CHAPTER SIX

2068 Words
Ketika hari minggu akhirnya tiba, di pagi buta saat aku dan Raefal masih bergelung manja di dalam selimut hangat kami. Kami dikejutkan oleh sosok Raffa yang melompat ke atas ranjang, menggunjang tubuh kami disertai suara jeritannya yang nyaring di telinga kami. Seketika kami terpaksa membuka mata.  Aku masih berada dalam kondisi setengah sadar saat Raffa tanpa henti merengek meminta agar Raefal memenuhi janjinya untuk mengajak kami bermain di Trans Studio. Aku hanya mampu terkikik geli saat melihat betapa tersiksanya Raefal yang masih mengantuk harus terpaksa bangun karena Raffa terus menarik tangannya, memaksa ayahnya untuk beranjak dari kasur empuk kami.  “Ini masih pagi. Trans Studio-nya buka jam 10 lho.” “Aku gak peduli. Ayo siap-siap, Dad. Kita berangkat sekarang,” kata Raffa, keras kepala seperti biasanya.  “Kamu aja belum mandi.” “Ya udah. Ayo kita mandi bareng,” ajak Raffa sembari menarik tangan ayahnya agar ikut bersamanya ke kamar mandi.  Raefal menoleh ke arahku, seolah memberi isyarat dengan matanya agar aku membantunya membujuk Raffa. Namun, aku meresponnya dengan mengendikan bahu, membiarkan dia sendiri yang menyelesaikan masalahnya. Lagi pula, siapa yang membuat janji dengan anak itu, bukankah dia sendiri? Jadi, saat Raffa merengek menagih janjinya, aku hanya bisa tersenyum puas di dalam hati.  Saat keduanya mandi bersama di dalam kamar mandi, aku berinisiatif untuk menyiapkan sarapan. Kegiatan kami hari ini pastinya akan sangat berat dan melelahkan, jadi mengisi nutrisi di pagi hari sangat penting, bukan?  Aku tidak menyiapkan sarapan yang sulit dibuat. Hanya roti bakar dengan beberapa jenis selai yang sengaja kusiapkan sesuai dengan varian rasa yang mereka suka. Raffa dengan selai coklatnya, Raefal dengan selai vanilanya dan aku dengan selai strawberry favoritku.  Setelah setengah jam lamanya aku berkutat di dapur, akhirnya aku menyelesaikan kegiatanku menyiapkan sarapan. Roti bakar yang terlihat menggiurkan itu sudah terhidang di atas meja makan. Namun, sosok Raefal dan Raffa belum juga muncul. Aku pun berinisiatif menghampiri mereka untuk memastikan apa yang sedang dilakukan mereka berdua sekarang.  Aku bersedekap seraya menyandarkan punggungku pada dinding kamar mandi saat kudapati mereka masih asyik berendam bersama. Memainkan busa yang menggelembung seolah tak menghiraukan jarum jam yang terus berdetak tiada henti.  “Mom, sini. Ikut main sabun bersama kami!!” teriak Raffa, mengajakku ikut serta. Aku? Tentu tak berminat sedikitpun untuk ikut bergabung.  “Mom tidak ikut, kalian jangan terlalu lama berendamnya. Sudah setengah jam lho kalian berendam di situ,” kataku memperingati mereka.  Namun siapa sangka, bukannya menuruti perintahku, kulihat Raffa keluar dari bathtub. Mengabaikan ketelanjangannya, dia berlari menghampiriku, membuatku cemas dia akan terjatuh karena menginjak lantai yang licin terkena gelembung sabun.  Aku tak bisa berkutik, saat dia menarik tanganku. Menyeretku paksa untuk masuk lebih dalam ke kamar mandi.  “Ayo, Mom, ikut berendam bersama kami,” rengek Raffa saat kini dia sudah berhasil menyeretku hingga berdiri tepat di depan bathtub. Raefal membalas mengabaikanku saat aku meminta bantuannya untuk membujuk Raffa agar berhenti memaksaku masuk ke dalam bathtub.  Aku memutar bola mata malas, aku lupa ...benar-benar lupa bahwa Raefal tipe pendendam yang akan membalas apa pun perlakuanku padanya.  “Ayo Mom masuk ke bathtub. Kita berendam bersama.” “Kalian aja yang berendam, Mommy siapkan baju kamu yang mau dibawa hari ini aja ya.” Aku masih berusaha membujuk.  Akan tetapi, saat kulihat kedua mata Raffa menggenang nyaris menangis, aku tahu tak akan pernah bisa menang darinya. Aku mengembuskan napas pasrah sebelum kuanggukan kepala pelan.  Raffa detik itu juga melompat kegirangan sedangkan Raefal memasang wajah menyebalkan karena dia sedang menyeringai padaku sekarang.  Aku mendengus padanya sebelum kulangkahkan kaki memasuki bathtub yang penuh busa itu tanpa melepaskan gaun tidurku. Aku tak peduli lagi meskipun gaunku basah kuyup sekarang.  “Kok gak dilepas gaun tidurnya?” tanya Raefal dengan ekspresi wajah tengah menaikan kedua alisnya tinggi.  “Aku males buka, kenapa? Masalah buat kamu?” Aku berucap cukup ketus. Entahlah, akhir-akhir ini emosiku terasa labil saat berdekatan dengan Raefal. Aku tidak akan segan-segan membentaknya setiap kali dia membuatku kesal yang untungnya dia tak pernah balas membentakku. Seandainya dia tipe pria yang mudah tersulut emosi, mungkin sejak dulu sudah terjadi perang dunia ke-3 di rumah ini. Jadi haruskah aku bersyukur karena memiliki suami penyabar dan suka mengalah seperti Raefal?  Aku berjengit kaget saat dengan kurang ajarnya Raefal menyiramkan segayung air dingin ke atas kepalaku. Ditambah Raffa yang ikut menciprat-cipratkan busa ke wajahku. OK, kuakui mereka kompak dalam hal mengeroyokku seperti ini.  Hingga akhirnya aku balas mencipratkan busa ke arah Raffa dan Raefal. Kegiatan berendam kami pun berubah menjadi perang busa. Sangat menyenangkan. Suara tawa kami bertiga membahana mengisi ruangan kamar mandi.  Dilihat dari sudut mana pun mungkin orang lain yang melihat kami, akan berpikir bahwa kami ini adalah keluarga kecil yang harmonis dan bahagia. Tanpa mereka ketahui ada celah yang sedikit demi sedikit semakin membesar antara aku dan Raefal. Sebuah celah yang lambat laun akan berubah menjadi jurang yang jika tak bisa kami seberangi akan menjadi alasan kami berdua terjatuh dan tak akan pernah bisa dipertemukan kembali.  Meski belum kutemukan bukti bahwa Raefal berselingkuh di belakangku, tapi sebagai seorang wanita dan seorang istri, hati kecilku terus meneriakan kata-kata bahwa suamiku memang benar-benar berselingkuh. Entahlah, aku masih berusaha menemukan buktinya dengan mata kepalaku sendiri, karena aku tidak akan pernah mempercayai kata-kata orang lain.   ***    Tepat pukul 10, akhirnya kami tiba di TSM ( Trans Studio Mall). Kami membeli tiket masuk ke Trans Studio dan mendapati suasana masih sepi begitu kami masuk ke dalamnya. Wajar karena belum lama taman bermain ini dibuka. Jika waktu menunjukan siang hari, pasti tempat ini bak disulap akan berubah menjadi ramai dan meriah.  “Mom, aku ingin naik itu,” pekik girang Raffa seraya telunjuk mungilnya menunjuk ke arah Yamaha Racing Coaster. Sebuah wahana yang akan menguji adrenalin karena akan melesat cepat dengan kecepatan hingga 120 kilometer perjam dalam waktu 3,5 detik.  Aku meneguk saliva panik, aku tak pernah berani menaiki wahana itu bahkan di hari pertama kali aku berkunjung ke tempat ini dulu kala.  Raefal terkekeh melihat ekspresi wajahku yang pastinya memucat sekarang. Aku mendelik tak suka padanya, berharap dia membantuku dan bukannya menertawakanku seolah dia bahagia di atas penderitaanku.  Mungkin dia menyadari makna di balik kedua mataku yang memelototinya, dia berdeham sebelum memegang tangan Raffa dan mengajaknya menaiki wahana itu. Membujuk Raffa agar berhenti merengek agar aku ikut serta. Aku tersenyum lebar saat Raefal sepertinya berhasil membujuk putra kami karena tak terdengar lagi suara rengekannya dan berganti dengan dia yang melambaikan tangannya padaku saat mereka tengah mengantri untuk menaiki wahana.  Aku menyaksikan dari depan pagar pembatas saat wahana itu akhirnya melesat di mana suami dan putraku menjadi salah satu yang menaikinya. Aku berdoa dalam hati, semoga perjalanan mereka menyenangkan dan tidak terjadi masalah apa pun.  Tanpa sadar aku tertawa saat mereka melewatiku, Raffa yang merentangkan kedua tangan tinggi di udara, meski dari bawah sini, aku masih bisa melihatnya dengan jelas. Diam-diam aku memotret mereka. Ya, walaupun hasilnya tidak terlalu jelas tapi aku cukup puas.  “Mom, kita naik itu yuk!” ajak Raffa lagi setelah dia puas menaiki wahana Yamaha Racing Coaster tadi sebanyak tiga kali.  Aku lagi-lagi meneguk saliva dengan susah payah, kali ini yang dipilih Raffa adalah Giant Swing. Lagi-lagi sebuah wahana yang menguji adrenalin. Sebuah wahana berbentuk ayunan pendulum raksasa yang akan berputar-putar di udara dalam ketinggian 18 meter.  Aku meyakini wajahku pasti memucat lagi sekarang. Tak akan pernah bisa kulupakan bagaimana rasanya saat dulu aku mencoba menaiki wahana itu. Jantungku serasa ingin lepas dari rongganya, darah yang tak hentinya berdesir, tubuh gemetaran saking takutnya dan suhu tubuhku yang tiba-tiba mendingin saking tegangnya. Tidak, terima kasih. Aku tidak ingin merasakan sensasi itu lagi.  “Kamu kan waktu itu bisa naik itu. Aku yakin sekarang juga kamu pasti bisa,” bujuk Raefal, kali ini dia tidak membantuku sedikit pun membujuk Raffa agar berhenti memaksaku. Sebaliknya, dia justru membujukku agar mau ikut menaiki wahana terkutuk yang satu itu.  “Ayolah, Sayang. Kamu pasti bisa. Masa kalah dari Raffa sih,” katanya masih berusaha membujukku. “Aku gak mau.” “Gak usah takut, ada kita berdua kok. Raffa kita genggam tangan Mommy sama-sama ya.”  Raffa mengangguk penuh semangat saat Raefal mengatakan itu padanya. Menyadari kali ini aku tak bisa melarikan diri. Satu lawan dua, tentu saja aku yang sendirian akan kalah, bukan? Akhirnya aku pun memilih mengikuti keinginan mereka.  Saat Giant Swing ini berjalan, aku berteriak sekencang yang bisa suaraku keluarkan. Sensasi menakutkan yang dulu pernah kurasakan sama sekali tak berubah. Tetap sama, aku bersumpah di dalam hati, inilah terakhir kalinya aku menaiki wahana yang  nyaris merenggut kewarasanku ini.  Setelahnya, Raffa dan Raefal masih asyik menaiki wahana memacu adrenalin lainnya. Kali ini sekeras apa pun mereka berusaha membujukku, aku tidak mau kalah lagi. Jika mereka keras kepala maka percayalah aku lebih keras kepala dari mereka. Akhirnya mereka menyerah memaksaku. Pasrah sepenuhnya saat aku mengatakan akan menunggu mereka di bawah, mengambil foto mereka saat menaiki wahana-wahana itu.  “Dad, aku seneng banget.”  Kata-kata penuh semangat itu meluncur dari mulut Raffa begitu kami memutuskan untuk mengisi perut kami yang keroncongan. Waktu sudah menunjukan pukul 14.00 saat ini, pantas sejak tadi perutku meraung-raung minta diisi. Jika aku tak memaksa mereka untuk makan siang sejenak, kurasa saking asyiknya mereka menaiki berbagai macam wahana, mereka mengabaikan perut mereka yang merintih minta diisi.  Kami memesan makanan di salah satu restoran yang masih berada di area taman bermain Trans Studio. Makanan fast food yang kami pesan agar praktis dan cepat disajikan.  “Datang ke sini jadi inget dulu ya. Waktu kita bulan madu ke sini,” ucap Raefal tiba-tiba.  Sejujurnya aku pun merasakan hal yang sama dengannya. Benar ... bukan Singapura, Jepang, Eropa atau negara-negara indah lainnya yang kami datangi untuk berbulan madu, tapi tempat inilah yang dulu kami putuskan untuk menjadi tempat kami menghabiskan waktu honeymoon. Di kota Bandung, salah satunya Trans Studio ini yang kami kunjungi.  Bisa dikatakan tempat ini menyimpan banyak kenangan tentang kami sepuluh tahun yang lalu. Aku sendiri tak menyangka setelah mengikuti Raefal pindah ke kota demi kota, akhirnya kami terdampar kembali di Kota Bandung. Bahkan kami bisa mengunjungi lagi tempat bersejarah ini.  Dulu aku hanya berdua dengan Raefal mengunjungi tempat ini. Tapi sekarang lihatlah, ada Raffa, buah cinta kami berdua yang juga ikut serta. Kebahagiaan yang kurasakan sepuluh tahun yang lalu di tempat ini, kini kembali terulang. Bahkan dua kali lipat lebih terasa membahagiakan bagiku.  Ya, lebih membahagiakan dibanding dulu, kira-kira itulah yang kurasakan sebelum kebahagiaan ini hilang dalam sekejap ketika Raefal tiba-tiba mendapatkan sebuah panggilan telepon.  Sama halnya seperti di restoran tempo hari, Raefal meminta izin untuk menjauh sejenak selama dia menerima telepon itu.  Sepanjang dia bertelepon ria dengan seseorang di seberang sana, aku tak memalingkan pandanganku sedikit pun dari ekspresi wajah Raefal.  Jika tempo hari aku lihat wajahnya berbinar bahagia saat bicara dengan seseorang itu, tidak demikian dengan kali ini. Wajah Raefal tampak tegang dan panik seolah dia baru saja mendengar kabar buruk.  Dia bergegas menghampiriku setelah mungkin sambungan telepon itu diputuskan. Wajah bahagianya tadi ketika bermain dengan Raffa lenyap bagai ditelan bumi, digantikan raut wajah panik, tegang dan takut. Tujuh belas tahun hidup bersamanya, membuatku bisa dengan jelas melihat suasana hatinya melalui ekspresi wajah itu.  “Sayang, aku harus pergi dulu. Ada urusan penting,” katanya tergesa-gesa. “Emangnya kamu mau ke mana? Ini kan hari minggu, hari libur kamu. Gak mungkin kan kamu harus ke kantor?” tanyaku, berusaha menolak permintaannya ini.  “Bukan urusan kantor. Tapi urusan lain.” “Urusan apa?” “Nanti aku jelasin kalau pulang ya. Aku lagi buru-buru banget.” “Tapi kan ... kita lagi main di sini. Masa kamu tega ninggalin aku sama Raffa?” “Maaf, Sayang. Aku janji bakalan cepet pulang kok.” Dia mengecup keningku, mengabaikan sepenuhnya penolakanku.  “Gimana kami pulangnya nanti?”  Saat aku bertanya seperti itu, tiba-tiba Raefal mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya. Menyerahkan uang itu padaku.  “Kalian naik taksi ya. Sekali lagi maaf, Sayang. Aku bener-bener harus pergi sekarang.”  Dia mengecup puncak kepala Raffa sebelum benar-benar melesat pergi. Bahkan sekalipun Raffa berteriak memanggilnya, dia tetap berjalan tegap tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.  “Mom, Daddy mau ke mana? Kenapa Daddy ninggalin kita di sini?” tanya putraku dengan kedua mata yang berkaca-kaca.  Aku merentangkan kedua tangan, mengajak putraku untuk menghamburkan dirinya dalam pelukanku.  Sungguh aku akhirnya meneteskan air mata, tak kuasa menahan kesedihan saat merasakan tubuh Raffa bergetar dan dia menangis dalam pelukanku. Menangis karena kebahagiaannya hari ini dirusak oleh seseorang yang baru saja menelepon Raefal. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD