35. Tea Time 2

1018 Words
Aletta melirik ke arah meja dengan bibirnya mencibir tanpa bersuara. “Tumben sekali kamu datang yang dilihat pertama makanannya. Biasanya juga tidak bernafsu melihat makanan. Ada apa gerangan?” Sindiran itu sukses menghentikan tangan Raziel yang hendak mengambil cake yang ada di depannya. “Kau lucu, apa yang salah dengan ingin menikmati desert? Lagi pula, bukannya tadi kamu bilang mengundangku tea time untuk menikmati desert yang disiapkan? Apa aku salah?” jawab Raziel dengan tenang. Ia melanjutkan mengambil cake itu dan menyuapkan ke mulutnya. Tidak ada yang salah dengan perkataan Raziel. Hanya saja, setahu Aletta selama beratus tahun dia dekat dengan Raziel. Selama itu di Kerajaan, pria vampir berdarah murni itu tidak pernah sekalipun menyentuh desert meski sedang di undang tea time sekalipun. Tapi lihat kali ini, apa yang sebenarnya terjadi dengan pria yang sangat menghindari desert itu? “Apa ada alasan khusus kamu membuat pengecualian, sekarang? Jangan membodohi ku Raziel. Aku tahu kamu sejak dulu tidak pernah menyentuh desert selama itu ada di Kerajaan. Sebenarnya kamu sedang lari dari kenyataan atau—” “ … aku tidak lari dari kenyataan. Aku justru hanya ingin berusaha untuk menghadapi kenyataan itu. Semenjak Roshalia tiada, melihat dessert dan suasana Istana akan selalu menyiksa perasaanku. Karena desert adalah satu-satunya makanan favorit Roshalia. Banyak waktu yang dihabiskan saat kami sedang menikmati desert bersama di Istana. Beban rasa bersalah itu pun semakin menumpuk.” jawaban yang diberikan Raziel seolah menggantung di angan. ‘Namun, aku tidak ingin terus menerus terpuruk seperti orang bodoh. Dessertnya tidak salah, yang salah adalah perasaan ku yang terlalu lemah dan menganggap semua ini hanya beban yang akan selalu mengingatkan ku pada Roshalia. Tapi pada kenyataannya aku hanya lari dari kenyataan.’ Kedua mata Raziel menatap ke arah teh yang disuguhkan. Berwarna merah pekat layaknya darah. Ia memandangnya dalam-dalam dengan pikiran yang rumit, namun tetap saja ia menyesapnya dan senyum di bibirnya mengembang. “Tehnya lumayan,” komentarnya. “Hei! Aku mencari teh jenis ini dengan susah payah, tapi kamu dengan seenaknya berkomentar ‘lumayan?!’ yang benar saja!” Aletta memanyunkan bibirnya tidak terima dengan komentar alasa yang diberikan Raziel. “Itu kenyataannya. Warnanya bahkan sepekat darah,” sudut mata Raziel terlihat melirik tajam ke arah Aletta, “kau tidak menambahkan darah di dalamnya, ‘kan?”  Ada penekanan di akhir perkataannya dan Raziel tidak main-main dengan ini. Karena tanpa diketahui orang lain kecuali orang-orang terdekatnya, tidak ada yang tahu bahwa Raziel selama ini tidak mengkonsumsi darah.  Benar. Lagi-lagi sejak kematian Roshalia, dia berubah sampai tahap tidak mengkonsumsi dar4h. Padahal, bagi klan vampir, darah adalah konsumsi utama penunjang kehidupan mereka. Kekuatan, emosi bahkan kontrol hidup, semua bermula dari darah.  Ibarat sebuah tali kekang, darah berperan penting dalam mengontrol semuanya. Sejenis vampir, bisa memiliki kekuatan besar pun tidak lepas dari peran darah di dalamnya. Namun darah juga bisa membuat mereka hilang kendali dan menjadi gila. Ya … tentu saja jika itu adalah vampir darah campuran, dimana di dalamnya masih terdapat persilangan dengan manusia atau werewolf. Tidak berbeda pula dengan vampir darah murni yang tidak mengkonsumsi darah sama sekali. Mereka akan merasakan sakit yang teramat sangat menyiksa seperti tubuhnya di iris-iris dan di koyak sedemikian rupa jika tidak mengkonsumsi darah dalam kurun waktu tertentu. Dan Raziel sudah merasakan penyiksaan itu selama 300 tahun lamanya. Meski demikian, dia bisa menahannya sampai sekarang dan selalu menekankan pada dirinya untuk tidak sekali-kali mencicipi apalagi meminumnya lagi. Bagi Raziel, selama belajar menahan diri dari haus darah, dia bisa menjadi lebih tenang dan tidak ketergantungan seperti layaknya vampir pada umumnya. Mengenai kekuatan, Raziel akui perlahan kekuatannya melemah, tapi bukan berarti sembarangan makhluk bisa menaklukkannya sesuka hati. Pada dasarnya dia tetaplah masih menjadi yang terkuat. Sedikit tentang penjelasan darah, kembali ke topik pembicaraan Raziel dengan Aletta yang sedang menikmati tea time bersama. Mendapat tatapan kecurigaan dari Raziel, Aletta tersinggung dan menatap balik Raziel dengan serius. “Apa kau sedang menuduhku, Ziel? Atau indra penciuman mu tentang darah sudah memudar, sampai-sampai kau tidak bisa membedakan, mana itu teh dan mana itu darah?” ledek Aletta dengan tersenyum puas. Dia mengambil cheesecake dengan tenang dan memakannya.  Jleb sekali di hati. Tapi Raziel mengerti akan hal itu. Wajar jika ada yang marah saat ada yang mencurigai niat baiknya. Raziel pun mengalihkan pandangannya dan kembali mengambil cake untuk dicicipi. “Entahlah. Aku hanya bertanya. Lagi pula kita telah lama tidak bertemu, wajar jika bertanya hal yang mungkin saja kau lupakan, ‘kan?” “Mulutmu selalu saja berbicara dengan sindiran pedas. Kau seorang Raja ‘kan? Tapi mengapa mulutmu lebih menyebalkan dari pada wanita cabe-cabean diluar sana?!” sewot. Itu yang dirasakan Aletta. ‘Santai sekali mulutmu mengatakan hal menyebalkan itu di depanku! Argh… bisa-bisanya aku menyukai pria sepertinya.’ Duh, ini mengingatkan Aletta akan masa lalu. Keduanya bisa bercanda dan mengejek tanpa adanya rasa canggung. Tapi begitu lama tidak bertemu dan Aletta tiba-tiba datang, rasanya seperti orang asing yang bahkan seperti baru mengenal satu sama lain. “Tadi— apa kau bilang? Wanita cabe-cabean?! Apa itu yang kamu pelajari sewaktu di Belanda?” Kedua mata Raziel menyipit. Bibirnya tersenyum mengejek.  “Ah… sebenarnya aku mendengar itu saat datang ke cafe dan tidak sengaja mendengar beberapa wanita asal Indonesia mengatakan bahasa yang menarik. Bagi mereka ungkapan untuk wanita yang hobinya menyindir dan berulah disebut dengan wanita cabe-cabean. Karena unik, aku sampai tidak sadar menggunakan kata itu untuk mengungkapkan kekesalanku padamu. Ya, kamu mirip wanita cabe-cabean. Pffft…” Aletta menutup mulutnya dengan telapak tangannya agar tidak tersedak.  “Terserah! Hidup di Belanda, kau jadi makin aneh.” “Oh… terima kasih atas pujiannya. Mendengar pujian dari pria yang disukai, jujur saja membuat hatiku berbunga-bunga.” “Kau tidak benar-benar mempertahankan perasaanmu untukku, kan? Bukankah aku sudah bilang untuk—” “... berhenti menaruh harap padamu. Ya, aku tahu. Tapi, seperti halnya dirimu yang sulit untuk menghilangkan perasaanmu pada Roshalia, begitu pula denganku yang sulit melupakan perasaanku padamu. Simpel ‘kan?” “Baiklah, anggap saja seperti itu. Tapi Letta, apa kau tidak mencoba untuk menjalani hubungan dengan pria lain dan mencoba menumbuhkan perasaanmu padanya? Aku yakin, pria itu dapat membahagiakanmu dengan segenap cintanya.” “Mudah untuk mengatakan, tapi bagaimana dengan perasaanku?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD