan aku? Apa?"
Aleena berkata dengan nada kecewa, wanita itu menepuk dadanya berulang kali dengan mata yang mulai berembun.
"Sstt, jangan menangis sayang, jangan menangis. Apa yang kau inginkan, hem? Kau juga menginginkan seperti itu? Katakan, aku akan memberikan apapun yang kau inginkan," ucap Arfa dengan lembut, lalu menyusut air mata yang sudah mengalir di wajah kekasihnya itu.
"Aku hanya ingin menjadi yang pertama dan satu-satunya dalam hidup Mas Arfa, apa itu kurang jelas?" ucap Aleena dengan wajah di tekuk.
Arfa tersenyum, diciumnya wajah wanita cantik yang sedang merajuk di depannya itu.
"Aku akan mengabulkan semua keinginanmu sayang, kau tidak perlu kuatir," ucap Arfa dengan lembut.
Pria itu lalu meraih gawainya yang tergeletak di atas nakas, ia mengetikkan sebuah pesan, lalu mengirimkannya kepada Alex.
"Kau akan melihat wanita itu lebih menderita dan terhina mulai sekarang. Jangan menangis lagi Aleenaku sayang, hem." Arfa meraih dagu Aleena, mendaratkan sebuah ciuman lembut di bibir wanita itu.
"Benarkah? Wanita itu akan membayar setiap rasa sakit dan air mataku?" tanya Aleena dengan penuh harap.
"Tentu saja, dia akan merasakannya berkali-kali lipat, kau akan lihat nanti," jawab Arfa, lalu menangkup wajah Aleena dengan kedua tangannya.
"Aku mencintai Mas Arfa," ucap Aleena sambil memeluk tubuh atletis pria tampan di depannya.
"Aku juga mencintaimu sayang. Jangan pernah berfikir untuk meninggalkan aku," bisik Arfa.
"Aku tiba-tiba ingin melakukannya di dalam bathtub," bisik Aleena dengan suara seksi.
"Okey," sahut Arfa dengan seringai lebar di wajahnya.
Dengan cepat Arfa membopong tubuh Aleena, lalu setengah berlari pria itu membawa Aleena masuk ke kamar mandi.