36. Tea Time 3

1013 Words
Benar. Seperti yang Aletta katakan, ‘Mudah untuk mengatakan, tapi bagaimana dengan perasaan yang sudah terlanjur menyimpan satu nama dalam hati selama beratus tahun lamanya?’ Tidak semudah itu untuk mengganti nama itu dengan yang lain. Kolot memang. Jaman sekarang mana ada seseorang yang menaruh hati hanya pada 1 orang selama sisa hidupnya. Tapi tidak dengan makhluk berjenis vampir. Mereka yang memiliki intensitas hidup jauh lebih lama dari makhluk berjenis manusia justru memiliki pemikiran kolot yang tidak bisa mencintai lebih dari 1 nama. Lalu, bagaimana kasusnya jika makhluk yang dicintai mati atau sudah memiliki pasangan?! Mungkin mereka akan memilih sendiri selama sisa hidupnya. Seperti halnya Raziel dan Aletta, tidak mudah bagi mereka untuk mencintai makhluk lain, sebab hati mereka sudah terjebak di 1 nama dan 1 jiwa. Mungkin Raziel bisa menerima Gladys karena masih memiliki 1 jiwa dengan Roshalia, tapi bagaimana dengan Aletta?! Raziel tepat ada di depan matanya, tapi tidak hati, perasaan dan cintanya. Mungkin selamanya Aletta akan sendiri tanpa ada yang menemani kekosongan hatinya, kecuali jika ada pria yang mau menjadi tempat bersandarnya dan sabar untuk meraih hatinya. Saat itu tidak terlambat untuk mengubah perasaan Aletta. “Mungkin benar, pria itu bisa membahagiakan ku. Tapi Ziel, aku tidak sekejam itu untuk membiarkannya membahagiakan ku di atas perasaan yang salah. Bahkan sudah beratus tahun lamanya, tapi hatiku masih berhenti di kamu.” Kata-kata ini terdengar dalam dan menyayat. Aletta melihat sendu ke arah Raziel. “Maka dari itu, aku hanya memintamu melepas perasaanmu, karena itu percuma.” kejam memang, tapi Raziel tidak ingin menyakiti lebih banyak wanita yang sudah dianggap lebih dari orang asing. “Hnng… baiklah, anggap saja seperti itu. Tapi Ziel, mungkin kau juga butuh kaca, kau seperti membicarakan dirimu sendiri. Meski mencintai orang lain pun, itu Gladys. Seorang wanita yang tubuhnya ditempati jiwa Roshalia. Bukankah itu sama saja, tidak bisa mencintai orang lain. Jadi aku mohon, jangan paksa aku untuk menerima pria lain. Biarkan aku sendiri dengan perasaan menyesakkan ini, dan menyimpan perasaanku padamu selamanya.” Ungkapan itu Aletta katakan dengan sungguh-sungguh, namun dia menatap Raziel dengan tatapan yang sulit diartikan. Menyesakkan. Setiap kata yang keluar dari mulut Aletta itu mewakili perasaannya, tapi Raziel juga tak bisa melakukan apapun karena pada kenyataannya dia berada di posisi yang sama. 1 jam lamanya keduanya berbincang ditemani teh dan cake yang manis. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.35. Sudah saatnya bagi Raziel untuk kembali. Dia juga sudah menenangkan pikirannya yang kalut dan berantakan. “Teh dan cakenya enak. Aku menikmati makanan yang kau sediakan. Tapi sudah saatnya aku kembali atau Allard akan mengomel nanti.” Raziel meletakkan cangkir yang telah dihabiskan tehnya. Ia beranjak dari posisi duduknya dan melihat sekilas pada Aletta. “Aku pergi. Untuk kedepannya, aku harap kau tidak datang ke kantorku dan membuat keributan seperti tadi pagi.” “Hm. Tadi pagi aku hanya terbawa emosi sesaat, tidak menyangka Gladys ada disana waktu kau dan aku berdebat. Ada kemungkinan dia mendengar semuanya. Jadi, aku harap kau mau menemui Gladys dan menjelaskan bahwa itu tidak seperti yang dipikirkannya.” Sejenak Raziel ling lung, kaget dengan apa yang Aletta katakan. Tidak heran ia merasakan hawa keberadaan Gladys saat perdebatan mereka. Salah satu tangannya yang disembunyikan mengepal erat, namun dengan segera ia dapat mengendalikan emosinya. “Mengenai Gladys, akan aku pikirkan nanti.” Raziel langsung pergi dari tempat tersebut. Dia tidak ingin mendengar lebih jauh mengenai Gladys dari mulut Aletta yang semakin membuat perasaannya kacau. Kantor Perusahaan General Corp. 16.50 waktu setempat. Sore ini disaat semua karyawan sudah kembali, Gladys baru bisa keluar dari kantor karena saking banyaknya tugas yang menumpuk. Apalagi sepagian ini pikirannya kemana-mana membuat pekerjaannya kacau dan akhirnya harus di revisi ulang. Sesaat setelah Gladys keluar dari gerbang kantor yang menjulang tinggi untuk menunggu angkutan umum, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Padahal tadinya Gladys ingin kembali ke kos-kosannya, tapi melihat mobil berhenti di depannya, ia memiliki firasat tidak baik tentang ini. Seseorang yang ingin dihindarinya untuk sementara waktu tiba-tiba saja muncul di depannya. Steven dengan memakai seragam militernya menghampiri Gladys. Padahal sebelumnya ia sudah mengatakan bahwa mereka ‘putus’. Entah apa yang dipikirkan Steven hingga berani-beraninya muncul dihadapannya. “Dys …” Steven menyapa dengan ramah seolah tidak terjadi apapun sebelumnya. Panggilan itu berhenti ketika Gladys menunjukkan sisi dinginnya. Ia bahkan mengalihkan wajahnya dari Steven dan menganggap pria itu orang asing. Gladys menghela napas lantas melihat Steven sekilas dengan kedua tangannya saling bersedekap, memandangnya remeh. “Ada apa lagi kamu mencariku, Steve. Bukannya aku sudah katakan, kalau kita tidak perlu bertemu lagi?! Ingat, kita sudah putus!” Kedua manik mata Gladys menatap tajam Steven dengan remeh. Semua perasaan yang di pupuk sedemikian rupa seakan melebur tanpa sisa saat dirinya melihat secarik kertas undangan pernikahan. Kini yang tersisa hanyalah perasaan benci, berharap ini adalah terakhir kalinya seorang Gladys bersikap bodoh dengan mengandalkan cinta dan pada akhirnya dikhianati. Meski Gladys memandang remeh sekalipun, Steven tetap bersikap ramah dan menahan semua emosinya bahkan sampai keningnya berkerut demi menarik kembali perasaan Gladys. Dengan mengiba, Steven hendak meraih tangan Gladys, namun langsung ditepis tanpa sedikitpun kesempatan untuk Steven menyentuhnya. "Aku mohon, izinkan aku untuk menjelaskan apa yang terjadi. Ada alasan mengapa aku melakukan itu semua, Dys…" “Alasan apalagi yang ingin kamu katakan Steve! Satu bukti itu sudah mewakili semuanya, tidak perlu kau jelaskan apapun. Lagi pula, 5 hari lagi kau akan menikah. Lebih baik kau urus saja wanita dan pernikahanmu. Biarkan aku hidup dengan tenang tanpa melihat wajahmu yang memuakkan itu lagi. Pergi!” usir Gladys tanpa rasa hormat sedikitpun. Tapi rupanya Steven tidak ingin mengalah dengan mudah, berbeda dengan waktu di kantin kali ini Steven masih berdiri disamping Gladys tanpa meninggalkan sisinya 1 inci pun. Dia dengan segala cara dilakukan agar Gladys mau mendengarkan perkataannya bahkan dengan kekerasan sekalipun. “Dys, kamu yang meminta ini. Maka jangan salahkan aku memaksamu untuk ikut denganku!” Steven kalap, karena terus ditolak dan di usir dari sisi Gladys, dia pun menarik paksa Gladys dari sana untuk ikut dengannya menuju mobil yang terparkir di sisi jalan. “Steven, lepas! Jangan paksa aku untuk menurutimu. Sampai kapanpun aku tidak akan menerima alasan apapun dan kembali padamu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD