22. Hasil Akhir Tim Desain

1017 Words
Kekecewaan yang dirasakan Gladys cukup besar. Ia merasa dibohongi oleh kakak dan adik yang sudah dianggapnya lebih dari sekedar keluarga. Meski begitu, dari awal ia sadar diri bahwa status mereka sangatlah jauh berbeda. Steven dari keluarga konglomerat Morgwen dengan title sebagai perwira angkatan darat. Sedangkan dirinya hanya wanita tanpa orang tua yang menggantungkan hidup sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Mau dipikirkan bagaimanapun memang tidak cocok.  Dalam hati, Gladys hanya bisa menanamkan kepercayaan bahwa mereka memang tidak berjodoh, ini lebih baik dari pada terus menerus merasakan patah hati dan pada akhirnya hanya dirinya saja yang merasakan terluka. Seorang Gladys dengan pria seperti Steven, bukankah seperti pungguk merindukan bulan? Terlalu mustahil untuk sebuah hubungan, bahkan dalam mimpi sekalipun. Wajah Bianca terlihat khawatir dan sedih secara bersamaan. Dia berdiri melihat ke arah Gladys yang acuh tak acuh seolah sedang menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di depannya. Bahkan menoleh balik ke arah Bianca pun tidak. Bianca jadi semakin yakin kalau ada yang Gladys sembunyikan darinya, karena sesibuk apapun Gladys, dia tidak akan pernah mengabaikan sahabatnya.  “Kamu tidak sedang mengacuhkan sahabatmu ini kan, Dys? Aku benar-benar tidak tahu apa yang salah denganku sampai kamu bersikap dingin hari ini. Tapi aku mohon, setidaknya kamu kasih tahu aku, salahku dimana,” Bianca berbicara dengan lirih, dia tidak ingin mengganggu karyawan yang lain. Tetap saja Gladys tak menoleh ke arah Bianca. Pandangannya masih berfokus pada layar PC di depannya, namun pendengarannya tidak sedetikpun lepas dari apapun yang Bianca katakan. Mendengar Bianca mulai memahami arah pembicaraan mereka, Gladys pun menghela napas. Ia menghentikan aktivitas mengetiknya dan menoleh dengan senyum simpul yang dipaksakan lantas berujar,  “Aku tak sedang mengacuhkan mu, Bie. Kita memang ada banyak tugas yang diberikan atasan hari ini. Kamu harus tahu, kamu tidak salah apapun kok, karena kenyataannya aku memang tidak sebanding dengan kalian. Ya … aku hanya seorang wanita tanpa orang tua yang kebetulan bisa bekerja sebagai karyawan, sedangkan Steven dan kamu dari keluarga konglomerat Morgwen. Jadi … untuk hari ini, aku mohon, biarkan aku menenangkan diri. Aku belum siap Bie, aku tak sekuat itu…” Gladys menggelengkan kepala dan kembali fokus pada PC di depannya. Ia dengan perasaan yang berkecamuk mengubah mimik wajahnya menjadi datar kembali seolah tidak pernah ada pembicaraan apapun. Bianca menjadi semakin gelisah mendengar perkataan Gladys barusan. Apa yang tengah dikhawatirkannya terjadi sebelum bisa Bianca sampaikan secara langsung. Tangan kanan Bianca mengepal erat dan menaruhnya di dad4. Dia merasa bersalah, tapi tidak tahu bagaimana harus berbuat. ‘Dys, apakah kamu sudah mengetahui tentang pernikahan Kak Steven dengan Evelyn? Kamu pasti merasa terkhianati. Aku tahu ini tidak akan berakhir begitu saja, karena kamulah disini yang paling tersakiti. Tapi, andai kamu tahu, aku juga syok Dys. Aku tak tahu apa yang tengah dipikirkan Kak Steven, aku juga tidak menyangka Kak Steven mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan perasaanmu. Dys … maafkan aku,’ semua itu Bianca pendam dalam hati. Bibirnya kelu untuk mengutarakan semua yang ada di benaknya. Dia tidak sampai hati menanyakan pertanyaan menyakitkan itu pada sahabatnya. Akhirnya Bianca memilih bungkam dan menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskannya. “Maafkan aku, Dys. Luka yang kami torehkan, aku akan berusaha untuk membayarnya,” Bianca berbicara lirih. Untuk sementara Bianca akan diam setidaknya sampai perasaan Gladys membaik. Dia lantas pergi dari tempatnya untuk menemui Tommy Jorsh selaku manajer divisi desain untuk memimpin meeting kali ini agar selesai dan proyek segera dilaksanakan. Beberapa waktu berlalu Gladys habiskan berkutat dengan tablet dan pen stand display untuk menyelesaikan desain gedung yang sudah mendekati deadline. Dia tidak ada waktu untuk merasakan sakit hati dan memilih memendamnya dalam-dalam. 15 menit kemudian, Tommy Jorsh datang diikuti Bianca. Dia memerintahkan Gladys untuk membawa hasil dari desain bagiannya untuk dibahas bersama dengan desain bagian yang lain sebelum diserahkan kepada Direktur. “Jika sudah selesai, segera datang ke ruang meeting, yang lain sudah datang dan menunggu mu untuk hasil desainnya.” Gladys meletakkan pen dan tabletnya, ia menoleh ke arah Manajer Tommy, “Siap Pak! 5 menit lagi saya akan ke ruang meeting,” “Baguslah! Saya tunggu.” Tommy pun pergi meninggalkan ruang kerja Gladys. “Bikin kaget saja. Tidak tahu kah, aku sedang fokus mengerjakannya! Jika tidak memuaskan, orang pertama yang akan membuatku repot pasti Pak Direktur yang menyebalkan itu!” gerutu Gladys.  Ia dengan segera membereskan pekerjaannya dan menyusul yang lain di ruang meeting. Karena peran divisi desain tidak hanya dilakukan orang satu orang, melainkan satu tim. Tiap orang sudah ada tugasnya masing-masing, dan tugas yang dibebankan ke Gladys adalah bagian desain kerangkanya. Ruang meeting, lantai 26 pukul 09.20. Semua sudah berkumpul untuk membahas hasil akhir dari tim desain sebelum menyerahkannya pada Direktur untuk evaluasi. Gladys sampai di depan pintu dan masuk dengan membawa laptop miliknya. Ia mengetuk pintu yang sudah setengah terbuka. Ia pun masuk dengan menyunggingkan senyum. “Selamat pagi.  Maafkan saya karena membuat kalian menunggu,” Gladys menundukkan setengah badannya. “Masuk dan duduklah! Kita tidak memiliki banyak waktu. Pak Allard sudah mendesak hasilnya 1 jam lagi agar segera diserahkan pada tim proyek!”  “Baik Pak!” Gladys duduk di tempat yang sudah disediakan. Sejak tadi ia terburu-buru, bahkan baru menyadari bahwa Bianca ada di sampingnya saat wanita itu menyapanya. “Dys, kamu sudah menyelesaikan desainnya?” bisik Bianca. Gladys menoleh ke arah sampingnya. Ia kaget dan benar-benar baru menyadari bahwa Bianca lah yang ternyata ada di sampingnya. “Eh, Bie. Aku kira siapa. Maafkan aku, karena dikejar deadline aku sampai tidak memperhatikan sekitarku. Uhm, aku akhirnya selesai merevisinya. Semoga hasilnya kali ini memuaskan dan segera dilimpahkan ke tim proyek,” “Tidak masalah. Aku tahu kamu sudah bekerja keras. Kali ini pasti bisa memuaskan atasan. Karena aku tahu, kamu mampu melakukannya,” Bianca menepuk punggung tangan Gladys. ‘Kita masih jadi sahabat kan, Dys? Apakah tidak ada cara agar kamu memaafkan ku dan kembali menerima persahabatan kita?’ Belum sempat Bianca meraih tangan Gladys, dengan segan dan senyum tipisnya Gladys menarik tangannya dari Bianca. “Terima kasih karena sudah menyemangatiku, Bie. Kita harus menyiapkan bahan meetingnya segera,” tidak ingin terus terlena dengan kebaikan dan masa lalu. Gladys memilih menghindar. ‘Maafkan aku, Bie. Untuk sementara, seperti ini lebih baik untuk kita berdua,’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD