Garut 2002
“Kurang ajar, kamu!” Dewanto menghampiri Dirga melayangkan pukulan bertubi-tubi. Dia meringkuk pasrah di lantai. Menangisi semuanya sendiri, dari bibirnya, tidak henti lelaki itu memanggil-manggil nama gadisnya berulang kali hingga tidak sadarkan diri.
Langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu motif adalah hal pertama yang Dirga lihat ketika terbangun. Nania terisak di samping tempat tidur besi seraya memegangi lengan anak lelakinya. Wajahnya begitu sendu, untuk pertama kali dalam hidupnya Dirga merasa ingin memeluk sang Ibu. Dalam pikirannya kedua orang tua Dirga tidak pernah sayang.
Bagaimana tidak, sejak duduk di Sekolah Dasar, Dirga diserahkan kepada nenek dan kakeknya di kota Garut. Dirga yang kala itu masih bocah merasa jika dia dibuang dan tidak diinginkan.
“Oh, Nak, akhirnya kamu bangun, maafkan papamu, maafkan kami.”
Dirga bangkit dari pembaringannya, punggungnya sakit lengan dan kakinya juga. Dia menatap wajah sendu di hadapannya kemudian memeluk wanita itu penuh penyesalan. Dirga menyesali perbuatannya. Dia sudah semenderita ini gara-gara itu, bagaimana dengan Alvira?
“Dirga yang harus minta maaf, Ma, Pa, maafin Dirga sudah mencoreng kalian. Maaf Dirga gak sengaja,” ucapnya penuh penyesalan.
“Kalau memaafkan semudah itu, penjara gak akan pernah ada isinya, Ga. Seenaknya saja bilang gak sengaja,” sindir Dewanto. Nania menenangkan suaminya.
Kedua orang tua Nania tidak kalah menyesal karena merasa gagal menjaga cucu yang diamanahkan.
“Papa harap kamu bertanggung jawab atas perbuatanmu. Jangan bikin malu keluarga ini lebih jauh lagi. Siapkan dirimu kita akan datangi keluarga pacarmu,” tandas Dewanto tanpa ragu.
“Tapi, Pa, Alvira masih sekolah,” protes Dirga.
Cangkir kopi yang terhidang di atas meja melayang dan menghantam lantai. Menyisakan pecahan kaca yang berserak. Dirga melirik sekilas Dewanto yang sedang murka. Dia kalut sehingga tidak mampu berpikir dengan logis.
“Kamu seharusnya bertanya seperti itu pada diri sendiri sebelum melakukan perbuatan sialan itu, dasar anak ....”
“Stop, Pa.” Nania segera menghampiri sang suami yang sudah mengacungkan kembali tangannya bersiap memukul Dirga. “Gak akan ada jalan keluar jika masih menggunakan amarah dan emosi, anak kita sudah salah, mari buktikan jika keluarga adalah keluarga yang bertanggung jawab, dan kamu Dirga terima semua konsekuensinya.”
Dirga bergeming. Namun, hatinya bergemuruh, cita-cita yang sedang dia perjuangkan rupanya akan menjadi sebuah angan-angan belaka. Kecerobohannya mengakibatkan dia harus membawa sebuah sekop dan mulai mengubur mimpi-mimpi itu perlahan. Membangun mimpi baru bersama Alvira dan bayi dalam kandungannya.
***
Di ruangan berukuran empat kali delapan meter meghentak musik dengan volume maksimal. Bring Me To Live, dari Evanescence sengaja di putar sekencang mungkin untuk menutupi suara muntahan dari kamar mandi yang ada di kamar itu. Alvira terduduk lesu. Entah bagaimana caranya memberitahu kedua orang tua tentang keadaannya.
Alvira takut sekaligus tersiksa karena setiap pagi harus merasakan mual yang tidak berkesudahan. Dia ulas perut ratanya dengan minyak kayuputih, barulah sedikit lega. Perempuan itu mematut diri, entah berapa lama lagi dia bisa mengenakan seragam sekolah yang kini dikenakannya.
Bersamaan dengan dimatikannya musik terdengar ketukan dari luar kamar.
“Mami,” ucapnya ketika pintu terbuka.
“Ngapain sih denger musik kenceng begitu, mami ketuk-ketuk dari tadi,” protes wanita berdarah Jerman pada anak gadisnya.
“Seneng aja, Mi.” Alvira berdusta, dia lantas menyambar tas selempangnya, lalu menggamit lengan Michelle.
Keduanya menuruni tangga dengan hati-hati menuju ruang makan untuk sarapan bersama. Ketika sarapan bersama, Alvira sering berpikir untuk segera memberitahukan keadaannya, tetapi dia tak kuasa untuk menghancurkan senyum kebahagiaan Mami dan Papinya.
Ketika sendiri, pikirannya lain lagi. Ingin rasanya menghancurkan makhluk kecil yang kini merusak hidupnya. Alvira tidak tahu, bagaimana jadinya hidup setelah ini.
“Kamu dengerin musik tiap pagi sampe kedengeran ke ruang makan, apa kupingmu baik-baik saja?” tanya Sakti ketika putri semata wayangnya mendekat dan mendaratkan ciuman di pipi Sakti.
“Sekalian olahraga, Pi. Joget-joget,” kilahnya. “Pami sama mami pulang malam lagi hari ini?”
“Hari ini mami di rumah, tapi nanti sore ada arisan di Bandung, di rumah tante Lestari, Alvira mau ikut?”
Alvira menggeleng tangannya masih asik memilih selai yang akan dia oleskan pada roti. Tidak ada selai strawberi, padahal dia ingin sekali makan itu saat ini. Gerakan tangannya yang terhenti membuat Sakti menghentikan makan.
“Kenapa, Vir?”
“Gak ada selai strawberi,” rengeknya, entah mengapa rasanya sedih sekali. Alvira ingin sekali menangis. Padahal gadis itu biasanya tidak suka dengan selai strawberi.
“Biasanya kamu tidak suka dengan strawberi, kenapa tiba-tiba?” Michelle ikut-ikutan bertanya.
“Lagi pengen aja, Mi.”
Alvira duduk seraya memerhatikan botol-botol selai di meja. Roti gandum di piring rasanya seperti sedang mengejek. Michelle merogoh selai nanas dan mengoleskannya di atas roti milik Alvira.
“Ini rasanya hampir sama, kalau tidak makan sekarang kamu bisa terlambat.” Wanita itu kemudian menyodorkan segelas s**u UHT di hadapan sang anak.
Mau tidak mau Alvira tetap melahap sarapannya. Dia mengunyah sedikit demi sedikit dengan konsentrasi penuh agar apa yang dia makan tidak keluar kembali seperti biasanya.
Bel rumah memecah keheningan dan menginterupsi sarapan mereka. Meski ada asisten rumah tangga yang sigap membukakan pintu tetap saja tuan rumah yang merasa terganggu lantaran sudah pasti tamu ini adalah salah satu orang yang mencari Sakti. Lelaki itu hampir saja mengumpat karena kesal.
“Tuan, tamunya teman non Vira,” ujar asisten rumah tangga yang bertugas membuka pintu.
“Laki-laki atau perempuan?” selidik Sakti. Alvira menatap sang Papi dengan perasaan takut, firasatnya mengatakan Dirga yang datang menemui dia saat ini.
“Laki-laki, tapi sama orang tuanya.”
Sakti semakin bingung, Michelle yang hendak beranjak dari tempat duduknya dicegah oleh suaminya. Sakti sendiri yang berdiri, dia memperbaiki dasi dan melangkah mantap menemui tamu yang dikatakan oleh asisten rumah tangga.
Alvira penasaran dia mengikuti dari belakang. Benar saja, Dirga beserta kedua orang tuanya sudah duduk di ruang tamu. Lelaki yang Alvira cintai itu menunduk dalam-dalam. Dia tidak berani menatap Sakti dan tidak punya kekuatan untuk sekadar memberikan senyuman pada gadis yang dia cintai.
“Selamat pagi pak Sakti, mohon maaf kedatangan kami ke mari mengganggu aktivitas Anda,” ujar Dewanto.
“Ada perlu apa?” tanya Sakti dengan tegas. Mendengar suaranya saja, Dirga semakin kalut dan takut.
Alvira tak kuasa menahan tangis, feelingnya mengatakan kehamilan dia akan terbongkar pagi ini. Telaga di matanya menggenang.
“Katakan!” bisik Dewanto. Akan tetapi semua orang di ruangan itu mampu mendengar bisikan itu.
“Sa ... saya ingin menikahi Alvira, Om.”
Sejenak keheningan terjadi, hanya suara mesin pemotong rumput yang terdengar dari pekarangan samping. Alvira tiba-tiba terisak lalu meraih kaki Sakti, menangis sesegukan di sana.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Suara sakti meninggi. Terang saja, tiba-tiba seorang pemuda datang dan meminta menikahi anak gadisnya.
Alvira semakin terisak, kini Dirga berusaha meraihnya, Namun buru-buru Sakti menepisnya. Lelaki berjas abu-abu itu segera membantu anaknya untuk bangkit. Ditatapnya lekat-lekat putrinya sayu dan tampak lebih tirus, wajahnya juga pucat.
Dia melirik sekilas ke arah Michelle. Lalu beralih pada tamunya yang berwajah tak kalah cemas.
“Ada apa sebenarnya?” suaranya semakin dingin. Dewanto memejamkan mata lalu mengungkapkan semuanya.
“Putraku akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.” Dewanto mengatakan itu di akhir ceritanya. Dia menyadari, dalam kasus ini pihaknya yang bersalah. Putranya telah m*****i gadis yang masih begitu polos.
Sakti hanya diam. Tidak mengiyakan tidak pula berkata tidak. Namun, justru keadaan seperti ini yang Alvira takuti. Michelle kini menangis memeluk Alvira. Pun dengan Dirga. Dia sudah pasrah apa yang terjadi ke depannya harus dia jalani sebagai bentuk dari tanggungjawab atas perbuatan yang dia lakukan.
“Sudah berapa bulan?” tanya Michelle.
Dirga dan Alvira saling tatap. Sakti lalu beranjak meninggalkan ruang tamu rumahnya tanpa pamit. Hal itu jelas membuat Dewanto merasa terhina dan tidak dihargai. Tanpa Alvira dan Dirga sadari perbuatan keduanya memicu sebuah konflik dari dua keluarga yang semula tidak saling kenal itu.
***
Tidak ada janur kuning sebagai mana sebuah resepsi dilangsungkan. Tidak ada wedding cake bertingkat selayaknya pernikahan seorang anak pengusaha besar macam Sakti. Tidak ada undangan, tidak ada kemeriahan sebagaimana pesta berlangsung. Sepi senyap.
Hanya ada Alvira dan keluarganya, Dirga dan keluarganya juga penghulu. Saksi hanya dari pihak keluarga yang bisa mereka percaya. Pernikahan yang seharusnya jadi gerbang awal sebuah kebahagiaan tak ubahnya seperti pesta kematian karena hanya isak tangis yang terdengar sebagai pengganti kidung-kidung pengiring pernikahan.
Tidak ada pengantin yang berbahagia, sejak Dirga datang bersama kedua orang tuanya, Sakti seolah tidak mengenal anaknya. Dia acuhkan Alvira. Dia acuhkan Michelle lelaki itu mengubur diri dalam tumpukan pekerjaan dan melupakan keluarga.
Sampai pada satu malam dia memutuskan menikahkan Alvira dan Dirga. Maka di sinilah mereka berada, di sebuah Villa keluarga Alvira di daerah Kamojang kabupaten Garut. Lokasi itu dipilih agar tidak ada yang mengetahui tentang pernikahan itu.
Sakti bersikeras mempertahankan harga diri serta kehormatan perusahaan. Jika pernikahan putrinya terlebih karena kasus MBA nya terbongkar maka reputasinya akan rusak.
“Saya terima nikah dan kawinnya Dealvira Firdausy Sakti dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Detik itu juga, Dirga telah sah menjadi suami Alvira. Akad nikah itu berlangsung tak ubahnya sebuah rapat perusahaan. Setelah selesai mereka bubar.
Keduanya saling menggenggam. Mentransfer sejuta kekuatan untuk menapaki kehidupan baru setelahnya. Meski Dirga harus kembali ke kota Bandung untuk melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda beberapa minggu karena mengurusi masalahnya.
Alvira sedikit lega, meski kedua orang tuanya seolah membuangnya setidaknya perempuan itu kini memiliki Dirga. Lelaki yang mengaku mencintainya sepenuh hati yang telah berjanji akan selalu ada di dekatnya apa pun yang terjadi.