“Pak Budi!” teriak Putra pada pria yang setengah rambutnya sudah menjadi putih.
Pak Budi yang baru saja kembali dari toilet mengernyitkan dahi, menatap Putra dengan raut muka prihatin.
“Kamu ini! Pakai baju dulu sebelum panggil-panggil nama saya. Makanya menikah itu kalau hidup kamu udah sedikit lebih mapan, biar nggak stress,” sindir Pak Budi yang kenyataannya memang menentang keras pernikahan muda. Menurut Pak Budi, menikah muda itu lebih banyak sisi negatifnya dari pada hal positifnya. Yah, meski tidak bisa semua bisa dipukul sama rata, tapi tetap saja bagi beliau usia yang jauh lebih dewasa dan matang lebih bisa membuat rumah tangga berjalan harmonis. Buktinya saja, banyak yang menikah muda namun usia pernikahan mereka hanya seumur jagung bisa bertahan.
“CK, apa sih Pak Budi! Serius ini!”
“Ya saya juga serius ngasih tahu kamu! Untung istri kamu penyabar, coba kalau enggak. Paling nikah tiga hari udah diceraikan kamu!”
“Dih, Pak Budi nggak boleh gitu. Jelek banget doanya!” gerutu Putra sebal. “Miskin-miskin gini, saya itu bertanggung jawab. Makanya istri saya cinta sama saya.”
“Iya iya, makan tuh cinta kalau nanti sudah punya anak!”
Pak Budi tahu dia sedikit keterlaluan. Namun dia hanya ingin mengeluarkan pendapat tidak setujunya tentang menikah cuma atas dasar cinta. Bagaimana pun adanya materi tetap diperhitungkan apalagi jika sudah mempunyai anak nanti.
“Ada apa manggil-manggil saya?” tanya Pak Budi pada akhirnya.
“Oh, itu! Gawat Pak gawaaattt!” seru Putra.
“Gawat kenapa?”
“Tunggu, saya pakai baju dulu. Nanti dikira kita juga jeruk makan jeruk lagi,” tukas Putra dengan nada merinding. Dia tidak bisa membayangkan dirinya menyukai seorang laki-laki seperti halnya Bastian.
Beberapa menit setelah mengganti baju dengan seragam Office Boy, akhirnya Putra kembali berbicara dengan Pak Budi. Akan tetapi, baru saja mulut itu terbuka, pintu karyawan sudah diketuk.
“Chelsea? Ada apa?” tanya Pak Budi.
Chelsea menggaruk pelipis yang tidak gatal. Aduh, bagaimana cara menyampaikan hal ini tanpa membuat Pak Budi shock? Sempat melirik Putra, Chelsea jadi ingat bagaimana pucat wajah pria itu kemarin setelah menyajikan kopi untuk CEO mereka.
“Selamat pagi semua! Wah, rame nih! Ada apa?”
“Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi.”
“Eh, asik juga ya berangkat setengah jam sebelum kantor buka?”
“Woi, woi, woi! Misi, misi. Orang ganteng mau lewat.”
Mendadak ruang ganti para office boy sudah dipenuhi oleh para karyawan. Itu berarti mereka benar-benar menyetujui perihal datang ke kantor setengah jam sebelum buka. Mereka serius tidak ingin membersihkan ruang kerja Bastian, jadi dengan senang hati mereka melakukan hal ini.
“Chelsea, penyelamat para OB! Kamu sejak kapan datang? Udah rapi aja pakai seragam?” tegur salah satu pria.
“Wah, memang sekali penyelamat tetap penyelamat. Makan siang nanti, saya yang traktir kamu oke?”
“Makan di kantin kan gratis g****k!” seru yang lain.
“Lho, kartu makan Chelsea kan belum jadi. Ya nggak Pak Andi? Eh, atau sudah?”
Chelsea yang sejak tadi ingin berbicara dengan Pak Budi jadi urung. Semakin bingung bagaimana cara menyampaikannya pada beliau.
“Chel, kita tahu kamu barang kali masih jomblo. Tapi bisa kan keluar sebentar? Kita para laki-laki mau ganti baju nih. Kecuali kamu nggak keberatan lihat tubuh-tubuh indah kita, silakan masuk ke dalam, lalu tutup pintunya.”
Mengerjab salah tingkah, Chelsea buru-buru pamit. Mungkin akan lebih baik jika dia menunggu sedikit lebih lama untuk berbicara dengan Pak Budi.
Selesai berganti pakaian, para OB akhirnya keluar dari ruang ganti. Mereka terkejut mendapati Chelsea mondar-mandir di depan pintu.
“Chelsea? Kok masih di sini? Emangnya udah bersihin ruangan Pak Bastian?” tanya Andi.
“I-itu ... ”
“OH IYA!” Mendadak Putra berseru. Dia menepuk keningnya karena teringat sesuatu. Semua mata pun kini tertuju pada pria berusia dua puluh dua tahun tersebut.
“Kenapa Put?”
“Pak Budi. P-P-Pak Bastian. Tadi saya lihat Pak Bastian sudah datang,” sampai Putra pada akhirnya.
Hening sejenak.
Detik berikutnya seluruh para OB menyuarakan satu kata yang sama.
“APA?!”
“Serius kamu Put?” tanya Andi.
“Serius!”
“Demi apa?!” sahut yang lain.
“Coba cek ini jam berapa?”
“Ini masih setengah sembilan lewat dikit masa Pak Bastian udah datang? Salah kali kamu!” seru yang lainnya lagi tidak percaya.
“Eh seriusan udah datang! Aku lihat dengan mata kepala sendiri kok!” tegas Putra tak mau kalah. Dia pun menatap Pak Budi yang sejak tadi masih mematung. “Pak Budi?”
Pak Budi sendiri sejak tadi hanya memperhatikan Chelsea yang menggigit bibir. Dari ekspresi tubuh saja pria itu sudah bisa menebak apa yang sedang terjadi.
“Chelsea,” kata Pak Budi.
“Ya?”
“Pak Bastian sudah datang?”
Sebagai jawaban, Chelsea mengangguk terpatah-patah. “Iya,” cicitnya lirih. “Dan sekarang Pak Budi dipanggil ke ruangannya Pak Bastian.”
Budi yang shock, tubuhnya langsung ambruk ke belakang. Akan tetapi kesigapan para OB mendahuluinya. Mereka menahan tubuh Pak Budi agar tidak jatuh ke lantai yang berakibat sakit.
“Kamu ketahuan sama Pak Bastian?” tanya Pak Budi setelah berhasil menguasai diri kembali.
“Iya,” angguk Chelsea dengan rasa bersalah. “Maaf.”
“Nggak usah minta maaf, Chel. Ini bukan salah kamu!” sahut Putra. “Lagian tadi kamu ke mana aja? Aku telepon berkali-kali kamu nggak angkat?”
“Tadi kamu telepon aku?” tanya Chelsea. Dia meraba pakaiannya dan menemukan tidak ada ponsel bersamanya. “Nggak ada. Pantes aja aku nggak tahu. Kayaknya tadi aku taruh di loker! Sorry.”
“Sudahlah. Ini bukan salah siapa-siapa. Sekarang saya akan pergi ke ruang kerja Pak Bastian,” ucap Pak Budi dengan suara lemas. Dia mencoba menopang tubuhnya sendiri namun baru dua langkah dia sudah lemas dan ambruk ke lantai. Membuat para bawahannya langsung berlari lagi ke arahnya.
“Pak Budi!” seru mereka serempak.
Menoleh, Pak Budi menunjukkan wajah yang luar biasa pucat. Matanya pun berkaca-kaca karena ingin menangis. Memperhatikan para OB yang menatapnya prihatin.
“Pak Budi baik-baik aja?” tanya Putra hati-hati.
“Tolong, nanti jika saya keluar dari ruang Pak Bastian dan sudah lupa dengan jati diri saya, bawa saya ke tempat ruqyah yang paling terkenal di ibu kota.”