Hari kedua sebagai Office Girl, Chelsea berangkat lebih awal. Tapi tidak seperti kemarin yang datang pukul enam pagi, kali ini Chelsea datang jam delapan. Pak Asep menyambutnya, membukakan pintu gerbang dengan senyum lebar lima jari.
“Eh, calon istri kedua. Kok datangnya baru jam delapan? Saya sudah nunggu sejak jam enam tadi loh,” sapa security tersebut.
“Lho, kan masuk jam kerja operasionalnya baru jam sembilan. Masih satu jam lagi,” jawab Chelsea.
“Hehe, ya kan kali aja Non Chelsea mau nemanin saya gitu kayak kemarin.”
Chelsea tersenyum tipis.
“Sudah datang, Chelsea?” Tiba-tiba suara seseorang dari belakang menyapa.
Chelsea menoleh, lantas tersenyum lebar menyambut kedatangan ketua Office Girl.
“Bu Siti!” sapa Chelsea. “Saya kira saya datangnya sudah yang paling duluan!”
“Ini sudah jam delapan, Chelsea. Dan saya memang selalu datang jam delapan.”
“Masa sih? Kok kemarin saya nggak lihat ya?” gumam Chelsea lirih, mencoba mengingat-ingat.
“Itu karena kamu terlalu asik ngobrol sama Pak Asep.”
Chelsea meringis, merasa sedikit bersalah.
“Selamat pagi, Pak Asep, Bu Siti dan Chelsea.” Kini giliran Pak Budi yang menyapa dari belakang. Di sebelahnya berdiri Putra, masih menguap lebar sambil menggaruk leher.
“Putra! Kamu belum mandi?” tanya Bu Siti penuh selidik.
Putra menjawabnya dengan ringisan tanpa dosa. “Biasa, Bu. Kamar mandi di rumah airnya dikit. Saya numpang mandi saja di sini. Lebih praktissss.”
“Ck, heran. Kok istri kamu nggak protes selama ini?” decak Bu Siti.
“Wo ya jelas. Orang istri saya istri sholehah. Hehehe.”
Bu Siti berdecak kecil sambil menggelengkan kepala. Rupanya selain Bu Siti, Pak Budi juga terbiasa datang di jam delapan pagi.
Sambil berbincang membahas sesuatu yang tidak penting, mereka berempat masuk ke dalam gedung perusahaan. Langsung menuju ruang staff kebersihan untuk bersiap-siap.
“Jadi, jadwal untuk membersihkan lantai gedung berubah setiap hari?” tanya Chelsea saat melihat Bu Siti memperbarui jadwal yang tertempel di sebuah mading karyawan.
“Iya. Biar nggak bosan membersihkannya itu terus,” jawab Bu Siti. Lalu menoleh pada Chelsea, “Kecuali kamu. Nggak apa kan kalau kamu kebagian membersihkan ruang kerja Pak Bastian setiap hari? Karena saya yakin nggak ada satu pun Office Girl yang mau mengambil risiko dipecat. Kamu tahu kan mencari pekerjaan di jaman sekarang itu sulit?”
Chelsea mengangguk. “Tau kok, Bu! Saya malah senang bisa tiap hari bersihin ruang kerja Pak Bastian. Pokoknya segala risiko saya yang tanggung jawab,” ucap Chelsea sambil menepuk d**a.
“Ya sudah. Sekarang kamu langsung bersihkan ruang kerja Pak Bastian,” Bu Siti melirik jam dinding. “Sudah setengah sembilan.”
“Oke.”
Chelsea segera keluar dari ruang staff, melewati koridor yang masih sepi dan sempat berpapasan dengan Pak Budi.
“Mau membersihkan ruangan Pak Bastian?”
“Iya Pak,” jawab Chelsea.
“Usahakan nggak membuat kesalahan ya. Jangan pindah berkas-berkas file di meja atau di mana pun jika ada. Cukup dirapikan saja,” nasihat pria paruh baya tersebut dengan alasan menghindari jika ada sesuatu yang berpindah, Bastian akan memanggil siapa yang membersihkan ruang kerjanya. Dan itu berarti akan ketahuan jika sejak kemarin Chelsea-lah yang membersihkan kantornya.
“Beres, Pak!”
Setelahnya, Chelsea masuk ke dalam lift. Dia harus menunggu sekitar lima menit untuk sampai di lantai tertinggi gedung ini. Lantai tiga puluh.
Ting!
Chelsea langsung keluar begitu pintu lift terbuka. Dia menuju ruang penyimpanan alat kebersihan lantas dengan masuk ke ruang kerja Bastian dengan penuh semangat empat puluh lima.
Jika kemarin Chelsea membersihkan ruangan ini dengan buru-buru karena dikejar oleh waktu, kali ini dia memiliki waktu kurang lebih satu jam. Itu berarti dia bisa bersantai-santai lebih dulu.
“Hmmmhhh, jadi begini aroma ruang kerja calon suami aku,” ujar Chelsea sambil menghirup dalam-dalam udara di dalam sana. Bau penyejuk AC dan pengharum ruangan memenuhi indera penciuman Chelsea.
“Oke, mulai besok blueberry akan menjadi bau favorit aku!” katanya sebab bau ruang kerja Bastian beraroma blueberry.
“Oh, sofanya empuk!” Kini Chelsea sudah menjatuhkan diri di atas sofa. “Waaah, seleranya bagus! Oh, coba lihat, kursi kerja Pak Bastian juga nyaman!” Dan Chelsea sudah berpindah ke kursi Bastian, memutar-mutarnya seratus delapan puluh derajat.
Setelah itu, iris mata Chelsea tertuju pada tiga buah bingkai foto di atas meja kerja Bastian. Dia mengambilnya satu, di mana ada empat pria berseragam putih abu-abu, berfoto dengan gaya congkak.
“Woooahhh, ini teman-teman calon suami aku? Hmm, cakep-cakep sih, tapi yang paling cakep tetap Pak Bastian.” Chelsea memuji lantas terkikik geli melihat Bastian dulu nampak begitu muda dan lugu. Maklum saja masih remaja.
“Coba lihat yang ini!” Kali ini Bastian juga masih berfoto bersama tiga temannya. Namun mereka tidak memakai seragam putih abu-abu lagi, melainkan berfoto di atas sebuah yatch berwarna putih. Bastian memakai kemeja berwarna putih dan rambut hitamnya tertiup oleh angin laut. Itu adalah foto Bastian ketika duduk di bangku kuliah.
“Memang benar kata orang, semakin dewasa seorang pria, semakin kuat juga kharisma ketampanannya!” gumam Chelsea seorang diri. Dia meletakkan bingkai kedua dan meraih bingkai terakhir, di mana itu adalah foto Bastian seorang diri. Memakai setelan tuksedo warna hitam dan bergaya seperti seorang model.
Kedua sudut bibir Chelsea tersungging lebar. Dipeluklah bingkai tersebut di depan d**a, kemudian ...
“Mmmmuah! Mmmmmuah! Calon suamiku emang ganteng. Kok bisa sih kamu seganteng ini? Kyaaaa, tenang aja Pak Bastian, nanti aku akan memikirkan cara supaya kamu bisa notice aku. Terus lambat laun, kita lihat aja, kamu pasti jatuh cinta sama aku! Hehe.”
Saat itu Chelsea sama sekali tidak ingat bahwa dia lupa membawa ponselnya. Benda pipih itu tadi dia letakkan di dalam lokernya dan sekarang sedang berdering. Sudah hampir lima kali ponsel itu berdering dan puluhan chat masuk dari nomor Putra.
“Chelsea, keluar dari ruangan Pak Bastian sekarang! O em ji entah ada angin apa tapi dia sekarang sudah ada di depan pintu lift! Keluar sekarang Chelsea sebelum kita semua mati karena kamu!”
***
Sebenarnya jika bukan karena terpaksa, Bastian tidak akan pergi ke kantor sepagi ini.
Dini hari tadi, Rafael datang. Dia adalah salah satu teman baiknya sejak duduk di bangku putih abu-abu alias SMA. Dia datang dalam keadaan setengah mabuk bersama dengan perempuan yang Bastian yakin Rafael dapatkan di sebuah kelab malam.
“Oh, hai! Aku Tasya! Jadi pria tampan ini tinggal dengan satu temannya lagi yang nggak kalah tampan? Hmm, aku nggak keberatan kalau harus main bertiga. Kamu mau?”
Bastian menghela napas, mengusir bayangan pertemuannya dengan wanita random yang dibawa Rafael untuk One Night Stand. Ini memang bukan pertama kalinya. Dan yang membuat Bastian sering kesal adalah Rafael selalu membawa mereka menginap di apartemennya.
Heran, padahal Rafael lebih dari mampu untuk menyewa hotel suit presiden untuk bermalam. Tapi sepertinya teman laknatnya itu lebih suka untuk mengusik kehidupan nyaman dan damai yang selama ini dijalani oleh seorang Bastian Abrizan Wirasena.
Bastian sendiri memilih pergi lebih pagi ke kantor hari ini sebab tepat saat dia membuka pintu kamar dan turun ke lantai satu untuk membuat sarapan, yang dia saksikan adalah Rafael sedang b******u dengan Tasya. Keduanya tidak memakai sehelai benang pun.
“Kalau kalian lupa letak kamarnya, saya bisa tujukkan!” ketus Bastian yang diabaikan oleh Rafael dan Tasya.
Memijit pelipis, Bastian berdiri bersandar di dinding lift. Mengamati angka yang berubah seiring dengan tingginya lift tersebut naik ke atas.
Nanti saja dia meminta Indra untuk membelikan sandwich seperti biasa. Sekarang dia bisa setidaknya terbebas dari desahan menjijikkan dari dua orang yang dengan tidak tahu diri tengah bercintaa di apartemennya.
Sesampainya di lantai tiga puluh, Bastian langsung melangkah keluar. Kakinya yang panjang melangkah tegas menuju ruang kerjanya. Lantai ini masih sepi, tidak ada keberadaan Indra sama sekali sebab jam operasional perusahaan memang belum dimulai. Masih sekitar tiga puluh menit lagi.
Klek
Bastian membuka pintu ruang kerja. Saat itu kepalanya langsung menyentak ke depan. Terkejut mendapati sosok perempuan yang tengah duduk manis di meja kerjanya. Tak Cuma itu, tatapan Bastian turun dengan hati-hati, memperhatikan bahwa si wanita tersebut sedang dalam posisi memonyongkan bibir ke depan.
Astaga! Dia baru saja mencium fotonya!
Apa dia orang gila? batin Bastian yang langsung ditepisnya sendiri melihat seragam Office Girl yang perempuan itu pakai.
“Siapa kamu?” tanya Bastian dengan mata memicing. Iris matanya mengawasi dengan penuh hati-hati dan kewaspadaan.
Di sisi lain, Chelsea yang tadi memang sedang asik-asiknya menciumi foto Bastian langsung membeku. Tubuhnya tak bisa bergerak karena terlalu terkejut melihat kedatangan Bastian yang tiba-tiba.
Tunggu dulu, apakah ini hanya halusinasinya semata? Bastian tidak mungkin berada di kantor sepagi ini, pikir Chelsea.
Akan tetapi ketika suara berat Bastian terdengar dan menanyakan siapa dirinya, Chelsea langsung meneguk saliva kasar. Tahu jika yang sedang berdiri di depan pintu tersebut adalah sosok Bastian yang asli.
Astaga, apakah dia akan langsung dipecat di hari keduanya bekerja? Ini baru dua hari dan Chelsea bahkan belum sempat menjalankan satu pun rencananya.
Cepat-cepat Chelsea meletakkan bingkai foto di tangannya ke tempat semula, lalu berdiri dan berlari tepat ke depan Bastian. Di mana hal itu sempat membuat Bastian hampir kabur ketakutan.
“Selamat pagi, Pak! Saya Chelsea. Dan saya ... s-saya di sini untuk membersihkan ruangan Bapak,” ucap Chelsea dengan nada keras. Kepalanya tertunduk ke bawah selama mengatakan hal tersebut, akan tetapi segera terangkat ketika mengucapkan kalimat berikutnya.
“Tolong jangan pecat saya. Saya ... saya baru dua hari kerja dan saya butuh uang bulan ini untuk bayar hutang saya ke Manda. Selain itu, saya juga baru saja merasakan menjadi seorang Office Girl setelah selama ini saya bekerja membosankan menjadi akuntan, sekretaris pribadi dan juga staff administrasi. Saya nggak tahu lagi kalau Pak Bastian pecat saya, saya harus bagaimana. Saya ingin terus bekerja menjadi Office Girl di sini. Jadi please.. pleaseeeeee ... Jangan pecat saya,” mohon Chelsea dnegan kedua tangan di satukan di depan d**a.
Bastian menatap Chelsea aneh. Dia sama sekali tidak bisa mencerna kalimat yang baru saja Chelsea katakan karena gadis itu mengatakannya dengan sangat cepat dan tanpa jeda. Bastian bahkan sangsi jika Chelsea mengatakan kalimat panjang tersebut sambil menarik napas.
“Tolong panggilkan Pak Budi ke sini jika dia sudah datang.”
Hanya itulah kalimat yang keluar dari bibir Bastian. Bagai menganggap Chelsea adalah setitik kabut yang dengan mudah menghilang, pria itu berjalan melewati Chelsea dan langsung duduk di kursinya dengan nyaman.
Entah bagaimana hal itu membuat Chelsea sedikit kesal. Namun dia tahu ini bukan saatnya dia marah. Chelsea tidak ingin mengambil risiko dipecat di hari keduanya bekerja. Bisa-bisa hilang kesempatannya untuk mencuri hati sang CEO.
“Baik, saya akan memanggilnya,” pamit Chelsea. Segera keluar dari ruang kerja Bastian.