Seumur hidup, baru kali ini Chelsea merasa sangat bangga dengan seragam yang dia pakai. Bukan pakaian kasual atau jas seperti saat dia harus bekerja sebagai salah satu sekretaris atau manajer di sebuah perusahaan-perusahaan besar sebelumnya. Kali ini seragam Office Girl-lah yang menempel di tubuh Chelsea.
Berwarna abu-abu dipadu dengan warna biru dongker di beberapa bagian, pakaian OB maupun OG nampak sama saja. Dengan stel-an celana panjang dan baju lengan pendek.
“Sudah siap?” Bu Siti masuk ke ruang ganti staff wanita untuk bertanya.
Chelsea yang tadinya menghadap cermin berbalik, lantas mengangguk mantap. “Sudah dong!” serunya sambil memutar tubuh. “Gimana, Bu Siti? Saya cantik banget ya pakai seragam ini. Hehehe.”
Bu Siti hanya bengong saja. Barang kali dia telah salah mempekerjakan seorang karyawan. Sebab dari kelakuan ini saja dia sudah merasa Chelsea sedikit aneh.
“Cantikan juga saya. Orang kamu belum ada yang lamar, sementara saya sudah menikah dan punya tiga orang anak,” jawab Bu Siti sekenanya. “Ayo cepat keluar. Sudah ditunggu Pak Budi sama Putra.”
Atas perintah Bu Siti, Chelsea cepat-cepat keluar dari ruang ganti. Menemui Pak Budi dan Putra yang sudah mengunggu tidak sabar. Pak Budi sendiri sedang melirik arlojinya dengan ngeri.
“Ayo, Chelsea! Waktu kita tidak banyak. Hanya sepuluh menit tersisa!” seru Pak Budi.
Ketiganya langsung menuju lift. Putra menekan lantai 30, lantai tertinggi gedung di mana kantor Bastian berada.
“Pak Budi. Ruangan Pak Bastian belum dibersihkan?” Seorang pria berjas rapi menyambut kedatangan mereka. Rambut hitamnya disisir ke belakang, nampak berkilau karena penggunaan gel.
“Maaf, Pak Indra. Seperti biasa, para OB selalu kabur ketika saya suruh membersihkan ruangan Pak Bastian,” keluh Pak Budi jujur.
Indra, adalah sekretaris Bastian. Dia bekerja di lantai yang sama dengan lantai Bastian. Ruangan mereka bersebelahan. Dan menurut gosip yang beredar, Indra juga menderita kelainan s*****l sama seperti Bastian. Hanya saja Indra ini tidak benar-benar gay alias masih doyan cewek juga, tidak seperti Bastian yang memang sudah dipastikan hanya menyukai laki-laki.
Lihat saja buktinya, mulai dari sekretaris, asisten pribadi bahkan OB yang boleh membersihkan ruangan Bastian hanya laki-laki. Tidak ada perempuan yang ditunjuk sama sekali.
Menghela napas, Indra mengangguk kecil. Sebagai sekretaris pribadi, tentu dia juga harus menyiapkan hal-hal detail terkait kenyamanan Bastian dalam bekerja. Termasuk dalam hal kebersihan di lantai itu.
Namun, ketika iris matanya menangkap keberadaan Chelsea, kening Indra berkerut dalam. Dia hendak bertanya kenapa ada office girl di situ tapi Pak Budi segera menginterupsi.
“Nanti saya jelaskan. Sekarang, biarkan mereka berdua bekerja sebelum Pak Bastian datang,” kata Pak Budi, mendorong tubuh Indra agar kembali masuk ke ruangannya.
“Ayo, Chel. Ruangannya di sana!” tunjuk Putra.
Chelsea mengangguk.
Setelah mengambil alat-alat kebersihan di ruang penyimpanan, Chelsea segera masuk ke ruang kerja Bastian, sementara Putra membersihkan lantai sepanjang koridor.
“Tunggu, Anda membiarkan seorang perempuan membersihkan ruangan Pak Bastian? Pak Bastian bisa marah jika dia tau hal ini!” protes Indra ketika melihat apa yang terjadi.
“Iya. Hanya jika Pak Bastian tahu. Makanya kamu jangan bilang-bilang sama beliau.”
“Tapi—“
“Pak Indra. Kamu nggak tahu kesulitan apa yang saya dapatkan ketika setiap pagi semua OB melakukan drama tidak masuk akal agar terhindar dari membersihkan ruangan CEO mereka. Chelsea adalah solusi untuk semuanya. Eits, kamu tidak perlu khawatir. Saya dan para anak buah saya sudah kongkalikong, saling memberi informasi jika Pak Bastian datang, kami akan memastikan beliau tidak memergoki kami. Jadi, selama kamu diam, semua akan baik-baik saja.”
Sebenarnya Indra masih ingin protes mengingat dia adalah tipe sekretaris yang sangat loyal pada atasan. Namun kali ini dipikir-pikir alasan Pak Budi masuk akal juga. Yah, dari pada tidak ada yang bersih-bersih ruang kerja Bastian dan berakibat dia kena amuk, bukankah ini lebih baik?
Wajah pasrah Indra menimbulkan kepuasan tersendiri bagi Pak Budi. Lelaki yang sudah berumur setengah abad itupun tersenyum penuh kemenangan.
“Nah, sekarang. Kamu mau minum apa? Kopi, teh atau air putih?” tawarnya.
“Espresso saja, Pak. Seperti biasa.”
“Oke.”
Pak Budi pun meninggalkan Indra seorang diri. Dia bergegas menemui Putra agar pria itu segera membuatkan minuman untuk sekretaris CEO tersebut.
“Kalau Pak Bastian biasanya dia minum kopi hitam. Kamu buatkan juga ya sekalian?”
“Beres, Pak!” jawab Putra, yang langsung bergegas ke area dapur di lantai itu.
Sepuluh menit kemudian, Chelsea sudah keluar dari ruangan Bastian. Keringat membasahi dahi dan lehernya, tanda jika dia bekerja dengan cepat di dalam sana.
“Fiuh,” hela napas Chelsea lega.
“Chelsea? Sudah selesai?” tanya Pak Budi.
“Beres dong, Pak!”
“Bersih nggak?”
“Ya Pak Budi cek aja sendiri!” tukas Chelsea.
Pak Budi nampak gamang dan ragu, akan tetapi dia wajib melakukan pemeriksaan dengan teliti sekarang jika tidak ingin nanti terjadi hal rumit. Dengan hati-hati, pria itu pun masuk ke dalam ruang kerja Bastian, mengendap-endap kemudian mulai mengecek kebersihan. Mulai dari tata letak sampai merasakan debu di ujung jari tangan.
“Bersih kan Pak?” tanya Chelsea tiba-tiba, berdiri di belakang Pak Budi dan membuat pria itu terkejut setengah mati.
“Iya. Ini sudah cukup bersih. Kerja bagus!” puji Pak Budi.
Dada Chelsea membusung bangga. Namun lantas dia bertanya, “Tapi kenapa tadi Pak Budi masuknya mengendap-endap? Biasa aja kali, Pak. Saya aja nih—“
“Sssttt... udah! Ayo keluar!” perintah Pak Budi. Dia tidak ingin menjelaskan pada Chelsea bahwa sebenarnya dia takut masuk ke ruang kerja Pak Bastian sama seperti para OB dan semua karyawan laki-laki lain. Itu bisa menurunkan harkat dan martabatnya sebagai pengawas para OB.
“Oke!” sahut Chelsea. “Pak Bastian belum datang Pak?”
“Entah, sepertinya belum karena nggak ada informasi dari lantai bawah. Kita beruntung punya lebih banyak waktu.”
Tak berselang lama, Putra muncul membawa sebuah nampan dengan secangkir kopi panas hitam di atasnya. Iris mata Chelsea menatapnya tertarik.
“Itu kopi buat Pak Bastian?” tanyanya.
“Ya iyalah, Chel. Masa buat Pak Budi?” jawab Putra sambil meletakkan kopi tersebut di atas meja.
“Kan Pak Bastian belum datang, kenapa udah dibuatkan sekarang?”
“Ini namanya mengurangi risiko di notice sama dia alias mengurangi intensitas bertemu demi keamanan jiwa dan ragaku sebagai salah satu pria tampan di perusahaan ini. Lagi pula selama ini memang begini kok!”
Dahi Chelsea berkerut heran. Sebenarnya sampai sekarang dia masih belum memahami kenapa para pegawai pria di perusahaan ini ketakutan sekali jika harus berhadapan dengan Bastian. Padahal kan Bastian ganteng? Apa karena kabar kelainan seksualnya?
Tringgg ... Triiing ... Triiingg ...
Ponsel Putra dan Pak Budi berdering hampir bersamaan. Keduanya pun cepat-cepat mengecek panggilan masuk yang ternyata dari OB di lantai bawah.
“Kayaknya Pak Bastian sudah datang. Ayo segera pergi dari sini!” Pak Budi berkata yang diangguki setuju oleh Putra.
Mereka menoleh ke arah Chelsea dan terbelalak karena ternyata gadis itu tengah membungkukkan tubuh, menghirup aroma kopi hitam untuk Bastian, kemudian dengan tanpa rasa bersalah sedikit menyeruputnya ...
“Chelsea!” teriak Pak Budi dan Putra bersamaan, yang langsung membuat Chelsea tersedak.
“Aduh, panas!” serunya sambil mengipasi bibirnya. “Pahit banget huek! Ini kopinya berapa sendok?!” tunjuk Chelsea pada cangkir kopi hitam tersebut.
“Dikit kok! Cuma tiga sendok,” jawab Putra dengan wajah polos.
“Tiga sendok?!” Kali ini Pak Budi dan Chelsea-lah yang berseru histeris.
“Iya, kenapa? Kurang kah?”
Pak Budi menepuk jidat lemas. Andai saja Aryo tidak terkena sawan ...
“Pokoknya kalau nanti Pak Bastian nyuruh kamu buat bikin kopi lagi, saya tidak mau tahu.”
“Lho lho lho! Aduh, emang nggak enak banget ya?” tanya Putra, menatap Chelsea, karena Pak Budi sudah angkat kaki dari sana.
Chelsea mengangguk jujur, membuat wajah Putra langsung pucat pasi.
“G-gimana ini,” gumamnya sembari menggigit bibir.
“Tenang aja. Sini aku buatin lagi!” ujar Chelsea kemudian. Dia mengambil gelas kopi dari atas meja kemudian berjalan cepat keluar ruangan menuju dapur lantai tersebut.
“Pak Bastian sudah sampai lantai berapa?” tanya Chelsea sambil menyiapkan gelas yang baru.
“Sudah naik lift. Ayo buruan Chelsea.”
“Sabar dong!”
Dengan kecepatan ekstra namun tetap menyesuaikan takaran yang pas, Chelsea membuatkan kopi hitam untuk Bastian. Selama mengaduknya, seulas senyum terus tersungging di bibir Chelsea.
“Selesai! Ini adalah kopi cinta buatanku untuk calon suami masa depan!” bangga Chelsea setelahnya. Dia menghirup aroma kopi yang terasa pas di hidung.
“Ini sudah enak?” tanya Putra was-was. Dia tidak ingin jika nanti dipanggil ke ruangan Bastian hanya gara-gara masalah kopi.
“Seratus persen!”
“Boleh aku coba dulu? Takutnya—“
Belum sempat Putra menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba terdengar sapaan pagi koridor. Itu suara Indra dan Pak Budi, menyapa Bastian yang baru saja keluar dari pintu lift.
Putra dan Chelsea saling berpandangan, lalu terdiam sambil menunggu Bastian masuk ke dalam ruang kerjanya.
“Heh, Chelsea! Ngapain masih di sini? Ayo cepat turun sebelum Pak Bastian lihat kamu!” Tiba-tiba Pak Budi muncul, wajahnya nampak sedikit panik.
Chelsea mengangguk. Namun langkahnya sempat terhenti karena tangannya ditahan oleh Putra.
“Chelsea, kalau kamu pergi, siapa yang antar kopi ini?”
“Ya kamulah!” ujar Pak Budi dan Chelsea bebarengan.
“Nggak mau!” geleng Putra. Kakinya menghentak-hentak lantai. “Saya takut Pak Budi.”
“Kamu ini! Kan tinggal ngantar doang!”
“Ya udah. Pak Budi aja kalau gitu yang antar ya? Please ... Pleaseeeee,” mohon Putra dengan kedua telapak tangan ia satukan di depan d**a.
Diam-diam, Pak Budi meneguk saliva kasar. Dia sendiri tidak berani berduaan di dalam satu ruang bersama dengan Bastian. Selama ini Pak Budi selalu main aman, jika bertemu dengan Bastian haruslah di tempat terbuka dan banyak orang. Trik ini dia jalankan bertahun-tahun tanpa orang-orang menyadarinya.
“Enak saja! Saya itu atasan kamu ya! Dan saya posisinya sebagai pengawas. Kamu yang harus bekerja. Sana cepat! Sebelum dia marah dan malah menahan kamu lebih lama lagi di dalam sana!” ujar Pak Budi.
Putra sempat menatap Chelsea penuh belas kasih namun mau bagaimana lagi? Seandainya saja Chelsea bukanlah perempuan ...
“Sudah cepat!” tutur Chelsea.
Akhirnya Putra mengalah. Hal ini harus cepat diselesaikan dari pada semakin lama, malah semakin membuat dia tertahan bersama Bastian.
“Kita turun dulu. Kami tunggu kamu di ruang staff kebersihan. Semangat!” ucap Pak Budi memberi semanat.
“Semangat!” sahut Chelsea ikut-ikutan.
Lantas mereka berdua meninggalkan lantai 30 dengan sembunyi-sembunyi. Membuat Indra hanya menggelengkan kepala pelan. Ada-ada saja kelakuan para OB demi menghindari CEO mereka.