“Sebenarnya, apa yang membuatmu bermimpi buruk hingga kedua sudut matamu basah?” gumamnya, dia menundukkan sedikit tubuhnya untuk memangkas jarak diantara mereka. Kedua iris mata hitam legam itu menatap lekat-lekat wajah yang beberapa hari ini dilihatnya. Tangan kanan nya refleks terulur mengusap kedua sudut mata itu secara perlahan. ‘Apakah ini karena sikapku tadi? Ya, manusia biasa sepertimu pasti merasakan sedih jika mendengar perkataan menyakitkan orang yang sudah diberi perhatian lebih.’
Semakin lama memandang wajah teduh Gladys yang tengah tertidur, perasaan hangat perlahan singgah ke hatinya. Sebuah perasaan yang telah 300 tahun lamanya tidak pernah Raziel rasakan lagi. ‘Sebenarnya, ada apa denganku? Perasaan hangat ini seakan menyapaku setelah sekian lama tidak kurasakan. Inikah sambutan darimu, Roshalia?! Apakah kamu menyadari bahwa ini adalah aku, kekasihmu?!’
Rasa rindu tiba-tiba saja kembali menyeruak di dalam hatinya. Kedua iris mata hitam legam itu semakin jeli dan mengabsen satu persatu dari tiap inci bagian wajah Gladys seolah mengingatkannya kembali akan kenangan 300 tahun lalu.
Wajah dan penampilan itu memang seperti duplikat dari Roshalia, hanya saja karakter mereka sangat berkebalikan. Meski Roshalia seorang wanita yang hangat, namun sosoknya adalah penggambaran dari wanita anggun dengan aura kebangsawanan yang tinggi karena setiap tindak tanduknya tertata rapi sesuai dengan adat putri bangsawan, sedangkan Gladys adalah wanita bebas yang ingin melakukan apapun atas kemauannya sendiri tanpa disetir orang lain layaknya burung.
Semakin dilihat, rasa yang tadinya hangat berubah memanas. Hasrat ingin memiliki timbul begitu saja dari dasar hatinya. ‘Kamu benar-benar mirip dengannya. Roshalia, kamu pasti sangat menungguku untuk membangunkan mu dari tidur panjangmu, kan? Apakah kamu nyaman dengan kehidupan barumu?’ batin Raziel. Dia tidak menganggap wanita di depannya Gladys melainkan sosok dari jiwa Roshalia.
Kecupan hangat pun mendarat di kening Gladys setelah wanita itu tenang dari igauan mimpi buruknya, setelahnya tangannya mengusap lembut pipi tirus itu tanpa melepaskan tatapannya. “Wajah ini memanglah Gladys, tapi jiwa di dalamnya tetaplah milik Roshalia. Apakah ini sebabnya aku merasa nyaman di dekatnya?”
Tatapan dengan hasrat itu menyendu. Pikiran Raziel terbang kembali pada sosok pucat yang ada di dalam peti mati. Pikiran dan hatinya seakan di campur aduk dan dipermainkan oleh wanita yang sedang tidur di depannya.
Ada rasa desiran dengan hasrat yang membuncah dihatinya. Namun saat melihat bahwa wanita di depannya adalah Gladys, setengah mati Raziel beranggapan bahwa itu hanya perasaan yang tumbuh karena wanita di depannya terdapat jiwa Roshalia.
Tapi benarkah hanya sebatas itu?
Beberapa waktu Raziel habiskan dengan memandang wajah tenang Gladys dengan pikiran yang berkecamuk. Raziel beranjak dari posisinya, dia membalikkan badan hendak pergi, namun lagi-lagi terhenti saat pendengarannya menangkap suara igauan yang menyayat hati.
“Jangan pergi, jangan tinggalkan Gladys. Ayah … Ibu … Gladys takut …” suaranya terdengar serak dan lirik, wajahnya terlihat gelisah meski kedua matanya tertutup. Keringat dingin mengucur deras dari balik tubuh hingga wajahnya. Tangannya terangkat seolah hendak meraih sesuatu, namun tidak ada yang dapat ditangkap.
Refleks Raziel membalikkan badan kembali dan mendekatkan dirinya pada tubuh Gladys yang masih tertidur dengan keadaan gelisah. Dia pun meraih tangan Gladys dan menggenggamnya lantas menaruhnya di dadanya. Raziel mendekatkan wajahnya hingga tidak ada jarak antara dirinya dengan Gladys, lantas berbisik,
“Tidurlah dengan tenang, relakan Ayah dan Ibumu agar tenang di alam sana. Jangan takut, bukankah ada aku disini yang akan selalu menemanimu. Kamu kuat, kamu pasti bisa bangkit seperti halnya Gladys yang selalu terlihat ceria dan berbuat onar,” bisikan-bisikan menenangkan itu Raziel ucapkan hingga Gladys kembali tenang dalam tidurnya. Dia pun melepas genggamannya dan memberi sedikit jarak.
‘Sebenarnya apa yang sudah gadis ini lewati hingga berulang kali mengalami mimpi buruk? Sepertinya aku harus menyelidiki kembali tentang kedua orang tuanya dan alasan dia bisa hidup seperti sekarang,’
Raziel berpikir keras mengapa wanita di depannya bisa mengalami hal seperti ini. Ingin rasanya untuk mengabaikan kondisi Gladys. Akal sehatnya selalu mengatakan bahwa harus mengabaikannya, tapi perasaannya terus saja mendorongnya untuk lebih mengetahui tentang wanita di depannya.
Sudah waktunya untuk Raziel kembali ke Kerajaan karena Gladys juga sudah kembali tenang dalam tidurnya. Dia tidak ingin membuang waktu lebih lama untuk berada di sisi Gladys. Dia masih menggunakan akal sehatnya untuk menjaga jarak sebelum hatinya goyah dan tidak bisa membedakan perasaannya ada untuk Gladys atau memang benar-benar demi jiwa Roshalia.
Beranjak dari posisinya, sejenak Raziel memandang wajah tenang Gladys sebelum memutuskan pergi. Tanpa sepatah kata Raziel merapalkan mantra dan menghilang dalam hitungan detik bagai kumpulan asap putih yang tersapu angin.
Hari ini telah menjadi hari yang panjang bagi Raziel maupun Gladys. Keduanya terjebak dalam lingkaran tak berujung yang membawa hati pada ketidakpastian akan perasaan dan pada akhirnya menyakiti satu sama lain. Karena semua dimulai dari perasaan pria pada satu jiwa dengan dua raga yang berbeda.
Jika hanya bisa memilih diantara dua raga. Apakah emosi dan perasaan seorang Raziel masih bisa mempertahankan keegoisannya?!
Keesokan harinya,
06.30 pagi, Mansion De Night Razor.
Pagi ini Gladys terusik dari tidur nyenyaknya karena cahaya matahari perlahan telah menampakkan sinarnya dan menyorot tepat ke wajahnya melalui celah jendela yang tertutup gorden gelap. Dengan enggan, ia menggeliat di balik selimut. Tangannya refleks mengucek kedua matanya yang risih karena sinar yang mengganggu.
“Hoam …. Apakah ini sudah pagi?” Gladys menguap dengan tangan kanan yang menutupi mulutnya.
Kedua kelopak matanya yang masih terasa berat untuk terbuka terpaksa digerakkan untuk melihat ke arah jam dinding yang berada di depannya. Perlahan kelopak matanya di kedip-kedipkan. Saat tahu waktu sudah menunjukkan pukul 06.35 pagi, tidak butuh waktu lama Gladys langsung beranjak dari posisi berbaringnya dan terduduk dengan nyawa yang belum terkumpul.
Seketika matanya membola saat melihat jarum jam, “Sudah jam setengah tujuh?! Arghh … bisa-bisanya aku kesiangan?” teriaknya frustasi serta mengacak-acak rambutnya yang panjang.
Tidak ada waktu lagi untuk mengumpulkan nyawa. Dengan keadaan setengah sadar dan langkah gontai, Gladys beranjak dari posisi duduknya menuju lemari untuk mengambil handuk, “Gawak, aku tidak bawa baju satupun ke sini. Masa aku pakai dress kayak gini untuk ke kantor?” gumamnya, sembari melihat diri sendiri dengan tersenyum miris.
“Ah … masa bodoh. Yang penting mandi dulu, lah…” Namun setelah membuka lemari pakaian, Gladys di buat tercengang dengan hal yang dilihatnya.