"Restu orang tua bagi hubungan seorang anak dan kekasihnya adalah berkat. Maka dari itu, saya akan berusaha mendapatkannya untukmu."
-Adam F. Rahadian-
***
Dua minggu berlalu sejak kejadian di mana Adam mendapati Zirena menangis diam-diam di kantor. Melihat gadis itu berangsur-angsur kembali normal, ada sedikit kelegaan di kedalaman hati Adam. Apalagi kinerjanya selama bekerja semakin terlihat cakap.
Tapi, ada sesuatu yang berubah. Bukan pada diri Zirena, melainkan pada dirinya. Entah kenapa akhir-akhir ini dia lebih sering memerhatikan gerak-gerik karyawannya itu. Menarik saja rasanya.
Misal, sewaktu Adam berdiri di tepi rooftop sambil mengisap vapor usai makan siang tempo hari. Matanya tanpa sengaja menyaksikan Zirena di bawah sana tengah memberi makan seekor anak kucing. Dia bahkan samar-samar mendengarnya curhat dengan hewan lucu berbulu putih oranye itu.
"Makan yang banyak, ya, kucing manis. Biar kuat menghadapi dunia." Begitu kira-kira yang ditangkap telinga Adam. Hubungan makan sama menghadapi dunia apa coba?
Lebih dari itu, apa yang dilihatnya detik ini jauh lebih menarik. Zirena berinteraksi dengan Mami dan adiknya layaknya orang telah mengenal lama. Tidak tampak canggung maupun segan sama sekali.
Andai saja keluarganya bisa menerima Anggun seterbuka itu.
Reva berdiri di samping kiri Zirena, menyendok sesuatu dari panci di atas kompor. Anak manja itu meniupnya lebih dulu sebelum dimasukkan ke mulut.
"Wah. Masakan Kak Zi enak. Mirip masakan mami. Coba deh, Mi." Reva mengoper sendok ke Mami. Selesai mencicipi, ekspresi perempuan berjilbab itu seolah membenarkan ucapan putrinya.
Sebentuk senyum terulas di bibir Adam. Dia juga berpikiran sama dengan Reva. Bedanya, dia tidak seterang-terangan itu mengutarakan pendapat.
"Tapi masih enakan masakan mami, kok." Wanita dengan sifat 'lain di bibir lain di hati'-nya.
Zirena mengulas senyum seraya menuangkan masakannya ke mangkuk. "Tante benar. Masakan seorang ibu memang tidak tersaingi. Soalnya selalu ada cinta dalam proses masaknya."
Terang saja pujian itu membuat senyum mami mengembang lebar. Selain santun, anak ini rupanya pandai menyenangkan hati orang tua... mami membatin.
Tiga menu makanan tersaji apik seperti biasa di atas meja makan. Aromanya menggoda, menarik langkah Adam mendekat.
"Kalau makanmu tiap hari begini, mami gak perlu khawatirin kamu kurang gizi lagi, Dam," ujar Mami sumringah begitu Adam menarik kursi dan mengempas diri ke atasnya.
Adam mendengkus, lagi-lagi maminya hiperbola.
Mami lalu ikut duduk di samping putra sulungnya., disusul oleh Reva yang telah menyendok nasi ke atas piringnya.
"Zi izin ke bawa kalau gitu, Tante. Mari."
"Makan di sini saja," suruh Adam mendahului Reva dan Mami.
Kaki Zirena berhenti pada langkah pertama. Dia berbalik menghadap asal suara. "Em, saya bawa bekal dari rumah kok, Pak. Saya turun dulu. Selamat makan." Dia mengangguk pamit pada semua orang di ruangan itu.
Melalui ekor matanya, Adam memerhatikan punggung gadis itu yang kian mengecil hingga berbelok pada turunan tangga.
"Mami suka deh sama karyawan baru kamu."
Celetukan Mami yang tanpa tedeng aling-aling sontak saja membikin Reva tersedak kunyahan makanannya. Insting sebagai anak mengatakan ada makna ganda dibalik kalimat itu. Soalnya jarang sekali Mami langsung menyukai orang baru. Sama Mbak Anggun saja tidak sebegitu.
***
Selepas makan siang, Adam meminta Mami meluangkan waktu sejenak untuk membicarakan suatu hal.
Reva yang mendengar itu cukup tahu diri untuk tidak ikut nimbrung kali ini. Dia lebih memilih menghampiri Zirena di tempatnya ketimbang bengong depan TV, dan berpotensi curi dengar pembicaraan.
Sepeninggalnya, dua orang itu langsung berada pada mode serius. Duduk berseberangan di ruang tamu bernuansa abu-abu.
Hening menguasai beberapa waktu.
"Adam akan melamar Anggun, Ma," ujar Adam sesaat kemudian. Nada suaranya begitu yakin. Dia menatap langsung ke dalam manik mata perempuan yang telah menghadirkannya ke dunia.
Mami menarik napas dalam. Seperti dugaannya, apa yang ingin dibicarakan Adam pastilah tak jauh dari wanita satu itu.
Ini kedua kalinya Adam memperlihatkan kesungguhan menginginkan sesuatu. Yang pertama adalah saat anak lelakinya memutuskan hidup mandiri dan merintis usaha fotografi.
"Sudah kamu pikirkan matang-matang?" Anggukan tegas dari Adam membuat mami memejam mata, pasrah.
Berkali-kali dia menunjukkan rasa tidak suka pada Anggun, berkali-kali pula menasihati Adam agar hatinya berubah. Bukan tanpa alasan dia melakukannya.
Firasat seorang ibu terlalu kuat untuk diabaikan. Baginya, Anggun tetaplah tidak pantas untuk mendampingi Adam, meski katanya telah berubah semenjak insiden kerpegok itu.
Mami takut, kalau-kalau Adam salah menjatuhkan pilihan dan pada akhirnya akan menanggung rasa sakit yang besar. Dia bukan suaminya, yang mampu menyerahkan keputusan penuh berada pada tangan Adam.
Dari tempatnya duduk, Adam mengamati tiap detil perubahan raut wajah mami. Sebentuk kecewa terukir jelas di sana. Namun, dia tidak akan mundur. Dia akan berusaha menunjukkan ke Mami kalau Anggun memang telah berubah.
"Hati Adam yakin, Ma. Anggun adalah sosok yang tepat. Adam sungguh mencintainya."
Mami berdiri, mengambil posisi duduk di sebelah putranya. Dia menyerongkan tubuh menghadap Adam. Tatapannya melembut.
"Harusnya kamu tidak menuruni kekeras kepalaan Mami, Dam." Lelaki tegap itu mengulas senyum tipis. Mengerti sekali maksud Mami.
"Mami bisa apa selain mencoba merestui jika kamu sudah seyakin ini?"
Adam bergerak memeluk Mami. Perempuan itu membalas pelukan, mengusap lembut punggung anaknya.
"Makasih, Ma. Adam sayang sama Mami.
Batin mami berdoa agar baik keputusan Adam maupun keputusannya tidaklah salah.
***
Alih-alih meminta Maman mengambil kolase foto di percetakan, Adam justru mengajak Zirena untuk pergi ke sana bersamanya. Tentu dengan sebuah agenda terselubung.
"Eh, ini jalan ke metro tanjung, kan? Bukannya kita mau balik ke studio, Pak?" Zirena celingukan memastikan mobil sedang mengarah ke mana.
Tidak ada tanggapan. Lelaki di sampingnya memilih diam, lalu membelokkan rush-nya ke pusat perbelanjaan mewah milik salah satu orang terkaya di Indonesia. Terus melaju hingga memasuki area parkir.
"Saya butuh bantuan kamu." Adam melepas seat belt, kemudian beranjak keluar. Di tempat inilah agenda itu akan dilakukan.
Jika bukan karena Reva menolak menemaninya, pastilah dia tidak akan merepotkan Zirena sekali lagi.
Gadis yang masih mencerna 'bantuan' apa maksud bosnya, mendadak terkejut sebab Adam tahu-tahu membukakan pintu untuknya. Kelopak matanya mengerjap cepat.
"Kenapa bengong? Mau saya bantu lepas sabuk pengamannya juga?"
Seraya menggerakkan kepala menolak, Zirena buru-buru mencabut kaitan seat belt. Dia turun, menutup pintu, lalu mengikuti langkah panjang-panjang Adam.
Lisannya gatal sekali mau bertanya lagi. Tapi melihat bibir Adam terkatup rapat-rapat, dia memilih berjalan dalam diam juga. Sampai akhirnya mereka tiba pada toko perhiasan di lantai dua.
Kilauan benda-benda mahal dalam etalase kaca menyambut indera penglihatan Zirena. Matanya berbinar silau.
"Selamat sore, ada yang bisa kami bantu, Pak?" sales counter berpostur tinggi semampai dengan seragam soft pink menghampiri mereka. Menyapa ramah disertai senyum terkembang.
Adam melangkah masuk. "Saya mau cari cincin yang cocok untuk melamar seseorang.," terang Adam tanpa malu-malu.
Zirena malah asyik sendiri, mengamati perhiasan-perhiasan indah itu dari satu etalase ke etalase lain. Tidak mendengarkan apa yang bosnya bilang. Seketika dia berniat untuk membelikan Ibu satu kalung emas jika sudah gajian nanti.
Jarang sekali dia membelikan sesuatu untuk Ibu. Seringnya hanya memberikan sebagian gajinya langsung, membiarkan Ibu menggunakannya untuk apa saja.
"Mari. Saya tunjukkan koleksi terbaik kami, Pak." Mbak-mbak sales mengarahkan Adam ke etalase panjang di bagian dalam. Beragam style dan ukuran cincin terpajang rapi di sana.
Adam memanggil Zirena mendekat. "Menurutmu pacar saya akan suka yang mana?"
Bola mata Zirena sedikit membola, detik berikutnya malah memutar jengah.
"Yang punya pacar kan Pak Adam, bukan saya. Mana saya taulah, Pak," katanya spontan. Sedetik kemudian baru menyesal dan menyadari sikap tidak sopannya pada si bos.
Adam berdecak, gadis di sampingnya memang benar. Dia tidak kepikiran sampai situ. Akhirnya dia memilih-milih sendiri, mempertimbangkan selera Anggun selama ini.
Melihat bosnya kebingungan, Zirena maju selangkah lebih dekat dari Adam. "Mbak Anggun orangnya seperti apa memang, Pak?"
Alis adam saling bertaut. Baru menjawab begitu Zirena menjelaskan lebih detil maksud pertanyaannya.
Sesaat setelahnya, Zirena melihat-lihat ke barisan cincin emas putih. Matanya menyipit memperhatikan. Kemudian pilihannya jatuh pada sebuah cincin berhiaskan permata yang disusun membentuk matahari. Berpatokan pada karakteristik anggun yang selalu tampak bersinar di antara orang lain dan memiliki impian untuk dapat berpijar dan dikenali banyak orang melalui karyanya.
Mbak sales counter meminta rekannya yang berada di sebelah etalase untuk mengeluarkan cincin tadi.
Adam memasang benda bulat pipih berlubang itu di jari kelingking. Ukurannya sama dengan jari manis Anggun.
"Pak Adam tahu, kata orang, jika ukuran jari manis perempuan pas dengan jari kelingking kekasihnya, maka mereka bisa dipastikan berjodoh," celetuk gadis berambut cepol itu kala mereka berdiri mengantri depan kasir. Adam tersenyum mengaminkan dalam hati. Senyum yang langka.
Zirena melirik jam begitu mereka keluar dari sana. Waktu salat magrib sebentar lagi masuk.
"Pak Adam tau musalanya di mana?"
"Lantai tiga kalau tidak salah."
"Kita salat dulu, Pak. Takut kelewatan kalau nyari masjid di luar."
Mereka berjalan bersisian menuju musala. Dibanding beberapa mall yang musalanya terpencil, fasilitas ibadah di sini lebih mudah ditemukan oleh pengunjung.
Ayunan kaki Zirena berhenti tatkala tidak menemuka Adam di dekatnya, padahal semeter lagi pintu masuk menuju musala kelihatan. Dia menoleh ke belakang, bosnya ternyata masih berdiri di sana sambil memegang ponsel.
Dia berbalik arah, menghampiri lelaki itu.
"Pak Adam tidak salat?" tanyanya to the point. Muadzzin mulai mengumandangakan Adzan.
Selama bekerja dia jarang mendapati bosnnya salat kecuali salat jumat. Beberapa kali juga menyaksikan lelaki itu duduk anteng meski kumandang adzan menggema.
Dia mencoba berprasangka baik. Tapi ...
"Nanti saja di studio."
Hah? Kalau menunggu sampai di studio, keburu waktu magriban lewat.
"Pak? Boleh saya bilang sesuatu?"
Diamnya Adam dianggap Zirena sebagai sebuah persetujuan.
"Kalau salat saja Pak Adam tinggalkan, bagaimana bisa Bapak berharap membangun rumah tangga idaman?"
Adam masih terdiam. Rahangnya tampak mengetat.
"Keberhasilan seorang suami bukan sekadar mampu memenuhi segala kebutuhan keluarga. Melainkan bagaimana menjadi imam yang baik dan menjauhkan keluarganya dari api neraka. Dan, itu dimulai dari diri sendiri."
Entah mengapa, hati Adam cenderung tertohok ketimbang kesal. Padahal gadis yang jauh lebih muda darinya ini terlalu lancang berkata sedemikian rupa.
"Maaf jika saya terkesan menggurui atau membuat Bapak tersinggung. Tapi ... dalam agama kita, menyampaikan kebaikan ke saudara seiman adalah perlu."
Baru ingin membuka mulut, Zirena menyerocos lagi.
"Jadi, Pak Adam masih mau berdiri di sini atau mulai berusaha jadi calon imam yang baik?" Zirena menggerak-gerakkan alisnya ke atas.
Tidak mendapat respon, Zirena mengedikkan bahu, cuek. Toh dia sudah menyampaikan yang seharusnya. Dia memutuskan kembali ke musala, meninggalkan Adam. Sosoknya menghilang begitu berbelok masuk.
Sementara Adam tercenung di tempat. Selain Mami, tidak ada perempuan lain yang berani menegurnya setegas dan tanpa gentar seperti itu. Anggun saja jarang mengingatkannya ketika mereka asyik jalan-jalan di mana pun. (*)