Raefal pulang ke rumah tepat pukul 11 malam. Entah apa yang sudah dia lakukan, tapi dari penampilannya yang kusut dan tampak kelelahan, berbagai pikiran negatif mulai berkeliaran di kepalaku.
Dia menjelaskan padaku alasan dia pergi terburu-buru karena mendapat kabar salah satu rekan bisnis perusahaannya datang berkunjung secara mendadak. Tak ada pemberitahuan sebelumnya, membuatnya kelimpungan karena harus menyambut langsung sang rekan bisnis. Dia bilang jika dia tidak datang dan mengadakan pertemuan dadakan dengannya bisa memungkinkan kerja sama mereka dibatalkan. Sebuah kerja sama yang sangat penting hingga akan menyebabkan kerugian besar untuk perusahaannya jika sampai dibatalkan. Ketika aku bertanya siapa nama rekan bisnisnya tersebut, dengan lugas dan lantang dia menyebutkannya. Bahkan nama perusahaannya pun ikut dia beritahukan padaku.
Jika aku yang dulu, tanpa berpikir panjang lagi pasti aku akan mempercayai ucapannya. Tapi, untuk sekarang ... entahlah, meski otakku bersi keras mencoba untuk mempercayainya tapi hatiku berteriak untuk menolak percaya pada semua yang dia katakan. Meski dia sudah menjelaskan kondisi yang dialaminya berulang kali, serta meminta maaf padaku berkali-kali pula, rasa kesal dan marah masih saja sulit untuk diredakan.
Sulit bagiku melupakan apa yang sudah dia lakukan padaku dan Raffa hari ini. Tega meninggalkan kami di saat kami begitu membutuhkan dirinya, terutama Raffa. Anak itu bahkan sudah tak berselera melanjutkan jalan-jalan seperginya Raefal. Hingga akhirnya kami memutuskan pulang dan tangisan tak kunjung reda dari kedua mata mungilnya. Aku sakit hati melihat tangisan itu, tangisan dari putraku yang kecewa dan sedih karena ditinggalkan oleh ayahnya.
Selama tiga hari lamanya aku mengabaikan Raefal. Aku mendiamkan dia dalam artian tidak mengajaknya bicara kecuali jika ada hal penting yang harus dikatakan. Aku tetap melayaninya seperti menyiapkan makanan, pakaian kerja dan kebutuhan dia yang lain. Namun, tidak untuk di atas ranjang. Aku selalu menolak dan beralasan setiap kali dia mengajakku b******a. Rasa marah yang masih melekat di dalam diri membuatku malas melakukan itu dengannya.
Dua malam ini aku bahkan memilih tidur bersama Raffa di kamarnya, terasa lebih menenangkan dan aku pun bisa tidur nyenyak dibandingkan harus tidur seranjang dengan seseorang yang membuatku menahan tangis setiap melihat wajahnya.
Hari ini merupakan hari keempat aku mendiamkan Raefal. Aku merenung, teringat pada nasihat ibuku dulu yang mengatakan seorang istri haruslah berbakti pada suaminya. Karena bagi seorang istri, surganya adalah suaminya.
Aku cukup menyesali sikapku selama tiga hari ini, meski amarah menguasai diri tak seharusnya aku mengabaikan suamiku sendiri. Mungkin saja apa yang dia katakan padaku memang benar. Bagaimana jika dia sama sekali tidak berbohong? Memikirkan kemungkinan itu membuat hatiku dilanda rasa bersalah yang amat besar.
Hari ini aku memutuskan untuk memperbaiki hubungan kami. Aku sengaja meminta Mbak Alya, tetangga sekaligus sahabatku, untuk menjemput Raffa. Kebetulan putranya pun satu sekolah dengan Raffa dan mereka berteman dekat. Raffa bahkan sering bermain dengan putranya di rumah mereka.
Di rumah, aku sibuk menyiapkan berbagai makanan kesukaan Raefal, aku berencana akan memberikan kejutan untuknya. Mengunjunginya di jam makan siang dan mengajaknya makan bersama. Memakan makanan yang khusus kubuatkan untuknya ini.
Setelah aku selesai menata masakanku di dalam wadah yang sudah kusiapkan. Aku bergegas bersiap-siap, waktu menunjukan pukul setengah sebelas siang, seharusnya jika aku berangkat sekarang maka aku akan tiba di kantornya tepat waktu.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit bagiku untuk bersiap-siap, kini aku sudah benar-benar siap untuk berangkat menuju kantor Raefal. Aku memesan taksi. Begitu duduk manis di dalam taksi, tak hentinya tatapanku tertuju pada makanan yang kubawa, berharap dalam hati Raefal akan menyukainya dan hubungan kami pun akan kembali seperti sedia kala.
Jalanan tak terlalu macet siang ini, aku tiba pukul 11.23. Bergegas aku memasuki kantor Raefal. Balas menyapa saat beberapa karyawan yang berpapasan denganku menyapa dengan ramah.
Susi terkejut begitu melihatku berjalan menuju mejanya. Aku berniat mengucapkan terima kasih padanya sejenak sebelum memasuki ruangan Raefal, mengingat dia sudah membantuku tempo hari.
“Siang, Sus,” sapaku ramah, dia tersenyum tak kalah ramahnya seraya membalas sapaanku.
“Siang juga, Bu,” katanya.
“Makasih ya atas bantuannya kemarin. Kamu gak cerita sama suami saya, kan?”
“Nggak kok, Bu. Seperti yang Ibu minta, saya rahasiakan hal ini dari Pak Raefal.”
Aku mengangkat ibu jari disertai senyuman lebar yang dengan tulus kuberikan pada sekretaris suamiku ini. Ternyata aku tak salah memilih orang untuk diajak bekerja sama. Untuk ke depannya mungkin aku tak akan segan lagi meminta bantuan Susi.
“Sebentar lagi jam istirahat ya?”
“Iya, Bu,” jawab Susi.
Aku mengeluarkan sekotak wadah plastik yang sudah kusiapkan untuk Susi. Berisi makanan buatanku juga yang memang berniat kuberikan untuk Susi sebagai tanda terima kasihku padanya. “Saya masak lumayan banyak tadi. Ini buat kamu. Dimakan ya, jangan dibuang. Ya, walau rasanya gak tahu cocok di lidah kamu atau nggak.” Aku mengulurkan kotak itu padanya, yang langsung dia terima dengan wajah berbinar senang.
“Waah, makasih banyak ya, Bu,” ujarnya.
Aku mengangguk, “Sama-sama. Mudah-mudahan kamu suka ya.”
Setelah mengatakan itu, aku pun melanjutkan langkah menuju daun pintu ruangan Raefal.
“Bu Indira,”
Namun, harus kuhentikan langkah begitu suara Susi kembali mengalun. Aku menoleh ke arahnya. “Iya, Sus. Kenapa?” tanyaku heran karena wajah Susi terlihat gugup dan cemas sekarang.
“Pak Raefal tidak ada di ruangannya,” katanya. Aku mengernyitkan dahi, heran. Kenapa bisa Raefal tidak ada di ruangannya? Sedang meeting kah dia? Belum sempat aku menanyakan itu pada Susi, dia sudah lebih dulu membuka mulutnya untuk kembali berbicara.
“Pak Raefal sudah pergi untuk makan siang,” ucapnya, seraya menundukan kepala. Mungkin merasa bersalah karena dia tahu aku sengaja membawakan makan siang untuk atasannya itu.
Aku melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengan kiri, waktu menunjukan pukul setengah dua belas saat ini. Bukan waktunya untuk beristirahat, setidaknya itulah yang kutahu. Atau mungkinkah peraturan jam istirahat di kantor ini sudah berubah tanpa sepengetahuanku?
“Memangnya sudah masuk jam istirahat ya?” tanyaku, Susi menggeleng membuatku semakin terheran-heran.
“Istirahatnya seperti biasa pukul 12 siang, Bu. Tadi Pak Raefal izin istirahat lebih cepat,” jelasnya, aku sedikit mengangguk.
“Jam berapa dia pergi?”
“Hm, jam sebelas, Bu. Waktu Ibu tiba tadi, Pak Raefal belum lama pergi.” Aku kembali mengangguk.
“Kamu tahu dia makan siang di mana? Apa mungkin di kantin kantor?” Susi menggeleng tanpa ragu seolah sangat yakin Raefal tidak makan siang di kantin kantor ini.
“Sudah lama Pak Raefal tidak pernah makan siang di kantin kantor lagi, Bu,” jawabnya. Aku tertegun. Seingatku, Raefal sering bercerita dia selalu makan siang di kantin kantornya. Jika merasa bosan dengan makanan kantin maka dia akan pergi ke restauran yang berada tepat di seberang kantor ini.
“Oh, mungkin dia makan siang di restauran seberang ya?”
“Hmm, mungkin saja, Bu. Tapi ....”
Kulihat Susi tampak gelisah, membuatku semakin curiga dia mengetahui sesuatu. Aku pun berjalan mendekatinya, berdiri tepat di hadapannya dengan kedua mata yang kini menatap intens padanya. “Kamu tahu dia makan di mana? Bilang saja, Susi. Saya berencana menyusulnya ke sana,” pintaku. Aku yakin Susi menyadari nada serius dalam suaraku.
“Setahu saya, Pak Raefal belakangan ini sering makan di salah satu restauran yang cukup jauh dari kantor, Bu. Katanya makanan di sana lezat. Pak Raefal pernah membelikan saya makanan di sana dan rasanya memang lezat. Sekarang Pak Raefal jadi langganan tetap restauran itu.”
Aku kembali tertegun, meresapi semua informasi yang baru aku dengar dari sekretaris suamiku ini. Aku bertanya-tanya dalam hati, Raefal menceritakan hal ini bahkan pada sekretarisnya. Tapi, padaku yang jelas-jelas istri sahnya, dia tak pernah sekalipun menceritakan tentang restauran ini.
Dari sikapnya ini sangat menunjukan bukan dirinya, karena Raefal yang aku kenal selalu menceritakan semua hal tentangnya padaku. Entah itu tentang masalah pribadi, masalah pekerjaan bahkan hal sepele seperti suatu benda yang menarik minatnya akan dia ceritakan padaku. Jadi, mengetahui dia merahasiakan tentang keberadaan restauran ini padaku, membuat rasa curiga mulai naik ke permukaan.
“Kamu tahu restaurannya di mana?” Susi mengangguk, seketika aku bernapas lega.
“Pak Raefal pernah memberitahu saya alamatnya. Sebentar, Bu. Kalau tidak salah saya menuliskan alamatnya di ponsel saya.”
“Tolong kirimkan alamatnya ke nomor saya kalau begitu.”
“Baik, Bu,” sahutnya. Susi mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di samping komputer di meja kerjanya. Lantas dia mengotak-atiknya sebelum seulas senyum terbit di wajahnya. “Untung masih ada alamatnya,” katanya. Aku balas tersenyum ikut lega sepertinya. “Sudah saya kirimkan ke nomor Ibu.”
Ketika aku merasakan ponsel dalam tasku bergetar, aku tahu Susi tidak berbohong. “OK, Susi. Makasih banyak ya. Saya akan menyusul suami saya ke sana kalau begitu. Sampai jumpa lagi.”
“Baik, Bu. Hati-hati di jalan,” katanya. Aku melambaikan tangan padanya sembari kakiku melangkah menuju lift.
Seperti biasa aku memesan taksi begitu berdiri di depan kantor Raefal. Aku menyebutkan alamat restauran itu pada sopir. Jantungku entah mengapa berdetak begitu cepat selama dalam perjalanan menuju tempat tujuanku itu. Tak hentinya hati kecil berharap agar aku tidak menemukan sesuatu yang menyakitkan di sana.
Setibanya aku di depan restauran itu, aku tak langsung turun dari dalam taksi. Dengan mudah aku berhasil menemukan mobil Raefal yang terparkir apik di depan restauran tersebut. Aku sangat hafal plat nomor mobilnya jadi tidak salah lagi mobil itu memang milik Raefal.
Setelah turun dari taksi, aku merasa ragu untuk masuk ke dalam restauran. Entahlah, debaran jantungku semakin menggila setibanya aku di depan restoran ini. Aku memutar leher ke kanan dan kiri, menggulirkan mata untuk melihat sekeliling restauran yang sangat asing bagiku ini. Walau bagaimana pun inilah pertama kalinya aku mendatangi tempat ini.
Mataku melebar saat menemukan sebuah cafe yang terletak tepat di seberang restauran ini. Tanpa pikir panjang aku pergi ke sana. Aku memilih duduk di kursi yang ditata di luar cafe, dari sini aku bisa melihat dengan jelas mobil Raefal. Ketika Raefal keluar dari restauran itu nanti, tentu aku juga akan bisa melihatnya dari sini.
Untuk menghilangkan jenuh, aku memesan secangkir kopi s'usu saat pelayan cafe menghampiri untuk menanyakan pesananku. Meski debaran jantungku masih tak karuan, aku mencoba menenangkan diri dengan meminum kopi s**u yang kupesan setelah sang pelayan mengantarnya ke mejaku.
Aku melirik jam tangan, menyadari sudah hampir setengah jam lamanya aku duduk di dalam cafe ini dan sosok Raefal belum juga keluar dari restoran. “Lama banget dia makan siang.” Tanpa sadar aku bergumam. Dudukku juga gelisah saat ini. Aku dilanda kebingungan antara tetap menunggunya di sini atau melakukan tindakan nekat dengan masuk ke restauran itu meski hatiku terasa enggan.
Saat aku berpikir untuk melihat ponsel, mengecek mungkin saja ada pesan atau panggilan yang masuk, aku benar-benar bersyukur karena aku menyempatkan diri menatap sejenak ke arah depan sebelum menyibukan diri berkutat melihat layar ponsel. Sehingga kini aku tak ketinggalan momen penting ini.
Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat seorang pria tinggi mengenakan setelan jas kantor yang kutahu sebagai suamiku, keluar dari pintu restauran. Mungkin aku akan merasa lega dan langsung menghampirinya detik ini juga, jika saja hanya dia seorang yang kulihat. Faktanya, dia keluar dari restauran itu tidak sendirian. Melainkan bersama seorang wanita cantik, anggun dan modis yang berjalan di sampingnya.
Meski dari kejauhan aku bisa melihatnya dengan jelas. Bagaimana penampilan wanita itu yang menegaskan bahwa dia seorang wanita karir. Mengenakan pakaian formal layaknya pegawai kantoran. Rambut panjangnya yang ikal, dia biarkan tergerai dengan rapi. Wajah cantiknya yang dia poles dengan make up tipis tapi mampu menguarkan seluruh pesonanya. Gaya berpakaian yang modis meski mengenakan setelan kantor memberikan penjelasan padaku bahwa dia sangat pandai merias diri agar terlihat elegan dan memukau di mata siapa pun yang melihatnya. Dia wanita yang berpendidikan tinggi, bisa kulihat itu dari gerak-gerik tubuhnya. Wanita kaya raya yang memiliki penghasilan fantastis.
Pemikiranku ini terbukti benar saat kulihat wanita itu berjalan menuju sebuah mobil mewah yang terparkir tepat di samping mobil Raefal. Awalnya, kupikir mereka berangkat bersama-sama dengan menaiki mobil Raefal. Namun, melihat wanita itu memiliki mobil sendiri, bisa kusimpulkan di restauran inilah tempat mereka janjian untuk bertemu dan makan siang bersama. Ngomong-ngomong sejak kapan mereka selalu makan siang di restauran ini? Aku merasa menjadi orang t***l karena baru mengetahuinya sekarang.
Kedua mataku memanas karena air mata yang memberontak meminta pembebasan. Jantungku yang berdebar kencang, kini semakin tak terkendali. Ulu hatiku sakit tiada tara seolah ada benda tajam tak kasat mata yang menikamnya, ketika aku melihat bagaimana wanita itu merapikan dasi dan jas yang dikenakan oleh suamiku. Bagaimana saat suamiku mengusap rambut panjang wanita itu dengan penuh sayang, menyelipkan ke belakang telinga rambut wanita itu yang sedikit menjuntai ke depan hingga wajah ayunya terhalangi. Dan bagaimana ketika mereka saling melempar tawa seolah mereka pasangan paling bahagia di muka bumi ini.
Wanita itu melambai manja saat memasuki mobilnya. Raefal masih berdiri di samping mobilnya, balas melambaikan tangan ketika mobil kekasihnya itu pergi dari pelataran restauran. Dikala Raefal akhirnya masuk ke dalam mobilnya dan mulai melaju meninggalkan area restauran, detik itu juga aku tak menahan lagi kesedihanku. Kubiarkan air mata ini menetes membanjiri wajahku yang pasti terlihat begitu pucat sekarang.
Aku tak ragu lagi sekarang. Bahkan dengan mata kepalaku sendiri aku melihatnya, melihat suamiku menusukku dari belakang. Diam-diam bermain dengan wanita lain tanpa sepengetahuanku. Bagaimana cerdasnya dia menyembunyikan kebohongannya dariku selama ini.