"Mengetahui secara utuh adalah cara lain untuk bisa menghadapi persoalan dari sudut pandang yang berbeda."
-Zirena Nameera Ahmad-
***
"Kenapa kamu liatin saya kayak gitu?" Adam berdiri menjulang di hadapan Zirena yang menatapnya terpana. Hampir sejam gadis itu duduk menunggunya di bagian khusus yang telah disediakan Barbershop ini. Beberapa saat lalu mukanya tertekuk tak sabar, dan begitu mendengak mendapati Adam ekspresinya berubah seketika. "Saya khawatir lalat masuk ke mulut kamu kalau mangap terlalu lama."
Zirena segera mengatupkan mulut. Sebut saja dia berlebihan, tapi melihat perubahan signifikan bosnya tanpa rambut gondrong serta rambut-rambut pendek yang menutupi rahang hingga dagunya ... membuatnya lumayan takjub.
Lelaki itu tampak lebih rapi, bersih, dan ... "Bapak jadi kelihatan jauh lebih muda sekarang," tukas Zirena tanpa ragu-ragu.
Dia bangkit dan menyampirkan tas selempangnya ke bahu. Meski berdiri, dia tetap harus mendongak saat berbicara sebab tingginya hanya sebatas pundak Adam.
"Bukannya sudah saya katakan sejak pertama kali bertemu kalau saya tidak setua itu dipanggil 'Pak/Bapak'?" Adam menunjukkan seringai mengejek yang disambut cebikan oleh Zirena.
Keduanya lantas keluar dari Barbershop yang berada tak jauh dari Makassar Town Square. Lembaran dua ribuan diberikan Adam pada petugas parkir sebelum melajukan motor Zirena ke tujuan selanjutnya.
Rencana awal, dirinya berniat untuk menggunakan jasa ojek online ke bengkel untuk mengambil mobilnya. Namun, mendadak berubah sebab tak sengaja curi dengar percakapan Zirena waktu menerima telepon di musala studio. Ide 'menumpang' motor gadis itu terlintas begitu saja.
"Bapak kenapa tiba-tiba mau pangkas rambut sependek ini?" tanya Zirena diiringi bising deru mesin kendaraan lalu lalang. Kondisi jalan cukup padat walau jam sibuk telah berlalu. Zirena mengenali arah yang dituju Adam, yakni Jl. A.P. Pettarani.
"Saya bukan bapak kamu, Zirena." Adam membalas, agak berteriak agar suaranya yang teredam angin dapat didengar. "Panggil saya Adam."
Tentu tidak mungkin Zirena menyebut nama Adam tanpa embel-embel. Bukan hanya karena lelaki yang jago selap-selipin motor di antara keramaian ini adalah atasannya, tetapi juga karena faktor umur—walau dia tidak tahu pasti berapa beda usia antara dirinya dan Adam.
"Ada agenda penting yang harus saya lakukan dalam waktu dekat ini. Dan, saya tidak bisa tampil urakan karena itu." Adam menjawab saat Zirena tak kunjung bersuara di belakangnya. Dari kaca spion, dia melirik Zirena yang terlihat memikirkan sesuatu.
"Kamu boleh panggil saya 'Mas' seperti yang lainnya." Adam merujuk cara karyawannya yang lain memanggilnya.
"Mas? Mas bakso? Mas pangsit? Atau ... Mas kokek-kokek*?" Zirena menahan tawa ketika menyebut jenis 'Mas' terakhir dengan menutup mulutnya menggunakan telapak tangan.
Jangan salah paham. Zirena tidak sedang menertawai profesi-profesi yang dia sebutkan. Di Makassar—entah di daerah lain—panggilan 'Mas' seringnya digunakan untuk abang-abang penjual dari daerah Jawa.
Padahal kata 'Mas' itu sendiri tidak menunjuk pada profesi, melainkan biasanya dipakai sebagai kata sapaan untuk saudara tua laki-laki atau laki-laki yang dianggap lebih tua, juga sebagai kata sapaan hormat untuk laki-laki tanpa memandang usia (missal: Apa kabar, Mas?), dan juga sebagai panggilan karib istri kepada suami.
Membayangkan Adam versi Mas kokek-kokek inilah yang membuat Zirena tergelitik sampai tertawa sendiri.
"Kamu lagi guyon atau apa? Garing sekali."
Demi apapun, ingin rasanya Zirena mendorong Adam ke lubang buaya saat ini juga!
***
"Dalam beberapa hal, menangis mungkin akan membuatmu lega. Tapi hanya sementara jika akar penyebabnya tidak kamu atasi."
Kalimat yang Adam ucapkan padanya di bengkel terus terngiang bagaikan sebuah lagu yang di-play dalam mode repeat one. Pernyataan darinya benar sekali.
Tapi, bagaimana jika penyebab itu masih belum mampu Zirena hadapi? Harusnya dia langsung bertanya begitu tadi, apa daya kata-katanya malah tertahan di kerongkongan.
Zirena mendesah, melirik spion. Lelaki itu dan rush-nya masih setia mengikuti dari belakang. Katanya sekalian mengantar dan memastikan dirinya aman tiba di tujuan sebagai ucapan terima kasih.
Beberapa meter sebelum pembelokan menuju perumahan tempat tinggalnya, Zirena menyalakan lampu sein kanan dan melambatkan laju si scoopy.
"Sampai sini saja ngantarnya, Pak. Saya duluan. Terima kasih!" teriak Zirena tatkala mobil Adam menyejajarinya dengan kaca yang diturunkan perlahan.
Hanya anggukan yang diberikan Adam sebelum dirinya menginjak gas bersamaan dengan Zirena berbelok arah.
Avanza yang beberapa jam lalu terparkir di depan rumah, kini telah tiada. Tanpa sadar, Zirena mengembuskan napas lega. Dia turun sebentar dari motor untuk membuka pagar besi setinggi d**a yang melingkupi sisi depan bangunan minimalis itu. Lalu, kembali ke motor dan mengendarainya hingga terparkir di tempat biasa.
Belum juga helm terlepas dari kepalanya, pintu depan sudah terbuka. Menampilkan Ibu yang berdiri menunggu.
Ya Tuhan, bantu aku menghadapi Ibu. Kuatkan aku untuk menahan segala emosi agar tidak berakhir menyakitinya.
Zirena meneguhkan hati sekaligus menegarkan diri. Dia melangkah pelan, menghampiri Ibu dan terdiam sejenak di hadapannya. Layaknyna tak terjadi apa-apa, gadis itu mengambil tangan kanan Ibu—tangan yang juga sempat mendarat di pipinya sore tadi—untuk menyalaminya.
Mata Ibu berkaca-kaca sebagaimana miliknya. Menahan gejolak rasa dalam diri masing-masing.
"Makan dulu, ya, Zi. Baru kita bicara." Suara ibu bergetar. Sebelah tangannya yang bebas mengusap lembut puncak kepala putri semata wayangnya. Tetiba saja tenggorokan Zirena tercekat oleh sumpalan tangis tertahan.
Ibu berjalan menuju dapur, sementara Zirena memasuki kamar. Begitu pintu tertutup, tangisnya kembali merebak. Tidak lama, sebab dia bergegas menenangkan diri dan beranjak bersih-bersih di kamar mandi.
"Saya mau traktir kamu makan malam. Mungkin lain kali. Masakan kesukaanmu pasti sudah menunggu kamu di rumah."
Zirena tercenung di tepi meja. Memandangi sajian sop ayam, perkedel jagung, dan ikan bakar parape favoritnya. Bertanya-tanya dalam hati bagaimana Adam bisa menebak setepat ini? Jangan-jangan bosnya itu punya kemampuan cenayang tersembunyi macam anak indigo? Ah tidak mungkin. Gadis itu menepis pikirannya yang tidak-tidak.
Ibu menyodorkan piring cantik bening—hadiah sabun cuci—padanya. Zirena duduk dan mulai menyendokkan nasi serta lauk pauk.
Tidak satupun di antara Ibu dan Zirena membuka suara. Keduanya sibuk menekuri makanan masing-masing.
Bahkan ketika makan malam usai dan mereka duduk di sofa depan televisi, diam masih mendominasi.
"Maafkan Ibu, Zi." Ibu membuka suara, memecah hening. Rasa bersalah tersirat dari tatapan sendunya pada Zirena.
"Ibu tidak salah. Aku yang salah, sudah berkata kasar dan menyalahi didikan Ibu selama ini."
Hening lagi.
"Ibu sudah tau Ayah ada di Makassar?"
Ibu mengangguk.
"Sejak kapan?"
"Bulan lalu, Zi."
"Ibu juga tahu kalau dia di sini bersama keluarga barunya?"
Sepasang mata Ibu sedikit membola. Terkejut putrinya mengetahui hal itu. Seakan paham maksud pandangan ibunya, dia kembali bersuara. "Belum lama ini, Zi lihat Ayah dan keluarganya di MP."
"Jadi, demi wanita itu sampai Ayah pergi ninggalin kita?"
"Zi ... " Ibu beringsut mendekat. Dia mengulurkan tangan, menggenggam jemari anaknya. Sementara cairan bening mulai mengalir dari sudut-sudut indera penglihatan Zirena. "Kamu tahu, hukum sebab-akibat berlaku di dunia ini. Dan, apa yang terjadi pada keluarga kita, pada Ayah dan Ibu, itu semua ada alasannya, Zi."
Zirena menoleh menghadap wajah wanita yang telah menjaga dan merawatnya selama ini. Dia menuntut penjelasan lebih.
Dengan ibu jarinya, Ibu mengusap air mata anak gadis kesayangannya. Mengecup sayang permata hati yang pernah membuatnya merasa utuh sebagai wanita begitu melihatnya terlahir ke dunia.
"Akan Ibu ceritakan sepenggal kisah yang menjadi bagian dari takdirku. Sebagiannya lagi, biar Ayahmu nanti yang menjelaskan. Agar kisah ini utuh, dan kamu bisa menemukan cara memaafkan masa lalu."
***
"Ayahmu tidak pernah mencintai ibu, meski rumah tangga kami sudah berjalan satu dekade. Perjodohan kami dahulu diterimanya semata-mata untuk menghormati kedua orang tuanya dan orang tua ibu yang berkerabat baik. Berbeda dengan ibu yang sejak awal mencintai."
Ucapan Ibu semalam kembali diputar oleh alam bawah sadar Zirena. Membuat gadis itu tidak fokus mengemas kue untuk dijual hari ini.
"Begitu orang tuanya wafat semua, dia mencari cinta lamanya lagi. Secara tidak langsung, ayahmu menunjukkan bahwa selama ini cintanya terhalang restu dan bakti pada mereka."
Tidak hanya suara, bahkan raut getir yang sempat terpeta di wajah Ibu terbayang jelas di kepalanya.
"Dan, perempuan yang telah memiliki hati ayahmu jauh sebelum menikah dengan ibu rupanya tak kunjung mengakhiri masa lajang. Dia setia menunggu ayahmu kembali padanya. Penantian berujung bahagia baginya, namun kehancuran bagi ibu."
Hah, jadi itukah yang dimaksud tiga cinta satu hati? Atau mungkin tidak. Perempuan itu dan Ayah berada dalam satu lingkaran yang sama, sementara ibu berdiri di luarnya.
"Dialah perempuan yang membawa Ayah pergi," geram Zirena.
"Tidak, Zi. Perempuan itu tidak salah. Dia sama seperti Ibu, korban dari perasaan bernama cinta. Ayahmu lah yang memilih pergi ketika dia juga punya pilihan untuk tetap tinggal bersama kita."
Cinta, ya? Ah, cinta memang demikian adanya. Hadir sepaket dengan suka cita dan duka derita. Bisa membuatmu merasakan surga dunia, atau malah sebaliknya.
"Ibu juga marah pada keadaan, pada diri sendiri. Sedari awal ibu tahu hati ayahmu telah dimiliki orang lain. Tapi ibu memilih egois dan melanjutkan pernikahan atas nama cinta. Cinta sepihak. Kemudian ... ibu sadar, apa yang terjadi antara kami adalah buah keegoisan yang kami tanam. Dan, ibu berusaha mengikhlaskan semua walau sulit pada awalnya."
Ikhlas? Bagaimana Ibu bisa? Hati seperti apakah yang ibu miliki? Bahkan Zirena yang kadar terlukanya tidak lebih banyak dari Ibu, malah menyimpan api benci yang kian membara seiring waktu berlalu.
Apapun fakta yang Ibu jelaskan semalam, intinya tetap sama bagi Zirena. Lelaki itu pergi karena memilih wanita lain. Seperti yang dia lakukan. (*)