5. Ex

2262 Words
“Bagaimana laporan tentang terakhir dari penjualan yang saya minta? Sudah kamu siapkan?” Bastian bertanya pada Indra tepat ketika dia masuk ke dalam ruang kerja. Duduk di atas kursi yang bisa berputar seratus delapan puluh derajat, Bastian membuka tablet yang disodorkan oleh sekretarisnya. “Semua data sudah saya masukkan ke dalam sana. Termasuk juga laporan dari seluruh perusahaan cabang. Semua sudah direkap menjadi satu jadi kamu hanya tinggal mengeceknya kembali.” Bastian mengangguk puas, matanya mengawasi warna-warna merah yang ditandai di beberapa slide kotak-kotak excel. Biasanya yang berwarna merah itu merupakan tingkat penjualan yang buruk dan perlu untuk dicari solusinya. “Jadi, mobil jenis VX4 ini tingkat penjualannya sangat rendah?” Indra mengangguk kecil. “Laporan dari beberapa konsumen yang pernah membelinya, ada kendala di bagian turbo mesinnya. Itu menyebabkan mesin cepat panas dan terkadang bisa sampai mogok sendiri. Padahal usia kendaraan baru dua tahun. Konsumen juga banyak sekali yang memutuskan menjual kembali mobil jenis ini, yang hanya menang di desain saja.” “Aku juga berpikir begitu, mobil VX4 memang nampak bagus di bagian luar, aku juga menyukainya. Tapi untuk mesin, benarkah seburuk itu?” “Ya, Pak.” “Hmmm, dari dulu perusahaan Hyundai memang agak bermasalah. Seharusnya kita tidak memberikan kesempatan atas dasar kasihan karena pemimpin perusahaannya adalah kenalan nenekku. Jadi, berapa total kerugiannya?” Indra menyebut angka yang lumayan fantastis, membuat Bastian hanya mampu memijat pelipisnya. Setelah ini mungkin dia harus disibukkan kembali tentang membuat strategi bagaimana agar perusahaannya bisa menutup kerugian dengan cepat dan berbalik untuk menghasilkan laba. Bagaimana pun nasib ratusan karyawan berada di tangannya. Tok tok tok!! Suara pintu diketuk menyita perhatian. Indra segera membukakan pintu dan mundur satu langkah ketika melihat Putra membawa sebuah nampan dengan secangkir kopi panas di atasnya. Putra sendiri tak langsung masuk begitu saja. Sebab ketika dua iris matanya melihat Bastian yang tengah sibuk membaca laporan di tablet, seluruh tubuh Putra langsung panas dingin. Bahkan kaki dan tangannya pun gemetaran. “Pssst, ngapain berdiri terus di sana! Cepat masuk dan berikan kopi itu ke Pak Bastian!” perintah Indra dengan suara berbisik. Putra meneguk saliva kasar. Rasanya ia ingin kabur saja sekarang. Tapi jika dia kabur, urusan malah makin runyam. Bisa jadi Pak Bastian malah akan semakin me-notice nya. Kalau sudah begitu, jika nanti Pak Bastian jatuh cinta padanya bagaimana? Tubuh Putra merinding. Memikirkannya saja membuat dia bergidik sendiri. Menghela napas dalam-dalam, Putra mengumpulkan keberaniannya. Ayo lakukan Putra. Letakkan kopi ini di atas meja Pak Bastian lalu langsung kabur. Oke? Mumpun dia lagi fokus sama tabletnya, suaranya dalam hati. “Oke,” angguk Putra mantap. Dia pun segera masuk, dengan langkah kaki mantap. Saat itu dia bisa berjalan penuh percaya diri sebab pandangan Bastian masih tertuju pada layar tablet di tangan. Putra sudah optimis sekali bahwa Bastian sampai akhir, Bastian pasti tidak akan menyadari keberadaannya. Namun dia salah besar! Tepat ketika Putra meletakkan gelas cangkir kopi tersebut di atas meja, tepat saat itulah Bastian menyentakkan kepala ke depan. Kedua iris mata mereka saling bersibobrok satu sama lain. Tubuh Putra membeku, sementara Bastian memberikan seulas senyum tipis dan anggukan kecil. Ambyar sudah keberanian yang dikumpulkan oleh Putra tadi. Kaki dan tangannya kembali gemetar, wajahnya langsung pucat pasi. Demi apa Pak Bastian memberikannya senyum menawan itu?! Apakah pria itu sedang mencoba merayunya?! Jerit Putra dalam hati. “Apa kamu bisa—“ Belum selesai Bastian berkata, Putra sudah berbalik. Lalu lari dari sana secepat kilat, menghilang ke balik pintu keluar. Sungguh sikap yang sangat tidak sopan sebagai seorang OB. Di sisi lain, kini ganti Bastianlah yang mematung. Meski hanya sejenak saja. Pria itu mendengus lalu menggelengkan kepala tidak heran. Pasalnya bukan kali ini saja ada OB yang bersikap seperti itu. Bastian tidak marah, sungguh. Selama pekerjaan mereka baik dan tidak sedang berusaha menggelapkan dana perusahaan atau menjatuhkan perusahaannya, Bastian akan memaklumi apapun itu. “Indra, belikan saya sandwich di toko seperti biasa ya. Ingat, minta banyakin dagingnya.” Akhirnya Bastian meminta tolong pada Indra. Seperti biasa. “Kamu belum sarapan?” Bastian mengindikkan bahu. Usianya yang tujuh tahun lebih muda dari Indra kadang membuat sikap formal mereka jadi tidak ada. Indra sudah menemaninya sejak Bastian lulus SMA, membantunya belajar tentang bagaimana cara mengelola perusahaan atas wasiat kakeknya. Dan sekarang Indra menjadi sekretarisnya yang paling loyal. “Entahlah. Sandwich untuk sarapan rasanya lebih enak.” “Tapi itu tidak baik, kamu harusnya sarapan di jam tujuh atau delapan pagi. Jam 10 sudah termasuk siang hari.” “Aku tidak akan mati hanya gara-gara terlambat makan, Indra.” Indra menghela napas. Mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa memaksa Bastian. Toh, Indra tahu, Bastian tinggal sendirian dan pria itu tidak bisa memasak. Kadang Indra sudah membawakannya makanan dan dia letakkan dalam kulkas akan tetapi Bastian terlalu malas untuk menghangatkannya. Pria itu lebih memilih memesan di aplikasi dan itu hanya jika dia sudah sangat kelaparan. Membuat Indra kadang gemas sendiri. Padahal kan Bastian seorang pimpinan perusahaan? Tapi dia seolah sering mengabaikan kesehatannya dari pola makan yang tidak teratur. “Oke, terserah kamu. Saya akan belikan kamu sandwich sekarang,” pamit Indra, kembali menggunakan bahasa formal. “Terima kasih!” seru Bastian sebelum sosok itu menghilang ke balik pintu. *** Putra masuk ke ruang staff kebersihan dengan napas tersengal-sengal. Dia menyandarkan tubuh ke dinding lantas melorot lemas ke lantai. Para OB yang melihat langsung menghampiri termasuk degan Pak Budi dan juga Chelsea. “Putra! Kamu kenapa, huh?” tanya Pak Budi. “Pak Budi!” Putra meraih lengan Pak Budi, menatapnya dengan pandangan mata shock yang tidak bisa ditutupi. “Pak Budiii,” suranya jadi bergetar. “Kenapa kamu? Jangan buat kita semua takut, Put!” tanya Pak Budi lagi. Lalu tiba-tiba Putra menangis kencang, bak anak kecil. Semua OB saling bertatapan penuh tanya. Detik berikutnya, mereka mendengar alasan Putra menangis. “Pak Budi hiks hiks, Pak Budiii, bagaimana ini? Pak Bastian, Pak Bastian kayaknya suka sama saya. Hueeee... Masa tadi dia senyum-senyum sama saya. Mana senyumannya pakai menggoda banget yang kayak mau tebar benih cinta. Saya nggak kuat, saya takuuut tiba-tiba diseret ke sofa, lalu dilahap bulat-bulat. Hueee.” Pak Budi dan para OB langsung bergidik ngeri membayangkan ucapan Putra, sementara Chelsea adalah satu-satunya orang yang berdecak tak percaya. “Nggak mungkin calon suami saya kayak gitu!” tukas Chelsea. “Calon suami? Maksudnya Pak Bastian?” “Ya iyalah. Siapa lagi? Hihi. Demi dia, saya mau kerja di sini sebagai OB.” “Chelsea, Pak Bastian itu gay, nggak mungkin doyan sama kamu. Kecuali kamu operasi kelamin, mungkin dia mau lirik kamu,” kata Andi. “No no no. Kalian semua salah. Karena saya di sini mau menyembuhkan Pak Bastian. Saya mau buat dia normal lagi suka sama cewek!” tekad Chelsea. Andi mendengus kecil, prihatin dengan tekad bulat Chelsea. Merasa kasihan juga karena gadis itu harus jatuh cinta pada pria berkelainan s*****l seperti Bastian. “Ah sudah, sudah. Jangan bergosip. Bantu saya bawa Putra ke ruang istirahat. Mau pingsan nih!” sela Pak Budi. Para OB pun menurut. *** “Seriously, Chelsea? Kamu jadi babu di perusahaan WINA?” tuding Manda, menatap seragam yang dikenakan oleh Chelsea. Chelsea mengangguk polos, dia membuka kancing seragamnya dan menggantungnya dalam almari karyawan. Saat ini memang mereka berada di ruang ganti. Jam pulang kantor sudah selesai, kebanyakan sudah pada pulang. “Iya. Keren kan?” “Keren apanya?” decak Manda. Dia berdiri kemudian memutar bahu Chelsea hingga menghadapnya. “Kayaknya kamu udah nggak waras. Coba bilang sama aku, kapan kamu kebentur tembok kamar kamu?” “Ih apa sih, Manda!” Chelsea mendorong Manda ke belakang. Dia mengambil kemeja dan blazernya lalu memakainya. Besok dia akan datang memakai kaus saja, lebih simple jika harus berganti-ganti pakaian dengan seragam OG. “Aku nggak kebentur tembok kamar ya. Tapi ini tuh bentuk perjuangan aku biar bisa dekat sama calon Imam gue.” “Lebih tepatnya calon makmum. Karena Pak Bastian—aku yakin role-nya adalah perempuan.” Chelsea tidak berkomentar apapun. Dia lebih sibuk untuk menyelesaikan berganti pakaiannya. “Dan seorang Chelsea Olivia Putri yang merupakan lulusan Universitas Negara Indonesia dengan IPK 3,5 nyatanya hanya mampu menjadi Office Girl di perusahaan WINA demi alasan CINTA! Sumpah ya, kalau sampai ada dosen kamu yang tau mereka bakal menangis karena merasa gagal sebagai dosen,” lanjut Manda terus menyerocos. “Aku nggak tahu lagi sama jalan pikiran kamu. Padahal udah baik kemarin kamu diterima bekerja di perusahaan Semen Empat Roda sebagai staff administrasi. Ya seenggaknya gaji sama karir kamu bisa terjaminlah. Lalu ini apaaa??” “Ini namanya memperjuangkan masa depan, Manda sayang,” sahut Chelsea. Dia menutup lokernya dan berbalik pada Manda. “Lagian apa yang salah sih jadi OG? Pekerjaan ini halal kan?” “Iya halal, tapi kan—“ “Udah ah, diam. Nggak mau bahas. Pokoknya ini pilihan aku sebagai bentuk usaha mendekati calon suamiku. Tak kenal maka tak sayang. Aku bakal buat Pak Bastian tau keberadaanku di perusahaan ini. Lalu pelan-pelan, dia akan jatuh cinta sama aku. Jadi deh, kita pacaran, menikah, punya anak dan hidup bahagia selama-lamanya.” Manda menjitak kepala Chelsea hingga membuat gadis itu mengaduh sakit. “Yeuuu, mimpi aja terus! Sampai lebaran kucing juga Pak Bastian nggak bakal notice kamu.” “Kenapa enggak?” “Kan aku udah bilang. Dia itu gay Chelsea.” “Nanti dia bakal normal setelah kenal aku.” “Dih! Hahahaha! Ngimpi!” “Nggak apa-apa. Kan memang semua hal di mulai dari mimpi.” “Tau ah, kamu mah ngeyel terus. Ayo pergi ke Angkasa Chicken aja. Dengar-dengar ada menu baru dan lagi diskon lima puluh persen,” ajak Manda mengalihkan pembicaraan. “Lima persen? Serius?” “Iya. Tapi hanya hari ini doang. Mau nggak?” “Mau dong! Let’s go!!” Keduanya berjalan keluar dari gedung perkantoran. Naik bus pertama yang lewat dan segera menuju Angkasa Chicken yang letaknya tak begitu jauh dari apartemen. Mungkin hanya sekitar lima belas menit berjalan kaki. “Rame banget!” keluh Chelsea saat mereka sampai di tujuan. Di sana berbaris mengantri belasan pengunjung bagai ular. “Ya iyalah. Namanya diskon lima puluh persen. Pasti rame,” jawab Manda. Lalu tiba-tiba salah seorang pelayan toko berseru, memberikan pengumuman dadakan. “Karena keterbatasan makanan yang didiskon, hanya dua slot lagi yang tersisa. Silakan mengantri di paling belakang, setelah itu kita akan menutup antrian sampai di sana!” Refleks saja, Manda dan Chelsea berlari ke arah antrian. Melewati pengunjung lain yang baru datang. Nahas, di sisi lain ada dua orang juga yang lari demi merebut antrian sisa tersebut. Membuat keempatnya bertabrakan. BRAK! “Aduh!” pekik mereka bersamaan. Yang sama-sama jatuh terbentur lantai. “Mbak kalau jalan hati-hati dong! Sakit tahu!” protes seorang wanita dengan gaun berwarna pink seksi. Dia berusaha berdiri, dibantu dengan pria di sampingnya. “Kamu nggak apa-apa, Sayang?” tanyanya. Chelsea dan Manda juga berdiri. Lantas secara hampir bersamaan keduanya menyentakkan kepala ke depan. Kedua bola mata Chelsea pun langsung terbelalak melihat sosok familiar di depannya. “Brian?!” “Chelsea?!” “Si kamprett!” Manda ikut menyahut. Ternyata yang menabrak mereka adalah mantan Chelsea dan pacar barunya. “Kamu kenal mereka sayang?” rajuk pacar Brian manja. Tangannya bergelayut di lengan prianya sementara suaranya dibuat mendayu-dayu. Hal yang membuat Manda langsung bergidik jijik. “Sorry, kita nggak kenal cowok sampah muka jelek dan tukang selingkuh macam dia. Ayo Chel!” Manda menarik Chelsea masuk ke dalam barisan. “Eits, ini aku duluan yang antri. Minggir!” seru pacar Brian tidak terima. “Enak aja. Kita duluan tau yang antri. Jauh-jauh sana!” Manda mengibaskan tangannya ke udara, seolah sedang mengusir serangga di sekitar. “Nggak mau! Kalian yang minggir!” Hal yang selanjutnya terjadi adalah adegan saling dorong antara pacar Brian dengan Manda. Sementara Chelsea dan Brian sama-sama berusaha melerai. “Sayang, sudah sayang.” “Manda. Jangan giniii!” “Heh, heh, heh. Kalian ini kenapa ribut-ribut!” tiba-tiba manajer restoran keluar, memarahi mereka. “Ini tempat aku, dianya mau nyerobot!” ketus Manda. “Enak aja. Aku yang duluan tadi.” “Aku!” “Aku!” “Ah sudah, sudah! Dari pada kalian berbuat keributan di sini mending kalian pergi!” “Tapi—“ “Nggak ada tapi-tapian! Pergi dan kembali lagi besok!” “Tapi besok udah nggak ada diskon, Pak!” “Ya memang! Salah kalian berbuat ribut! Sudah sana pergi!” Manda dan pacar Brian akan mengeluarkan protes lagi namun baik Chelsea dan Brian langsung menarik tangan keduanya pergi. Dari pada mereka dibuat tontonan lebih banyak orang lagi di sana. “Awas ya kalian kalau sampai ketemu lagi!” ancam pacar Brian sambil naik ke dalam mobil. “Kamu yang awas aja kalau sampai ketemu kita lagi! Apalagi sama cowok kardus itu!” teriak Manda. “Sudah, Man! Biarin aja!” tegur Chelsea. “Ya kesel, Chel. Gara-gara dia kita jadi gagal kan makan di Angkasa Chicken? Kita jadi kehilangan diskon!” gerutu Manda masih luar biasa jengkel. Matanya mengawasi tajam mobil Brian yang meninggalkan tempat parkir restoran. “Huft. Ya udah. Malam ini makan nasi goreng pinggir jalan aja!” ucap Chelsea memberi solusi. “Tapi aku pengen makan ayam,” jawab Manda dengan muka sedih. Chelsea tertawa, lalu merangkul bahu sahabatnya tersebut. “Besok kan bisa! Aku yang traktir deh!” “Beneran?” “Iya!” angguk Chelsea. “Kan kamu nggak ada duit!” “Kan hutang kamu dulu,” ringis Chelsea tanpa dosa. “Ah elah. Sama aja aku yang nraktir!” Keduanya pun masih saling berdebat kecil menyusuri trotoar. Memang, mereka sudah menjadi sahabat sejak lama. Dan keduanya berharap mereka bisa terus bersahabat sampai waktu yang tak terhingga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD