18. Pagi dengan perasaan berkecamuk

1003 Words
Kedua manik matanya membelalak saat menangkap sederet pakaian lengkap dengan dalamannya. “In—ini beneran, pakaian wanita sebanyak ini? Pria sejenis Pak Direktur, untuk apa mengoleksi pakaian wanita di lemari nya?” Langkah sepatu pantofel terdengar sampai ketelinga Gladys. Ia tadinya sempat melamun akhirnya tersadar dan membalikkan badan sebelum mengambil handuk yang disampirkan di lemari. Tubuhnya seketika menegang, Raziel kini sedang berdiri tepat di depannya. ‘Mengapa dia tiba-tiba ada disini? Apakah tidak tahu kalau wanita pagi-pagi itu dalam keadaan berantakan? Buat malu saja,’ “An–anu…” terciduk tengah membuka lemari yang berisi banyak pakaian wanita membuat Gladys salah tingkah, keadaanya yang sedang berantakan karena baru bangun tidur semakin membuatnya gelagapan. Ia takut dengan tatapan dingin yang Raziel perlihatkan, padahal ia tidak bermaksud untuk mengutak atik isi rumah ini. Kepalanya refleks tertunduk, tidak ingin lama-lama memandang sorot mata dingin di depannya. Kedua tangannya saling terkait dan meremas layaknya seorang yang sedang di sidang dalam persidangan. Mati gaya! “Jangan hanya berdiri disana, pakai saja. Aku yang meminta Bibi Margareth untuk mengisi lemari itu dengan pakaian sesuai dengan ukuranmu. Jika ada yang kamu butuhkan lagi, katakan saja pada Bibi Margareth, dia akan menyiapkannya untukmu.” Gladys mengangkat wajahnya dengan senyuman canggung, “Ba–baik, terima kasih atas—,” ucapannya tergantung di awan. Belum selesai bicara, pria songong itu sudah berbalik arah dan pergi. ‘Huh… dia tidak sedang mengabaikan ku, kan? Songong sekali, orang sedang bicara malah ditinggal pergi. Dasar berhati batu!’ hati mengumpat dan hanya bisa mendengus kesal. Dengan perasaan yang masih dongkol, Gladys meneruskan ritual paginya yaitu untuk mandi dan bersiap-siap ke kantor. Ia tidak ingin terlambat kerja hanya karena kelakuan konyol di pagi hari, dan menyebabkan gagal gajian. Itu adalah hal yang paling mengerikan dalam hidupnya. Tidak ada uang sama dengan selesai. Motto hidup yang sinkron dengan kenyataan kehidupan pahitnya, kan? 07.25, waktu yang bisa dibilang tidak pagi lagi. Sudah cukup siang untuk seorang pegawai atau staf suatu perusahaan untuk masuk ke kantor. Apalagi di jam segitu Gladys hanya baru selesai mandi dan memakai baju yang dipilihnya dari salah satu serangkaian pakaian di lemari tersebut. Waktu yang tidak sedikit untuk bersiap-siap berangkat ke kantor. Saat ini Gladys tengah berdiri di depan cermin, menatap dirinya sendiri yang sudah memakai kemeja putih dengan setelan jas hitam. Rambutnya yang panjang sengaja di ikat agar lebih fresh mengingat beberapa hari yang lalu sempat drop dan nampak pucat. Tangannya kini memegang lipstik pink untuk bibirnya yang masih sedikit pucat. Ia mengaplikasikannya pelan-pelan dan tidak terlalu tebal, cukup untuk membuatnya tampak berwarna. “Sepertinya ini sudah cukup,” Ia melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, “Sudah pukul 07.34. Kayaknya aku memang tidak tidak bisa sarapan lagi hari ini,” Gladys meletakkan lipstiknya kembali ke tempatnya, ia mengambil tas kulit berwarna hitam dari rentetan tas yang ada. Jika dilihat dari bahannya saja mungkin bisa dibilang mahal atau malah masuk deretan barang Unlimited. Sebenarnya Gladys tidak ingin memakai semua pemberian Raziel karena ini sangat mencolok di mata orang. Barang branded itu sangat mudah menarik pandangan iri dan dengki, tapi sekali lagi, ia tidak membawa barang-barangnya sama sekali. Saat tengah bercermin untuk melihat kecocokan penampilannya, Bibi Margareth datang menghampirinya yang kebetulan pintunya tidak ditutup untuk memberitahukan bahwa Raziel sedang menunggunya di lantai bawah tepatnya di ruang makan. “Tuan Raziel sudah menunggu Nona di ruang makan, Bibi harap Nona turun dan menemani beliau sarapan,” ucap Bibi Margareth di ujung pintu dengan menundukkan badan. Gladys berbalik arah seraya tersenyum simpul, “Tapi Bi, aku kayaknya sarapan di kantin saja hari ini. Lagi pula ini sudah telat untuk datang ke kantor,” “Oh ya, Bibi lupa bilang kalau Tuan sendiri yang akan mengantar Nona ke kantor. Beliau khawatir dengan kondisi Nona sejak terakhir kali pingsan. Tuan juga—” Tidak ingin mendengar lebih banyak hal tentang Raziel, Gladys pun mengangkat kedua tangannya, “... cukup! Bibi tidak perlu mengatakan apapun tentang Raziel. Sikapnya terakhir kali sudah buat aku kecewa. Kalau dia memang tidak suka dengan keberadaanku, mengapa dia mengurungku disini, Bi? Aku sungguh tidak tahu jalan pikirannya yang aneh itu,” “Tuan melakukan itu mungkin karena tidak membaca chat yang Nona kirimkan, atau mungkin—” “... tidak perlu Bibi berkelit. Dengan menghindar darinya itu adalah yang terbaik untuk saat ini dan masa mendatang. Sikapnya beberapa hari ini sudah cukup membuktikan kalau kita memang hanya sebatas atasan dan bawahan. Tidak lebih!” Bibi Margareth paham dengan perasaan sakit dan kecewa yang dirasakan Gladys, dia pun tidak ingin memaksa lebih jauh, “Baik, Bibi akan menyampaikan pada Tuan kalau Nona akan berangkat sendiri ke kantor. Tapi untuk sarapan, Nona tidak bisa melewatkannya. Bibi akan mengantarkan sarapan kemari dan Nona tidak bisa menolak. Bibi permisi,” Bibi pun pergi meninggalkan kamar tersebut. Rasa sakit dan kecewa itu masih membekas jelas di hati dan pikirannya. Menjadi sosok pengganti, dikecewakan dari sebuah hal bernama kebaikan membuat Gladys berpikir bahwa tidak ada yang cukup baik-baik saja dengannya maupun Raziel. “Bawahan sampai kapanpun tetaplah bawahan. Kamu tidak bisa mengubahnya apalagi melewati batasan itu, Dys,” Kedua tangannya bertumpu di meja dengan wajah tertunduk, “ Jadi, jangan pura-pura baik dengan memasakkan dia makanan padahal dia sudah jelas hanya menganggap kamu pengganti. Pengganti Dys! Dan bodohnya kamu pun masih mengharapkan Steven yang jelas akan menikah dengan wanita lain. Lalu … apa arti 1 tahun hubungan yang sudah dijalani?!” Setres! Gladys tertekan dengan semua kejadian beberapa hari ini yang menimpanya. Tidak ada lagi yang tersisa untuknya selain kata menyedihkan. Gladys pun tidak sanggup menemui Bianca apalagi bertatap muka dengan sahabatnya. Selain kecewa karena semuanya membohongi perasaannya, ia pun tidak yakin bisa mengendalikan emosinya saat melihat adik dari Steven itu ada untuknya seolah tidak terjadi apapun. Dan tepat! Beberapa saat kemudian, ponsel yang masih tergeletak di meja riasnya bergetar. Ada panggilan masuk dari orang yang ingin dihindari setidaknya untuk sementara waktu. Melihat nama Bianca muncul di layar, detik itu juga Gladys mereject-nya. Ia butuh menenangkan diri untuk sementara waktu, baik dari Steven, Bianca atau Raziel sekalipun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD