CHAPTER EIGHT

2457 Words
Raefal pulang ke rumah tepat pukul 6 sore. Dia bersikap seolah tak terjadi apa pun. Aku tak mengatakan apa pun selama ada Raffa di samping kami karena aku tidak ingin anak itu mendengar pertengkaran orang tuanya. Meski pikiranku sudah dipenuhi berbagai pertanyaan yang ingin aku utarakan padanya. Harus kutahan keinginan ini mati-matian. Hingga akhirnya setelah Raffa tertidur tepat pukul 9 malam, aku yang baru saja selesai membacakan buku dongeng untuk Raffa, berniat untuk menghampiri Raefal yang sedang menonton televisi sendirian di ruang tengah. Aku berdiri mematung di belakangnya yang tengah duduk di atas karpet. Sedikit berdeham agar dia menyadari kehadiranku. Sesuai yang kuharapkan, dia menoleh padaku. Dia tersenyum sembari memberi isyarat dengan tangannya agar aku menghampirinya. Jika biasanya aku menolak bergabung untuk menonton bersamanya, tidak demikian dengan kali ini. Aku menghampirinya tanpa protes sedikit pun. Inilah saat yang tepat untuk menanyakan semua kegundahan di dalam hatiku. “Tunggu di sini sebentar,” katanya tiba-tiba begitu aku mendudukan diri di atas karpet. Tatapanku tanpa sadar mengikuti pergerakan Raefal. Bagaimana dia bangun dari duduknya, lalu melangkah menaiki tangga. Sosoknya menghilang di balik pintu kamar kami, entah apa yang akan dia lakukan, di sini aku menunggu dengan penuh antisipasi. Lima menit kemudian, dia kembali menuruni tangga dengan menenteng sebuah paperbag di tangannya. Aku mengernyitkan dahi saat melihat paperbag itu, sempat berpikir mungkinkah dia membelikanku sesuatu? “Ini titipan dari Susi,” katanya seraya mengulurkan paperbag di tangannya padaku. Aku menerima paperbag itu, mengintip ke dalam untuk melihat isinya. Rupanya Susi mengembalikan kotak makanan yang tadi kuberikan padanya, tentu saja dalam keadaan kosong dan sudah bersih. Kuletakan paperbag itu di atas meja, sebelum melirik ke arah Raefal yang kini tengah menatapku datar. “Tadi kamu ke kantor?” tanyanya. Aku mengangguk. “Niatnya sih pengin makan siang bareng kamu. Tapi, kamunya udah makan siang duluan.” “Kenapa kamu nggak bilang dulu kalau mau ke kantor?” “Tadinya mau ngasih kejutan, udah lama juga kan aku gak bawain makanan buat kamu ke kantor,” Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan ucapanku. “Tapi, ada untungnya juga aku datang tanpa ngasih tahu kamu dulu. Kebohongan kamu jadi terbongkar sekarang,” tambahku. Kulihat dia mengernyitkan dahi, tampak tak suka mendengar kata-kataku barusan. Aku tak peduli lagi meskipun ucapanku berpotensi membuatnya marah. Tak ada lagi yang akan aku pendam. Rasa sakit yang kurasakan dalam hati ini harus kuungkapkan sekarang juga. “Aku nyusul kamu ke restauran tempat kamu makan siang tadi,” ujarku. “Oh, ya? Terus kenapa aku nggak lihat kamu?” Dia bertanya balik padaku. Aku cukup terkejut melihat ekspresi wajahnya yang tampak biasa-biasa saja. Tak ada raut terkejut atau panik yang menari-nari di wajahnya. “Karena aku emang gak masuk ke dalam restauran.” “Kenapa? Kenapa kamu gak masuk ke dalam? Katanya kamu mau nyusulin aku kan ke sana? Harusnya kamu masuk ke dalam restauran.” Aku kembali menghela napas panjang. Harusnya aku yang mengintimidasi dia dengan berbagai pertanyaan yang kulontarkan padanya. Tak kusangka keadaannya berbalik, sekarang justru dia yang mengintimidasiku dengan berbagai pertanyaannya. Aku tak heran sama sekali, memang seperti inilah Raefal. Dia selalu mampu membuat lawan bicaranya tersudutkan, apa lagi jika dia dalam posisi bersalah. Pasti dia akan mencari berbagai cara agar dirinya tetap dianggap benar. Dia egois? Tidak, tentu saja kata egois tidak pantas ditujukan padanya. Kata pintar bersilat lidah, kurasa lebih cocok. “Kamu juga harusnya nelepon aku kalau datang ke restauran itu,” katanya lagi. Aku berdecak pelan mendengarnya. “Aku ragu mau masuk ke dalam.” “Ragu? Kenapa ragu? Kan, katanya kamu mau nyusulin aku ke sana?” Lagi, dia yang berbalik menginterogasiku sekarang. Tapi, aku tidak akan kalah kali ini. Harus kuketahui siapa wanita yang bersamanya tadi siang. “Aku takut lihat pemandangan menyakitkan di dalam makanya aku gak masuk. Tapi ternyata firasat aku emang bener. Dari luar pun, aku masih bisa lihat pemandangan yang nyakitin hati aku banget,” ujarku. Sengaja aku menatap tepat ke kedua matanya. Awalnya, berharap bisa menemukan kepanikan atau ketegangan di iris matanya itu. Namun, sekali lagi harapanku hanyalah angan-angan yang tidak mungkin terwujud. Dia sukses mempertahankan raut tenang dan datarnya. “Pemandangan menyakitkan? Emangnya kamu lihat apa?” tanyanya seolah tak berdosa sedikit pun. Atau dia merasa tidak berdosa setelah bermain dengan wanita lain di belakangku? OK, aku mulai kehilangan kesabaranku sekarang. “Jangan pura-pura gak tahu deh. Aku lihat kok, lihat pake mata kepalaku sendiri, kamu keluar dari restauran itu sama seorang wanita. Siapa dia? Selingkuhan kamu?” tanyaku memilih langsung ke intinya. Raefal memejamkan mata, lantas menggeleng pelan sebelum akhirnya dia menghunus tajam menatap padaku. “Pikiran kamu ngelantur banget ya? Selingkuhan apanya? Dia itu temen lama aku. Temen waktu kuliah,” sahutnya, tidak ada bentakan, tidak ada nada suara tinggi. Dia berbicara dengan fasih disertai nada teramat tenang dalam suaranya. Seolah dia memang tak merasa panik sedikit pun meskipun aku sudah memergoki perselingkuhannya. “Temen kuliah?” gumamku, tentu saja aku tidak percaya. “Iya, dia temen kuliah aku.” “Bukannya kamu kuliah di Bogor dulu? Kenapa bisa ketemu sama dia di sini?” Aku sadar ini pertanyaan yang sangat bodoh. Tapi, sungguh pertanyaan ini refleks keluar dari mulutku. “Memangnya kamu pikir mahasiswa yang kuliah di sana semuanya orang Bogor? Nggak dong. Mereka tersebar dari berbagai daerah di Indonesia. Jadi, ya wajar-wajar aja aku ketemu dia di sini. Nggak ada yang aneh,” sahutnya tegas, tanpa keraguan. “Jadi, dia itu temen kuliah kamu?” tanyaku, memastikan sekali lagi. Dia mengangguk cepat. “Yakin cuma temen kuliah?” “Kamu kok nanyanya kayak gitu? Kesannya kayak yang nggak percaya.” “Emang aku nggak percaya. Emang ada ya temen yang ampe benerin dasi terus ampe si pria ngusap rambut si wanita lembut banget? Kok di mata aku kalian kayak sepasang kekasih yang lagi kasmaran ya?” sindirku, memberitahu secara gamblang bahwa aku melihat terperinci apa saja yang mereka lakukan di depan restauran. Raefal kembali memejamkan mata. Dia memijit pangkal hidung, mungkin sedang memikirkan alasan untuk membohongiku lagi. “Kamu bisa nggak sih jangan negatif thinking dulu? Dia benerin dasi aku mungkin karena risih lihat dasi aku miring. Itu tindakan wajar kok, artinya dia cukup peduli sama temen dia,” jawabnya, teramat santai. “Dan soal aku yang ngusap rambut dia, makanya kamu jangan ngambil kesimpulan sendiri kalau nggak ngelihat dengan jelas. Ada daun di rambut dia, makanya aku ambilin. Kamu juga lihat sendiri kan di area parkirnya banyak pohon?” Aku tertegun, mengingat betul di sekitar area parkir restauran itu memang ditumbuhi beberapa pohon berdaun lebat. Sangat masuk akal jika memang benar ada daun yang mendarat di rambut wanita itu. “Sejak kapan sih kamu negatif thinking gini sama aku? Pake curiga selingkuh segala. Indi, Indi, nggak mungkinlah aku selingkuh,” katanya seraya terkekeh. Aku mendengus, memutar bola mata malas karena hingga detik ini aku masih tidak mempercayainya. “Sejak aku sadar kalau kamu emang mencurigakan.” “Mencurigakan?” gumamnya, satu alisnya terangkat tinggi. “Mencurigakan gimana maksudnya? Perasaan aku biasa aja.” “Kamu itu berubah, Raefal. Nggak kayak kamu yang dulu. Kamu pikir aku gak nyadar apa?” ujarku, sedikit ketus. Aku membuang muka, memilih menatap arah lain ketimbang beradu pandang dengan dia. “Berubah gimana maksudnya? Aku gak berubah kok. Tetep sama kayak dulu. Pikiran kamu ngaco.” Aku kembali menoleh padanya begitu alunan tawanya tertangkap indera pendengaranku. “Kamu janjian sama temen kamu itu di sana? Janjian makan siang bareng?” Dia mengangguk tanpa ragu, tak mengelak sedikit pun. Awalnya, kupikir dia akan berdalih bertemu dengannya tanpa disengaja. Di luar dugaan, dia langsung mengakuinya. “Sebenarnya perusahaan kami terlibat kerja sama gitu. Kami emang janjian buat ngebahas masalah kerjaan di sana.” “Jadi, setiap jam istirahat kalian selalu janjian makan siang bersama di restauran itu?!”  Dia kembali mengernyitkan dahi ketika mendengar pertanyaanku yang bernada emosi ini. Sungguh kekesalan sudah naik sampai ke ubun-ubunku sekarang. “Siapa bilang aku setiap hari janjian sama dia makan siang di sana? Ngaco kamu. Nggaklah, baru tadi aja kok kita janjian makan siang di sana.” “Susi bilang kamu sering makan siang di restauran itu padahal jaraknya jauh banget dari kantor kamu. Padahal setahu aku, dulu kamu sering makan di kantin kantor atau di restauran di seberang kantor kamu itu. Kenapa kamu sampai jauh-jauh makan di sana?” Aku bertanya dengan bertubi-tubi. Dia bersedekap d**a di depanku, masih tetap mempertahankan raut datarnya seolah semua pertanyaanku ini tak mengganggunya sedikit pun. “Aku pernah ketemu sama klien di restauran itu. Aku suka makanan di sana, rasanya enak. Lain kali aku ajak kamu makan di sana deh supaya kamu ngerti alasan aku rela jauh-jauh makan siang di sana. Aku yakin kamu juga pasti suka makanan yang dihidangkan di sana,” jawabnya, seperti biasa dia menjawab dengan lantang dan santai. Kini gantian aku yang memijat pangkal hidung. Berpikir akhirnya aku memiliki bukti untuk membuatnya mengakui kebohongannya, faktanya dia berhasil memberikan berbagai alasan yang mau tak mau harus kuakui memang masuk akal. Logikaku mencernanya dengan baik. Aku tersentak saat merasakan dia yang tiba-tiba meraih tanganku, menggenggam tangan kananku erat, sebelum kecupan lembut dari bibirnya mendarat di punggung tanganku. “Kamu jangan mikir yang aneh-aneh gini dong, Sayang. Dulu kamu gak pernah mikir aku selingkuh kayak gini. Kenapa sekarang kamu bisa mikir kayak gitu?” “Udah aku bilang kan tadi, kamu itu mencurigakan,” sahutku tegas. “Itu cuma perasaan kamu aja. Aku itu cuma cinta sama kamu. Nggak mungkin aku lirik cewek lain. Toh, aku punya istri cantik gini kok di rumah.” Dia sedang menggombal, tentu saja aku tahu persis. Tak ingin terbuai dengan gombalan recehnya, aku menarik tanganku kasar dari genggamannya. Lalu, beranjak bangun dari dudukku dan melangkah santai meninggalkannya sendirian. Aku kehabisan kata-kata untuk menyudutkannya. Sempat berpikir untuk menanyakan perihal kalung dengan liontin berinitial ZK itu, tapi kuurungkan karena aku yakin dia pasti mampu mengelak lagi. Lebih baik dia berpikir aku belum mengetahui keberadaan kalung itu. Ini tindakan paling tepat yang bisa kulakukan saat ini agar dia tidak mencurigai bahwa aku sedang melakukan penyelidikan padanya. Aku merebahkan diri di atas kasur setibanya di kamar. Kedua mataku memanas, air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata ini berontak meminta pembebasan. Aku menengadah, sengaja menatap langit-langit kamar untuk mencegah air mata ini meluncur keluar. Meski kata-katanya terdengar meyakinkan tapi hati kecilku tetap berteriak agar aku tak mempercayainya semudah itu. Cepat-cepat aku memiringkan tubuh begitu mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Saat kurasakan seseorang menaiki kasur, aku berpura-pura memejamkan kedua mata. “Sayang, kamu jangan gini. Please, percaya sama aku. Aku nggak selingkuh sama siapa-siapa kok," ucapnya, sembari memelukku dari belakang, kurasakan pula jemari tangannya yang memainkan rambutku yang tergerai berantakan di atas bantal. “Aku itu cuma cinta sama kamu. Gak mungkinlah aku selingkuh. Stop mikir kayak gitu. Bisa, kan?” Aku tetap bungkam, sama sekali tak menyahutinya. Ketika kudengar hembusan napas lelah, aku menepis tangannya yang merangkul bahuku. Lalu, kututupi sekujur tubuhku hingga sampai kepala dengan selimut, sebagai isyarat aku tak ingin lagi mendengar semua gombalannya. “Kamu sadar gak sih kalau yang berubah itu sebenarnya kamu, bukan aku?” Kata-kata terakhir yang dia ucapkan sebelum dia mengubah posisi. Dia menjauhiku, dan saat aku menoleh ke arahnya, kulihat dia sedang tidur membelakangiku. Kini tak kutahan lagi air mata, kubiarkan menetes membasahi wajah. Hubungan kami semakin buruk dari hari ke hari. Pernikahan kami, sampai kapan bisa dipertahankan? Untuk pertama kalinya pemikiran menyakitkan ini terlintas di kepalaku.   ***    Keesokan paginya, tepat pukul 7 setelah menyelesaikan sarapan, Raefal bangkit berdiri dari duduknya. “Raffa yang rajin ya belajarnya, jangan nakal di sekolah,” katanya seraya mengacak rambut putra kami. Raffa merengut tak suka karena tindakan ayahnya membuat rambutnya jadi berantakan. Dia menepis tangan Raefal kasar dari puncak kepalanya, mengundang kekehan keluar dari mulut Raefal. Dia melirik ke arahku yang tetap duduk tenang di kursi. Berpura-pura tak peduli dengannya, aku tetap menyantap makanan dengan santai. Mungkin dia heran dengan sikapku ini karena biasanya aku akan mengantarnya sampai ke depan rumah setiap kali dia hendak berangkat ke kantor. “Aku berangkat dulu,” pamitnya yang hanya kubalas dengan anggukan kecil. Tatapanku terfokus pada punggungnya yang semakin menjauh hingga hilang di balik pintu. Saat suara mobilnya terdengar, lantas berjalan menjauh, aku tahu dia benar-benar sudah berangkat. Tak berselang lama, sudah menjadi rutinitas setiap hariku mengantarkan Raffa ke sekolah. Kami berangkat dengan menaiki taksi. Di sepanjang jalan, tak hentinya aku memikirkan pembicaraanku dengan Raefal semalam. Berpikir haruskah aku mempercayai ucapannya? Haruskah aku meminta maaf padanya? Jujur hingga detik ini perasaanku pada Raefal belum pudar sedikit pun. Masih tetap sama seperti dulu karena itu rasanya hatiku sakit sekali saat memikirkan kemungkinan dia mengkhianatiku. Yang paling membuatku ketakutan adalah saat berpikir mungkin dia sudah tak mencintaiku lagi seperti dulu. Aku belum siap untuk kehilangannya, dan jika memang hubungan kami masih bisa diperbaiki, kenapa aku tidak mencobanya? Aku mengambil ponsel yang kuletakan di dalam tas. Sempat ragu sejenak tapi pada akhirnya kutekan nomor telepon Raefal. Aku berniat mengalah dan meminta maaf padanya karena sikapku semalam dan pagi ini. Teleponnya tersambung tapi tidak kudengar tanda-tanda Raefal mengangkatnya. Mencoba berpikir positif dan menerka-nerka kemungkinan dia sedang sibuk di kantor, aku memilih menelepon ke nomor kantornya. Suara Susi yang mengangkat telepon itu, mengalun di telingaku. “Hallo, ini Susi, kan? Saya Indira.” “Oh, Ibu Indira. Iya, Bu. Saya Susi. Kenapa ya, Bu?” tanyanya di seberang sana. “Suami saya ada di ruangannya?” Tak kudengar suara Susi yang menyahut, membuatku mengernyitkan dahi di sini. “Susi,” panggilku. “Maaf, Bu. Pak Raefal belum datang.” Aku tersentak mendengar jawaban Susi ini. Cepat-cepat aku melirik ke arah jam tangan yang melingkar di lengan kiri. Waktu menunjukan pukul 08.12, seharusnya dia sudah tiba sejak setengah jam yang lalu mengingat dia berangkat dari rumah pukul 7 dan jarak kantor dari rumah kami yang bisa dikatakan cukup dekat. “Dia belum sampai di kantor ya padahal dia sudah berangkat jam 7 dari rumah?” “Hm, kurang tahu, Bu. Tapi, biasanya Pak Raefal datang ke kantor pukul 9 pagi kok, Bu.” Sekali lagi aku tersentak, bahkan kedua mataku melebar saking terkejutnya. “Dia datang ke kantor jam 9? Yang benar kamu?” “Iya, Bu. Saya tidak bohong. Pak Raefal selalu datang ke kantor pukul 9.” Aku tertegun, memikirkan keanehan ini. Jika dia tiba di kantornya pukul 9, lalu apa yang dilakukannya setelah berangkat dari rumah? Kemana dia pergi setelah meninggalkan rumah jika tidak langsung ke kantor?  “Bu Indira.” Lamunanku buyar begitu suara Susi menyadarkanku. “Oh, OK, Sus. Makasih ya. Tolong jangan bilang pada suami saya kalau saya menelepon. Tolong rahasiakan ini darinya ya.” “I-iya, Bu. Baik,” sahutnya, aku pun memutuskan sambungan telepon. Aku menyandarkan punggung di sandaran kursi taksi, kembali termenung memikirkan satu lagi kebohongan Raefal yang baru saja terbongkar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD