Pukul 10.55 pagi, Ruang Direktur Utama Raziel Vincent de Alzhio.
Setelah melakukan meeting selama kurang lebih 1 jam lamanya, Gladys langsung diminta untuk ke ruang Direktur Utama yang berada di lantai 50. Tepat di depan pintu yang tertutup, Gladys menghentikan langkahnya. Saat ingin mengetuk pintu, ia dikagetkan dengan seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang.
Refleks Gladys membalikkan badan, jantungnya berdebar dan seakan hampir copot dari tempatnya. Begitu melihat wanita asing di depannya, Ia mengernyitkan kening sambil mengingat-ingat, apakah sebelumnya pernah bertemu wanita di depannya hingga wanita itu seenaknya saja mengagetkannya. Aneh bukan, jika tidak kenal asal menyapa dengan seekstrim itu?
“Anda—” tunjuk Gladys dengan perkataan menggantung.
Wanita itu pun tersenyum menanggapi kebingungan Gladys. Dengan ramah dia mengulurkan tangannya, “Perkenalkan, saya Letta, Alettha Letichia Carenza, teman dari Raziel,”
‘Aletha, cantik. Apakah dia kekasihnya?’ batin Gladys.
Dengan pikiran ling -lung melihat wanita cantik di depannya, Gladys menerima uluran tangan Aletha dan keduanya saling menjabat tangan, “Uhm … Gladys, Gladys Arshelia Fiorenz, saya karyawan Divisi Desain. Salam kenal juga, Nona Letta.”
Keduanya saling melepas jabatan tangan. Melihat ada wanita cantik yang ingin menemui Raziel, sudut hatinya merasakan ketidaknyamanan tanpa sebab. Apalagi rasa canggung yang dirasakan, membuat Gladys semakin di rundung pilu,
Gladys merasakan gelisah dan cemas, pikirannya sudah membayangkan hal yang berlebihan. Jika benar wanita itu adalah kekasihnya Raziel, bukankah menghindar untuk saat ini adalah yang terbaik?!
Dengan ragu-ragu, Gladys bertanya, “Apakah anda ingin menemui Pak Direktur? Jika iya, bisakah saya menitipkan file ini padamu untuk diberikan pada beliau?”
“Mengapa tidak kamu serahkan sendiri saja? Ziel pasti sedang menunggu mu saat ini. Kamu pastinya juga tahu, dia orang yang tidak suka membuang-buang waktu, apalagi hanya untuk menunggu dokumen. Lagi pula aku hanya ingin bertemu dengannya, aku jamin tidak akan mengganggu. Jadi, lebih baik kita masuk bersama, tidak apa kan?”
“Oh … kalau itu tidak masalah, anda adalah teman Pak Direktur. Beliau pasti senang kedatangan tamu penting seperti anda,”
Gladys berbalik arah. Ia mengetuk pintu dan berucap, “Permisi, Pak. Bisakah saya masuk?”
Tidak lama kemudian, dari dalam terdengar sahutan, “Masuklah!”
Setelah memutar gagang dan pintu terbuka setengahnya, Gladys menoleh sekilas kebelakang, “Silahkan masuk, Nona Alettha.”
“Hm, terima kasih. Kamu juga masuklah.”
Aletta melangkah masuk lebih dulu di susul Gladys. Begitu memasuki ruangan itu, Alettha tidak henti-hentinya memandang ke arah sekitar. Ini adalah kali pertamanya Aletta masuk ke ruang pribadi Raziel yang ada di kantornya. Dilihat saja dari warna cat dan dekorasi yang minimalis dan serba gelap, sangat sesuai dengan perangaian Raziel, Aletta pun tersenyum simpul. “Kamu sama sekali tidak berubah, Ziel. Dari dulu kamu paling bodoh dalam memilih warna dan dekorasi. Semua serba gelap, apakah ini untuk menunjukkan betapa redupnya perasaanmu yang seakan mati?” gumamnya.
Dibelakangnya, Gladys mencuri dengar apa yang digumamkan Aletta. Ia jadi teringat akan suatu hal begitu mendengar kata-katanya, ‘Apakah yang dimaksud Aletta adalah ‘wanita itu’ pemilik dari dress merah maroon yang sempat kugunakan? Siapa sebenarnya wanita itu hingga Raziel begitu putus asa akan dirinya? Lalu Aletta … memikirkannya, mengapa perasaanku menjadi resah. Hatiku merasakan sakit. Ada apa ini?’ Gladys meletakkan tangannya di d**a yang berdenyut.
Aletta terus berjalan menyusuri ruangan khusu itu dan sampai dimana Raziel berada. Kini dia tengah berdiri tepat di depan orangnya. Saat itu Raziel tengah fokus dengan dokumen di tangannya bahkan tidak memperhatikan siapa yang datang.
Karena merasa diabaikan, Aletta mengetuk-ngetuk meja hingga mengambil atensi Raziel. “Dys, apakah Divisimu sudah selesai merevisi desain gedungnya?” tanya Raziel tanpa melihat ke arah lawan bicaranya, karena setahunya, tadi yang mengetuk pintu pastilah Gladys.
Canggung karena di panggil Raziel, padahal yang ada di depannya adalah Aletta, Gladys pun menyahut, “Maaf Pak Direktur, wanita yang ada di depan anda—”
“Hei Ziel, apa seperti ini caramu saat menyambut kedatangan seorang wanita cantik?” Aletta merendahkan posisi tubuhnya dan mendekatkan wajahnya pada Raziel seraya berbisik, “Jahat sekali, mengabaikan ku semudah itu, padahal aku datang jauh-jauh kemari khusus untukmu, loh.”
Kenal dengan suara wanita di depannya, Raziel pun mendongakkan kepala dengan sorot mata tajam, “Ada urusan apa kamu kemari. Apakah kau tidak bisa melihat kalau aku sedang sibuk!”
Aletta mengangkat tangan kanannya dan meletakkan jarinya di dagu Raziel agar lebih mudah melihat wajahnya tanpa rasa takut sedikitpun. Dia bahkan tanpa ragu memperlihatkan tatapan menggodanya seolah mengabaikan Gladys yang masih ada disana, “Dingin sekali jawabanmu, Ziel. Padahal baru semalam kita bertemu dan menghabiskan malam bersama. Tapi lihatlah, hari ini kamu bahkan mengabaikan ku seolah tidak pernah ada yang terjadi diantara kita. Aku sungguh sedih mendengarnya,” ucapan panjang lebar itu disertai seringai tipis.
Merasa dipermainkan, Raziel menepis tangan Aletta dan mendorongnya dengan kasar, “Kurang ajar, berhenti main-main denganku! Apa kau sengaja ingin membuat orang salah paham!” Raziel tidak segan-segan menegur tegas perbuatan lancang Aletta meski dengan suara rendah.
Layaknya tukang drama, Aletta pun bereaksi dengan sikap Raziel, “Ziel! Apa seperti ini caramu memperlakukan wanita yang selama ini selalu ada disisimu? Kamu kejam sekali! Jika aku tahu kamu akan mengabaikan ku, bukankah lebih baik aku tidak menemuimu?” ucapnya dramatis seraya membuang muka sedih.
Gladys yang tidak tahu apapun, sejak tadi bertahan dan memperhatikan dari jauh merasakan hatinya berdenyut. ‘Apakah mereka tidak menganggapku ada? Betapa menyakitkannya melihat kemesraan mereka. Apakah ini bentuk keirian karena aku baru saja di campakkan oleh Steven? Gladys … mengapa kamu bisa sebodoh ini dengan sempat tersentuh akan sikap Direktur tempatmu bekerja?’
Ia disana berdiri bagai orang bodoh yang tengah memperhatikan sepasang pasangan sedang bertengkar pun memilih mundur. Hati dan perasaannya tidak kuat melihat drama yang mencubit perasaannya. Akal sehatnya memerintahkannya untuk pergi.
Sebelum itu, Gladys dengan menahan perasaannya berjalan dengan langkah cepat ke meja Raziel, “Permisi menyela Pak Direktur. Saya ingin mengantarkan file yang anda minta,” Gladys meletakkan file tersebut di meja. Ia tersenyum kecut seraya berkata, “Saya tidak akan mengganggu waktu anda. Kalau begitu, permisi!” Gladys membalikkan badan dan mempercepat langkahnya meninggalkan ruangan tersebut.
Menyadari bahwa Gladys disana sejak tadi, Raziel refleks berdiri dengan panik. “Tidak! Tunggu, Dys!”