“Kita akan berangkat ke kantor bersama, dan tidak ada penolakan!” hanya itu dan Raziel benar-benar pergi mengabaikan Gladys.
Dengan tertatih Gladys beranjak dari posisinya menggunakan tangannya sebagai tumpuan. Beberapa kali ia mengibas-ngibaskan rok hitam dan pakaiannya dari debu yang mungkin mengotori pakaiannya.
Perdebatan panjang terjadi hampir sepanjang langkah Gladys dari tangga menuju pintu utama mansion. Raziel sudah memerintahkannya untuk ikut berangkat semobil bersama Raziel. Namun, tentu saja ia langsung menolaknya.
“Tidak! Saya mohon Tuan Raziel yang terhormat, jika saya ikut satu mobil dengan anda, itu sungguh merepotkan kalau orang-orang kantor sampai melihatnya. Sudah cukup saya mendengar cibiran dan gunjingan di belakang saya akhir-akhir ini. Kalau anda benar-benar melakukan itu, mereka sudah pasti akan menyumpahi saya sampai mati. Saya tidak segila itu untuk merasakan mati muda!”
Protes Gladys panjang lebar di depan mobil yang dimana Raziel sudah ada di dalamnya di bagian kemudi. Kaca pintu mobil yang terbuka membuat Raziel mendengar semuanya dan responnya hanya menoleh ke arah Gladys dengan tatapan datar.
“Tidak ada penolakan. Masuk!” perintah tegas itu berbanding terbalik dengan tampang datarnya. Memang pria yang aneh! Itu julukan Gladys untuknya.
“Tidak bisa! Saya lebih baik naik kendaraan umum daripada jadi daging panggang karena terlalu lama ditatap tajam dengan emosi yang memuncak oleh para staf dan karyawan!” tolak lagi untuk yang kesekian kalinya.
“Kamu terlalu banyak berpikir. Jangan salah paham, aku melakukan ini karena akan merepotkan jika orang-orang misterius itu kembali mengincarmu. Dan … jika kamu setakut itu dengan cibiran orang, aku akan menurunkanmu di luar kantor.”
Seketika tubuh Gladys gemetar mengingat bagaimana sopir itu mati mengenaskan di depan matanya. Kedua tangannya saling bersedekap sambil mengusapnya karena tiba-tiba saja udara menjadi dingin.
‘Apa aku lagi-lagi salah menafsirkan sikap dan perkataannya? Argh … aku malu!’ hanya bisa teriak dalam hati, ia malu setengah mati. Tapi tidak bisa menghindar, “ba—baiklah, aku akan masuk daripada kejadian kemarin terulang lagi.” ia hanya bisa mengiyakan dengan menghela napas pasrah.
Terpaksa Gladys ikut satu mobil dengan Raziel. Pria itu memang selalu bisa menyudutkan orang dengan perkataannya, membuat lawan bicaranya mau tak mau mengikuti apa katanya. Ya… itulah Raziel Vincent de Alzhio, King of Regnand Kingdom.
-Kantor Perusahaan General High Corp.
Selama perjalanan dari mansion menuju kantor tidak ada percakapan berarti, keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing tanpa ada yang memulai percakapan. Terlebih Raziel memang orangnya jarang membicarakan hal yang tidak perlu apalagi ngobrol, suasana di dalam mobil jadi tampak horor.
08.35 pagi, mobil telah sampai di sekitar kantor Perusahaan General High Corp. Seperti janjinya, Raziel menghentikan mobilnya di sisi jalan dan menoleh ke arah Gladys, “Turun!”
Urat syaraf di keningnya muncul karena lagi-lagi harus menahan emosi atas perkataan Raziel yang menyebalkan. Gladys hanya bisa menghela napas, ia menoleh pada Raziel balik dengan senyuman tipis dan berujar, “Aku tahu! Terima kasih sudah mengantar saya sampai sini dengan selamat, Pak Direktur. Kalau begitu, saya permisi.”
Tanpa basa-basi Gladys mengambil tasnya dan membuka pintu. Tidak ada kata apapun ia keluar dan menutup pintu dengan sedikit membantingnya. “Dasar berhati batu!” umpatnya lirih, sedangkan pria yang diumpati meliriknya tajam tanpa mengatakan apapun.
Pukul 08.40 waktu setempat, mobil masuk ke kawasan kantor. Khusus mobil yang dikemudikan Raziel langsung dibawa ke pelataran utama tanpa masuk area parkir. Kedatangan mobil yang selalu dikemudikan Raziel selalu menarik perhatian.
Seperti biasa, seluruh staf penting keluar untuk menyambut kedatangan Raziel tidak terkecuali Allard. Begitu mobil berhenti di depan pintu utama kantor, seorang pria berjas hitam yang bertugas menjaga kantor mendekat ke arah mobil dan membukakan pintu samping kemudi dan mempersilahkan Raziel untuk turun. Hal biasa bagi Direktur untuk menyita perhatian semua orang.
“Selamat pagi, Direktur.” sambut para staf seraya menundukkan badan. Mereka selalu menyambut dengan baik meski Raziel tidak pernah menggubrisnya. Mungkin ini sudah jadi tradisi selama berdirinya perusahaan ini.
Allard yang baru keluar dari kantor langsung menghampiri Raziel. Dia juga menyapa dengan menundukkan sedikit badannya, “Selamat pagi, Tuan. Ini adalah jadwal yang sudah saya susun untuk hari ini,” Allard menyerahkan note yang dibawanya pada Raziel.
Raziel menerima note tersebut dan membacanya sekilas sembari melangkah masuk ke dalam kantor. “Atur ulang jadwal pembukaan proyek pembangunan gedung kepresidenan. Panggil Gladys dan tim divisi desain untuk final desainnya. Baru perintahkan divisi proyek untuk merekrut pekerja,” Raziel memberikan note itu kembali pada Allard. “Aku tunggu Gladys di ruanganku,”
“Baik. Sesuai perintah anda, Tuan.” jawab Allard dan menerima note itu. Langkahnya pelan mengikuti Raziel dibelakangnya.
Tidak jauh dari pintu utama kantor, Gladys datang mengendap-endap karena memang pada dasarnya dia telah telat. Jika sampai ketahuan penjaga kantor, sudah dipastikan dia akan di usir dan itu adalah berita buruk!
Karena sudah terlanjur telat, Gladys memilih lewat pintu darurat yang 100 kali lebih ribet daripada pintu utama karena dia harus melewati tangga darurat untuk sampai ke lantai 20, dimana ruang divisi desain berada.
Dan disinilah Gladys berada. Ia sudah berdiri di depan anak tangga pertama untuk sampai di lantai pertama. Hal pertama yang dibayangkannya adalah horor. Ia harus menaiki tangga darurat hingga ke lantai 20. Ini benar-benar gila!
Gladys menunjukkan tampang frustasi dengan tawanya yang terdengar menyedihkan. “Seriusan aku harus naik tangga hingga ke lantai 20? Oh Lord … jika saja aku menerima tawaran si Direktur angkuh itu untuk turun bersama sampai di kantor, pasti telat pun tidak akan masalah. Tapi … hei, aku benci dengan tatapan sinis orang-orang yang seperti akan melahap ku hidup-hidup. Mengapa hidupku miris sekali. Nasib pekerja yang mencari sebongkah berlian gini amat, Lord …”
Mengeluh pun tidak akan menghasilkan apapun. Gladys hanya bisa mengalah dengan kehidupannya dan mulai menaiki anak tangga pertama dengan semangat dan membayangkan gajinya yang tidak jadi terpotong akibat telat.
Krisis yang dihadapinya kali ini adalah karena ia memakai sepatu high heels dengan tinggi 7 cm. 5 menit sudah berlalu dan ia baru sampai di lantai pertama. Di lantai pertama, sudah ramai orang, ia sebenarnya bisa saja menggunakan lift. Tapi … kalau ada orang yang melihatnya telat gimana?!
Napas Gladys mulai ngos-ngosan naik turun. Duh betapa menyusahkannya hari ini. Ia pun berhenti sebentar di area sepi orang untuk sekedar membuang napas, “Huft … huft … jika tahu akan telat ke kantornya, bukankah lebih baik aku memakai sepatu tanpa hak tinggi? Ini benar-benar merepotkan.” Gladys menundukkan tubuh dengan posisi ruku’ untuk meregangkan tubuhnya.
Saat stamina Gladys mulai terkumpul kembali, ia kembali berdiri tegak dan mendongakkan kepala. Namun tanpa di duga, sosok pria yang ingin dihindarinya tiba-tiba saja sudah ada di depannya. Kedua bola matanya pun membelalak, “Hehehe … pagi, Pak Allard,” sapa Gladys dengan cengirannya sembari melambaikan tangan.
Dalam hati Gladys merutuki kesia!annya, sepagi ini sudah kepergok atasan sendiri sedang mengendap-endap karena datang terlambat.