15. Ego yang mengalahkan segalanya

1110 Words
“Gladys menunggu untuk makan malam bersama di mansion?” Raziel kaget mendengar bahwa Gladys masih menunggunya di mansion untuk makan malam bersama. ‘Ini sudah sangat terlambat untuk jam makan malam. Apa gadis itu sudah memakan makan malamnya? Bagaimana kalau dia masih menungguku. Bukankah kondisinya belum stabil?’ “Benar Yang Mulia, Nona Gladys bahkan sudah mengirim pesan singkat pada anda untuk segera kembali. Apa anda tidak mengetahuinya?”  “Ponselku sengaja aku letakkan di ruang kerja,” Raziel pun melihat ke pergelangan tangan kirinya dan waktu sudah menunjukkan pukul 10.25 malam.  Tanpa mengatakan apapun lagi, dia bergegas meninggalkan tempatnya menggunakan kekuatannya untuk mengambil ponsel di ruang kerjanya yang ada di istana, lantas menggunakan teleportasi untuk segera sampai di mansion. Dalam hitungan detik, Raziel telah sampai di kamar pribadinya di mansion. Dia lekas melepas jubah hitamnya dan mengganti pakaiannya dengan jas hitam yang biasa digunakan untuk datang ke kantor. Tidak ingin membuat Gladys menunggu lama, Raziel keluar dari kamar untuk menuruni tangga dan berjalan menuju ruang makan yang ada di lantai bawah samping ruang utama. Di ujung pintu ruang makan, langkah Raziel terhenti melihat ruang makan hening tanpa ada seorangpun disana. Namun manik matanya menangkap banyak hidangan yang masih tersaji di meja makan lengkap dengan dessert dan minumannya.  ‘Sepertinya aku benar-benar terlambat. Yah wajar saja, ini sudah jam setengah sebelas malam. Manusia mana yang mau menunggu selama itu hanya untuk makan malam bersama. Pasti gadis itu sudah makan malam duluan, kan? s**t! Betapa bodohnya aku dengan tergesa-gesa datang kemari hanya untuk menyenangkan hati gadis si4lan itu!’  Merasa seperti orang b0doh karena melakukan hal konyol demi seorang gadis yang nantinya ditumbalkan, Raziel  pun berbalik arah hendak kembali ke kamarnya. Baru beberapa langkah kakinya berpijak dari depan ruang makan, Bibi margareth datang menghampiri dari lorong yang terhubung dengan kamar pribadi pelayan.  “Selamat malam Tuan. Anda baru kembali dari kantor?” Tanya Bibi Margareth. Pandangannya tertuju pada jas hitam yang selalu Raziel gunakan untuk datang ke kantor. Samar-samar Bibi Margareth menunjukkan raut wajah sedih, entah apa yang dipikirkannya. Sempat bingung dengan pertanyaan Bibi Margareth, namun Raziel mengikuti arah pandang Bibi Margareth yang tertuju pada jas yang tengah dipakainya. Dia pun baru menyadari bahwa, ‘memang tadinya aku ingin beralasan baru kembali dari kantor, kan? Kacau!’  Beberapa detik kemudian ia tersadar. “Hm, aku baru kembali dari kantor. Aku akan ke lantai atas dulu. Jangan lupa bereskan makanan yang ada di meja. Aku tidak suka jika ruang makan berantakan dengan makanan sisa!” perintahnya. Raziel lantas melanjutkan langkahnya menuju ke arah tangga. “Tapi Tuan, Nona Gladys—” ucapan Bibi Margareth penuh harap terpotong.  “...tidak ada tapi-tapian. Nafsu makan ku sudah hilang. Buang saja makanannya atau berikan pada anjing penjaga.” Raziel berlalu dari hadapan Bibi Margareth tanpa mau mendengar alasannya. Kedua telapak tangannya mengepal erat untuk menyembunyikan perasaannya. ‘Aku tidak peduli. Bukankah begitu?!’ batinnya.  Di saat kakinya melangkah pergi, instingnya merasakan keberadaan jiwa Roshalia. Ekor matanya refleks melihat ke arah ujung pintu ruang utama, tapi saat dilihat tidak ada siapapun disana. ‘Apa hanya perasaanku saja?’ ia pun mencoba  mengabaikannya begitu saja.  Padahal Raziel tahu bahwa jelas-jelas makanan di meja masih utuh, belum tersentuh sedikitpun yang berarti Gladys tentu belum memakannya. Hanya saja melihat betapa berharapnya Bibi Margareth pada sikapnya yang berubah melunak pada Gladys membuatnya egois. Alih-alih terlihat tidak peduli dengan apapun yang Gladys lakukan, sebenarnya Raziel hanya lari dari kenyataan bahwa dia mulai menunjukkan perasaan peduli. Hal itu sungguh melukai harga dirinya yang menjunjung tinggi cintanya pada Roshalia. Selepas kepergian Raziel dari depan ruang makan, sosok wanita yang tadi dibicarakannya keluar  dari persembunyiannya yang ada di sudut pintu ruang utama. Dengan jelas wanita itu mendengar semua yang Raziel katakan. Hatinya berdenyut mendengar kalimat yang menyakitkan hatinya. Tidak kuasa menahan rasa sakit yang menghujam perasaannya, tanpa sadar kedua sudut matanya basah. “Aku tahu kamu tidak menyukaiku. Tapi apa harus mengatakan hal semenyakitkan itu?! Kalau memang tidak menyukai makanan buatanku, setidaknya diam dan pura-pura saja tidak tahu tanpa harus menghinanya. Percuma saja aku mencoba berbuat baik. Pada akhirnya kamu tetap saja tidak menghargainya.”  ‘Pada akhirnya aku yang terluka. Apakah semua pria memang tidak ada yang bisa dipercaya?’ Gladys menggenggam tangannya kuat kuat di depan dadanya. Tangan kirinya digunakan untuk mengusap kedua sudut matanya yang basah. Nasi sudah jadi bubur. Ia tidak mungkin menyesali apapun yang sudah terjadi. Yang perlu dilakukan kedepannya adalah ‘Jangan menaruh harapan apapun pada orang lain meski dia baik padamu sekalipun. Karena semua hanya topeng, semua palsu dan ada niat tersembunyi.’ Tidak ingin berlama-lama di pojokan seperti orang bod0h, Gladys pergi dari tempatnya dan memilih kembali ke kamar. Dan dari sinilah Bibi Margareth baru menyadari bahwa sejak tadi Gladys mendengar semua pembicaraannya dengan Tuan Raziel. Kecemasan dan khawatir pun menyapa perasaannya. “Semoga Nona Gladys baik-baik saja. Dia bahkan belum makan malam demi menunggu Tuan pulang, tapi kata-kata yang Tuan ucapkan tadi justru menyakitinya. Lebih baik aku antar saja makanan itu ke kamarnya.” Bibi Margareth pun ikut pergi dari sana menyisakan meja makan yang masih penuh hidangan tanpa ada yang menyentuhnya. Setengah jam kemudian di kamar pribadi yang ditempati Gladys, Bibi datang membawa nampan berisi makanan yang tadi dimasak bersama dan belum sempat dimakan. Di depan pintu yang ditutup rapat, Bibi Margareth mengetuk pintu pelan. Tok … tok … tok … “Permisi Nona Gladys, apa Bibi boleh masuk? Bibi bawa makanan untuk makan malam. Non Gladys harus ingat, tidak boleh telat makan. Kondisi Nona kan belum sembuh benar,” Di luar pintu Bibi Margareth menunggu dengan sabar. Semenit dua menit, tidak ada sahutan sama sekali. Bibi Margareth tentu jadi khawatir. Dia mengetuk pintu lagi karena siapa tahu Gladys sudah tidur atau sedang ada di kamar mandi, tapi lagi-lagi tidak ada sahutan. “Jangan-jangan Non Gladys pingsan lagi? Apa aku minta seseorang mendobrak pintunya, ya?” pikirnya. Tapi Bibi Margareth ingat, masih ada kunci cadangan yang sengaja di simpan di dalam laci di lantai bawah.  Bibi Margareth hendak meninggalkan depan pintu kamar pribadi Gladys untuk mengambil kunci cadangan. Namun baru saja Bibi Margareth membalikkan badan, terdengar suara pintu terbuka dan Gladys keluar dengan mata sembab. “Bibi… ada apa Bibi Margareth mencariku?” tanya Gladys dengan senyum tipis yang sedikit dipaksakan demi menutupi perasaan sedihnya, dia pun mengusap kedua sudut matanya takut jika masih ada jejak kesedihan disana. Senyum Bibi Margareth seketika mengembang mendengar panggilan Gladys. Dia pun membalikkan badan kembali, “Ya ampun, Non. Bibi kira Nona pingsan karena Bibi panggil berkali-kali tidak dijawab.” “Aku baik-baik saja Bi. Tadi aku sedang berada di kamar mandi, hendak tidur. Kan udah malam,” ujar Gladys beralasan yang sepenuhnya bukan kebohongan. Namun dari 100% kebenaran, ada 60% kebohongan dalam perkataannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD