19. Panggilan masuk dari Bianca

1032 Words
Tidak berhenti sampai disitu. Di reject sekali dua kali, Bianca masih terus menghubungi tanpa mempedulikan sudah berkali-kali pula Gladys mereject-nya. Baginya, tidak ada hal lain selain kecewa yang dirasakan. Mengapa Bianca ikut bungkam dengan kenyataan pernikahan Steven? Apa dia tidak tahu itu cukup menyakiti perasaanku? Karena sudah berkali-kali ponselnya bergetar, akhirnya mau tidak mau Gladys mengangkat panggilan masuk itu. Ia tidak bisa menghindar rupanya, pada sahabat dekat sekaligus adik dari sumber kekecewaan hatinya. Ia mengambil ponselnya itu dengan genggaman erat pada gawainya. Itu menandakan seberapa besar rasa kecewanya hingga harus menahan semua emosinya. Ia pun menghela napas sebelum menggeser ikon panggilan masuk untuk mengangkat panggilannya. // Pagi, Dys … // Pagi … // Uhm, bagaimana keadaanmu sekarang? Sepertinya kamu tidak bisa di hubungi sejak terakhir kali aku mengantarmu ke rumah sakit. Apa kondisimu baik-baik saja? Ditanya dengan canggung oleh Bianca, Gladys hanya bisa diam beberapa saat untuk menetralkan perasaannya. Semua orang disisinya berakting bahwa tidak ada apapun yang terjadi. Jadi, mari kita lakukan hal yang sama. Seorang Gladys pun yang sudah dipatahkan hatinya bisa berakting baik-baik saja di depan kalian! // Keadaanku baik, Bie. Pak Direktur merawatku dengan baik disini, jadi kamu tidak perlu khawatir. Lagi pula hari ini aku juga akan masuk ke kantor, kita lanjut obrolannya di sana saja, ya. Aku soalnya harus bersiap-siap. // Ba—iklah kalau begitu, aku tidak akan mengganggumu. Tapi Dys … // Ada apa Bie, kelihatannya ada sesuatu yang mengganggumu? Dengan susah payah Gladys mengatur emosinya. Ia berkali-kali menahan napas agar tidak kelepasan menunjukkan perasaan yang sebenarnya, ‘Iya. Kamu merasa bersalah kan mendengar aku baik-baik saja? Apa kamu berpikir aku masih belum mengetahui bahwa kakakmu akan menikah? s**t! Semua orang saja saja!’ batinnya mengumpat. // Ti—tidak ada kok. Ak—aku hanya senang saja kalau kamu beneran akan kembali ke kantor. Kamu tahu, tugas Divisi bagian Desain sedang kekurangan seseorang karena proyek pembangunan gedung kepresidenan. // Kamu tidak perlu khawatir, Bie. Aku akan segera datang dan membereskan nya. Maaf sudah menyusahkanmu dengan banyaknya pekerjaan yang kutinggalkan. // Tidak. Sama sekali tidak menyusahkan ku, kok. Anu … aku benar-benar mengharapkan mu kembali ke kantor hari ini, itu juga karena ada hal penting yang ingin dibicarakan. // Hal penting untuk dibicarakan?! Apa itu, kelihatannya serius, // Aku tidak bisa mengatakannya disini. Aku tunggu saja kedatanganmu di kantor. // Oh … oke, baiklah. Kalau begitu, aku tutup dulu. Karena pasti akan telat nanti kalau kelamaan ngobrolnya. // Sampai jumpa, Dys…  Panggilan pun usai. Gladys melonggarkan genggaman pada ponselnya. Sekali lagi ia menundukkan kepalanya dengan kedua tangan bertumpu pada meja rias di depannya. Napasnya memburu. Hanya beberapa menit mengangkat panggilan itu, emosinya kembali tidak stabil. “Apakah aku benar-benar mampu bertemu dengan Bianca nantinya. Sepertinya aku memang belum siap untuk bertemu dengannya, apalagi Steve,” Tidak lama kemudian, Bibi Margareth kembali datang dan langsung masuk karena kebetulan pintu tidak di kunci. Kini dengan membawa nampan di tangannya berisikan dua lembar roti tawar dengan selain coklat, tidak lupa satu gelas s**u putih, mirip seperti sarapan waktu masih anak-anak dulu. Simpel dan mengenyangkan. “Nona, ini saya bawakan roti dengan selain coklat. Bibi bawakan sarapan yang mudah karena mengingat Nona pasti sedang buru-buru untuk ke kantor,” ucapnya pada Gladys sembari menaruh makanan itu di meja. Gladys pun membalikkan badan, ia melangkah ke arah meja dengan tatapan menyendu dan bibir tipisnya bergerak membentuk senyuman tipis. “Wah … makasih Bi, sudah membawakan breakfast buatku.” Tidak banyak bicara, Gladys langsung menyantap makanannya. Dengan senang hati ia menghabiskan dua lembar roti tawar dan segelas s**u hingga tidak tersisa sedikitpun. Melihat betapa lahapnya Gladys saat memakannya, hati Bibi Margareth dipenuhi perasaan lega. Setidaknya itu menandakan bahwa Gladys dalam keadaan baik-baik saja. 5 menit berlalu. Semua sudah dimakan, Gladys pun keluar dari kamar ditemani Bibi Margareth. Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Namun, seburu-buru apapun dirinya untuk pergi ke kantor, saat iris matanya tak sengaja menangkap sosok Raziel sudah berdiri di ruang tamu menunggunya menuruni tangga, langkahnya secara refleks melambat. Kedua iris matanya bertemu dengan manik hitam pria di depannya. Langkahnya jadi terasa lambat dengan perasaan campur aduk yang menyelimutinya, ‘Apakah dia sedang menungguku?’ Saat kaki menjejakkan di anak tangga terakhir, Raziel mendekat tepat beberapa jengkal darinya dan secara kebetulan Gladys tiba-tiba saja kehilangan keseimbangan. Kakinya terpeleset membuatnya jatuh ke depan. "Augh…" Tangan Gladys refleks memegang tumpuan tangga. Namun itu saja tidak cukup, tubuhnya secara ringan hampir jatuh mencium lantai, namun Raziel dengan sigap menangkapnya. "Hati-hati! Kamu ceroboh sekali. Jalan saja bisa jatuh!" Raziel berujar dengan kening berkerut. Beruntung dia sendiri langsung menangkap tubuh Gladys dengan kedua tangannya dan berakhir jatuh dalam pelukannya. 'Ini benar-benar konyol. Bagaimana bisa aku jatuh dalam pelukannya?!' batinnya frustasi. Gladys malu setengah mati jika begini keadaannya. Ia bahkan tidak berani mengangkat wajahnya yang sudah terlanjur menyelinap di balik pelukan memabukkan itu. Jantungnya berdegup kencang, Gladys semakin mengeratkan kedua tangannya yang menggenggam jas hitam yang tengah dipakai Raziel. Meski malu sekalipun, tapi ia tidak tahu bagaimana menghentikan kondisi awkward ini. ‘Jika memang Tuhan itu ada, setidaknya bantulah aku untuk keluar dari kondisi canggung ini…’ Beberapa saat dilewati dalam diam. Gladys tidak bergerak seincipun dari posisinya hingga ia mendengar suara dengusan yang teramat jelas. “Hnng … apa begitu nyaman bersandar di d**a seorang pria hingga kamu bahkan tidak ingin aku melepasnya barang sedetikpun?” Raziel menurunkan pandangannya dengan mata menyipit tajam pada Gladys yang bahkan dengan sengaja menyembunyikan wajahnya. Bagi Gladys, di tanya seperti itu jelas sebuah sindiran! Detik berikutnya Gladys langsung melepaskan diri dari Raziel dengan memundurkan tubuhnya selangkah dan mendorong tubuh di depannya. Namun bukannya terjatuh, tubuh Raziel masih kokoh berdiri, justru dirinya sendiri yang terhempas ke belakang. Gubrak! “Augh …” Gladys merintih dengan menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit. ‘Oh Lord! Mengapa aku hari ini sial sekali. Apa ini hukuman karena mempertanyakan keberadaan-Mu?’ keluhnya.  Pantatnya membentur anak tangga paling bawah dan sialnya itu sangat sakit. Gladys sedikit mendongakkan kepalanya. Iris matanya menatap tajam pria yang hanya berdiri diam melihatnya seperti orang t***l tanpa membantu kedua kali. “Berhenti melihatku dengan tatapan menghinamu itu! Kalau ingin tertawa, lakukan saja sampai kamu puas! Aku tidak keberatan! Ck!” Gladys semakin mendelikkan matanya tanpa peduli Raziel yang sudah membalikkan badan meninggalkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD