STEP 14 - Cerewet

868 Words
"Kadang kita terlalu fokus pada masalah sendiri, hingga merasa paling menderita oleh beban-beban hidup itu. Lupa, kalau sejenak saja kita melihat ke bawah, masih banyak yang jauh lebih menderita." -Zirena Nameera Ahmad- *** Mungkin Zirena belumlah sealim dan setaat seorang Indira, namun sebagai wanita biasa dia pun memiliki harapan agar mendapatkan lelaki soleh sebagai suami kelak. Dan, salah satu tolak ukurnya ialah taat tidaknya orang itu dalam menegakkan salat. Kalau dia jadi Anggun, pastilah Adam akan berada pada urutan list paling akhir. Kecuali jika lelaki itu punya itikad untuk berubah menjadi lebih baik. Tapi Zirena bukan Anggun. Berbicara tentang Adam, bosnya satu itu belum juga menampakkan batang hidung sejak pagi tadi. Mobilnya bahkan tidak ada di depan. Apa orang itu menginap di tempat pacarnya? Kan, kemarin dia bilang akan melamar Anggun hari itu juga. Apa proses melamar secara pribadinya berjalan lancar? Ah, pasti iya. Mereka kan jelas saling mencintai dan tampak tak terpisahkan. Astaga! Zirena menggetok pelan kepalanya. Mengusir pemikiran tidak penting tentang bosnya dari otak. Kenapa juga dia harus sibuk mengurusi kehidupan pribadi si hemat bicara? Harusnya dia cukup mendoakan yang terbaik saja sebagai karyawan yang baik. Urusan pribadinya saja belum kelar. Tadi pagi Ibu kembali menanyakan kesediaan dirinya untuk menemui sang ayah. Syukur kali ini Zirena bisa menjawab dengan hati dan kepala dingin. Menolak dengan tenang ajakan Ibu. Jelas dirinya masih belum siap bertatap muka lagi dengan lelaki tua itu. Takut bara api benci kembali bergejolak dalam dadanya. Menampilkan lagi sisi lemah yang tidak dia sukai. "Eh, Pak bos?" Zirena reflek bangkit dari kursi kerjanya begitu sosok Adam akhirnya muncul. Lamunannya menguap bagai embun diterpa cahaya mentari. "Are you okay, Dam?" Dika tahu-tahu menyusul muncul, berdiri dua meter di belakang Adam. Rautnya jelas merasa khawatir. Menolak mengacuhkan keduanya, Adam melangkah gontai menuju wilayah teritorialnya di lantai tiga. Baik Dika maupun Zirena saling melempar tatapan bertanya. Ada apa dengan bos? Jika ditilik baik-baik, lelaki itu tampak kacau dari biasa. Matanya merah seperti kurang tidur. Mukanya kusut masai kayak pakaian belum kena setrikaan. Dan, ada aura familiar yang menguar dari diri Adam. Aura yang juga berteman lama dengan Zirena. Aura kebencian. Semestinya Adam berbahagia, kan? Apa lamarannya ditolak? Atau .... Dika berbalik arah, kembali ke studio di lantai bawah. Cukup tahu jika sepupunya itu sedang membutuhkan ruang untuk sendiri. Sementara Zirena tengah menimbang-nimbang, haruskah dia membuat kopi atau tidak usah? Perlukah dia memasak nanti siang atau jangan? Kondisi bosnya lebih tidak bersahabat dibanding biasanya. *** "Bos?" sekali lagi Zirena mengetuk pintu kamar Adam. Bermaksud memberitahukan makan siangnya sudah siap. Meski sempat ragu menginjakkan kaki ke sini, pada akhirnya dia memutuskan untuk mengerjakan tugas seperti biasa. Hening. Sama sekali tak ada sahutan dari dalam. Dengan keyakinan lelaki itu tengah tidur, Zirena memilih memutar badan, berniat kembali ke meja kerjanya. Beberapa data klien harus selesai di-input hari ini juga. Belum lagi konten promosi di media sosial selama seminggu mesti direncanakan dan dibuat. "Ngapain kamu berdiri di depan kamar saya?" suara berat Adam menyentak Zirena yang baru saja membalik tubuh. Kepalanya nyaris terantuk pada d**a bidang lelaki itu jika dia tidak bergegas menahan langkah. Dalam hati Zirena mengoceh, lagi-lagi bosnya berhasil membuat terkejut. Tiba-tiba muncul kayak Om Jin-nya si Jun saat dipanggil. Mundur selangkah, Zirena mendengak demi mendapati manik coklat legam milik Adam. Sorot mata itu masih sama seperti yang dilihatnya tadi pagi, menyiratkan lelah dan ... sesuatu yang belum bisa dirinya tebak. "Makan siangnya sudah saya siapin, Pak. Kopi Bapak juga seperti biasa saya letakkan di ruang kerja," lapor Zirena, seperti pemimpin upacara sedang melapor kepada Pembina upacara. Hanya kurang gerakan hormat. "Saya sedang tidak selera. Kamu makan saja." Adam berjalan melewati Zirena yang berdiri di hadapannya. Setelah apa yang terjadi kemarin malam, nafsu makannya tak kunjung kembali. "Loh, gak bisa gitu dong, Pak." Sebut saja Zirena tidak sayang gaji, berani menahan bosnya seperti ini. Tidak sopan sekali. "Sudah susah payah saya masaknya buat Bapak. Masa gak dimakan? Lagian saya bawa bekal kok, Pak." Tatapan kesal Adam turun menelusuri lengannya yang dipegangi Zirena, lalu kembali ke wajah gadis itu. Reflek Zirena menarik lepas tangannya. "Kasih saja ke yang lain." "Yang lain lagi ke luar makan ke warung lorong sebelah, Pak." Lagi-lagi lisan Zirena lebih cepat bekerja ketimbang otaknya. Harusnya dia mengiyakan saja agar kembali dengan tenang ke tempatnya. Studio yang sedang sepi menjadi kesempatan bagi rekan kerjanya yang lain untuk makan siang bersama. Karena membawa bekal buatan Ibu, Zirena menolak halus ajakan itu. Apalagi, dia memiliki tugas lain untuk dikerjakan. "Bapak gak takut mubazir kalo makanannya dibiarin?" Gadis itu mengibaskan rambutnya ke belakang, mulai kesal juga karena merasa usahanya tak dihargai. "Di luar sana banyak orang-orang yang mau makan aja susah, pengen di posisi Pak Adam. Gak kasian? ... Atau kasiannya sama kesehatan Bapak aja. Sakit itu lebih mahal ketimbang sehat loh, Pak." Bagus! Terus aja mengoceh tidak jelas, Zi. Dapat SP baru mampus! Dewi batin Zirena mulai kalang kabut. "Ck." Adam berdecak kentara. Dia berkacak pinggang. Detik berikutnya, dia mengusap wajah secara kasar.  Adam memandangi Zirena, lekat dan tajam. Gadis itu malah balas mendelik tanpa gentar. Helaan napas yang terdengar berat lolos begitu saja dari mulutnya. "Cerewet."  Alih-alih kembali mendumel, Zirena justru tersenyum senang. Sebab lelaki itu berubah haluan dari depan kamar menuju meja makan walau tampak ogah-ogahan. (*)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD