Gayatri menyiapkan hidangan istimewa di atas meja. Sejak memutuskan menikah dengan Dirga, wanita kelahiran Yogyakarta tiga puluh lima tahun silam itu dia berjanji akan mengabdikan diri untuk sang suami.
Tidak sedikit pun dia menyesal dengan keputusannya. Dia memilih berdiri di samping Dirga, menjadi penasihat pribadi, penasihat keuangan, dan menjadi pelipur lara.
Kehadirannya sejak awal menjadi penawar luka untuk Dirga. Saat pertama kali menemukan Dirga menangis di tepian sungai yang salah satu ikon di Kota Melbourne, Australia yaitu Sungai Yarra atau Yarra River. Sungai yang terbentang di sebelah selatan Victoria, dan mengalir sepanjang 240 km.
Gayatri yang sedang menikmati sore dengan menyaksikan burung-burung laut dan angsa hitam yang tengah berenang di sungai tersebut nyatanya lebih tergugah melihat lelaki yang tergugu menahan pilu. Tanpa ragu Gayatri mendekat lalu duduk di samping Dirga. Hanya duduk menyaksikan isak tangis.
Gayatri tumbuh di lingkungan keluarga yang menerapkan didikan keras. Pantang bagi anak laki-laki di keluarganya untuk menangis dan terlihat lemah kecuali jika ada hal yang teramat menyedihkan seperti kematian. Untuk itu, ketika melihat Dirga selemah itu hatinya sedikit tergugah.
Sebuah tepukan mengagetkan Gayatri. Si Mbok membangunkan Gayatri dari lamunannya. Wanita itu tersenyum ketika Si Mbok terlihat takut karena mengagetkan majikannya.
“Den, sudah jam segini makanannya sudah dingin, bolehkah saya bantu memanaskan kembali. Aden duduk saja.”
Benar, jam makan siang sudah lewat. Tidak biasanya Dirga melewatkan makan siang di rumah. Tidak ada pilihan lain Gayatri mau tak mau mengiyakan tawaran Si Mbok. Lalu duduk tenang di meja makan.
“Mbok, nanti ambilkan satu porsi seperti biasa untuk saya, ya. Sisanya simpan saja, sepertinya Mas Dirga sibuk dan tidak bisa pulang makan siang.”
“Baik, Den. Ada lagi?” tanya Si Mbok.
“Sudah itu saja, nanti simpan di sini.” Gayatri yang kini sudah berdiri menunjuk meja. Lalu dia berjalan menuju kamar untuk mengambil gawai yang dia simpan di depan meja rias.
Tidak ada panggilan dari Dirga. Tidak ada konfirmasi bahwa lelaki terkasihnya tidak akan pulang untuk makan siang di rumah seperti biasanya. Seraya membawa bunga mawar seperti biasanya. Gayatri melirik mawar yang dia dapatkan kemarin. Bukti cinta dari Dirga. Lelaki yang menikahinya dua tahun silam.
Gayatri kembali ke ruang makan, di atas meja sudah tersaji satu porsi makanan sesuai permintaannya. Di atas meja perempuan itu menikmati kunyahan demi kunyahan dengan perasaan sedikit hampa dan kosong. Sejak pertama dia menikah hingga kemarin, Dirga selalu menyempatkan diri untuk pulang makan siang bersama. Kecuali jika ada pekerjaan keluar kota atau luar negeri.
Gawainya pun membisu tidak ada panggilan atau sekadar pesan. Ah ... sungguh Gayatri tidak enak hati.
Di tengah kesendiriannya mempertanyakan ketidakhadiran Dirga Gayatri dikejutkan oleh suara bel rumah.
“Mbok, tolong bukain pintunya.”
Si Mbok membungkuk patuh lalu berjalan tergesa membukakan pintu. Tidak berselang lama kembali lagi membawa buket mawar yang langsung dia serahkan pada Gayatri.
“Ada kurir antar ini, Den,” ucap Si Mbok, dengan hati-hati wanita yang sudah membantu mengurus Dirga sejak berusia lima tahun itu meletakkan bunga di meja.
Gayatri tercenung ketika membaca kartu ucapan yang menyertai buket bunga tersebut. Dia tidak sesenang biasanya, karena meski dalam kartu tertulis nama Dirga, dia tahu mawar kali ini berasal dari tangan yang berbeda.
“Terima kasih, Mbok, tolong simpan di dapur aja dekat lemari es, atau kalau Mbok mau simpan di kamar Mbok buat pewangi terserah adal bawa jauh-jauh dari hadapan saya.”
“Loh ini kan dari Den Dirga,” protes si Mbok.
Sejenak hening. Gayatri berusaha secepat kilat meredam perasaannya. Lalu dia tersenyum seraya mengatakan, “Itu dari Dennisa, Mas Dirga gak akan memberi mawar dengan buket yang norak seperti ini, si Mbok kayak yang gak tau dia aja.”
“Walaaah, Mbok enggak ngerti, Den. Mbok kira bunga yang diberi hiasan begini lebih bagus.” Wanita separuh usia itu menilik-nilik buket itu dengan seksama.
“Selera orang kan berbeda, Mbok. Mas Dirga lebih suka membeli mawar yang segar dengan buket yang sederhana. Coba Mbok perhatikan, mawar ini sudah kurang segar buketnya terlalu mewah.”
“Ya sudah, Mbok bawa ke kamar aja, ya, Den?”
“Monggo,” jawab Gayatri dengan senyumannya yang cantik.
Sepeninggal si Mbok Gayatri menghabiskan makan siangnya yang sempat tertunda dalam diam. Pikirannya jauh melayang entah kemana.
***
“Kamu pernah berjanji, Ga. Itulah kenapa sampai setua ini aku masih sendiri, puluhan Pria yang disodorkan papi aku tolak karena aku percaya kita akan bertemu lagi. Aku tutup kuping dari pertanyaan keluarga besar kapan aku menikah dan aku ....”
Dirga merasakan kembali pelukan perempuan mungil di depannya. Wanginya selalu sama, candu yang dulu telah hilang kini kembali lagi. Dirga sempat terhanyut mendekap Alvira. Hingga akhirnya dia melepaskan pelukan itu karena mengingat Gayatri.
“Kamu dan keluargamu yang memberiku surat cerai itu, Vir, sungguh aku dijebak. Aku menandatangani dokumen dan ternyata itu surat cerai. Aku kira itu surat izin seperti surat izin operasi sebelum kamu melahirkan bayi kita.” Mengucapkan kata ‘Bayi kita’ membuat d**a Dirga berdesir. Jika ada bayi itu kini sudah ,menjadi seorang remaja.
Dada Alvira bergemuruh, kedua pelupuk matanya memanas, kembali meneteskan air mata.
“Lupakan masa lalu, Ga,” ucap Alvira. “Kini kita bertemu akankah bisa seperti dulu?”
“Tapi ada orang lain yang kini menempati sudut hatiku, Vir. Dia istriku dan aku mencintainya.”
Jemari Alvira yang sedang menggenggam garpu bergetar hebat. Dicengkramnya dengan erat benda logam itu sebagai tempat mencurahkan amarah dan kekesalan.
Dirga menyadari itu lalu dia mendekat, akan tetapi Alvira buru-buru menjauh. Dia hapus air matanya, lalu tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
“Duh, Ga, sory aku baper. Udah gak apa-apa, setidaknya kita bisa berteman kan?”
“Vir, kita lebih dari sekadar teman sekarang. Kamu sudah aku anggap keluarga, terlebih saat ini kita partner kerja, bukan begitu?
Alvira mengangguk. Pintar sekali dia menyembunyikan perasaannya. Tersenyum lalu melanjutkan makan dengan berbagai suara yang silih berganti menghantui pikirannya.
***
“Bunganya sudah di kirim ke rumah, Den?” tanya Dirga pada sekretarisnya yang sedang sibuk mengetik sesuatu di laptop. Dennisa yang fokus hampir terlonjak kaget karena tidak menyadari kedatangan Dirga.
“Oh, Sudah, Pak. Dua puluh delapan tangkai mawar.”
“Bagus,” puji Dirga. Dia tidak tahu bunga kiriman Dennisa kini teronggok di sudut kamar si Mbok. Dia juga tidak tahu Gayatri kini sedang cemas menunggu. Ponsel Dirga kehabisan daya sehingga lelaki itu tidak dapat menghubungi sang istri.
“Oh iya, Pak. Tadi ada telepon dari ibu, katanya jika Bapak sudah sampai kantor segera telepon balik.”
“Iya, Den. Ponsel saya mati. Tadi ibu bertanya saya ke mana?” selidik Dirga.
“Iya, saya bilang makan siang dengan perwakilan PT Dewa Jati Sanjaya.”
“jadwal saya selanjutnya apa, Den?” tanya Dirga.
“Sudah saya cancel untuk hari ini, Pak.” Dirga mendesah lega dia lantas mengurungkan niat untuk masuk ke dalam ruangannya. Sebaliknya langkahnya mengarah kembali ke arah lift. Dia akan pulang, rasa bersalah karena merasa telah mengkhianati Gayatri membuat lelaki itu meninggalkan pekerjaan dan pulang untuk menemui belahan jiwanya di rumah.
Sesampainya di rumah, Dirga sedikit ragu untuk membuka pintu. Berulang kali dia menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Rasanya seperti melakukan dosa besar karena tidak menepati janji makan siang dan malah menghabiskan waktu dengan mantan istrinya.
Tidak, Dirga menepis pikirannya. Dia tidak mengkhianati Gayatri, pertemuan itu semata untuk kepentingan bisnis. Lagi pula, menjamu partner kerjasama makan siang bukanlah merupakan suatu kesalahan.
Berbagai macam pembelaan terus terlontar dari sudut hatinya. Lelaki itu kemudian memejamkan mata dan menghela napas kembali, kali ini cukup panjang sebelum dia membuka pintu berdaun ganda yang diukir sedemikian rupa.
“Mas,” sapa Gayatri dari depan rumah.
Dirga terhenyak, lalu berbalik dan mendapati Gayatri berdiri di hadapannya.
“Dari mana, sayang?” tanya Dirga. Gayatri mendekat lalu tersenyum dan mencium tangan Dirga dengan takzim. Kedua mata perempuan itu tampak murung, meski ditutupi senyum trermanis, Dirga tahu Gayatri sedang bersedih.
“Habis beli ini,” ucapnya seraya mengacungkan sebuah kantong kresek berisi belanjaan.
“Kenapa gak nyuruh, Mbok, atau minta antar Pak Yan pakai mobil?” tegur Dirga. Dia mendekat lalu mengusap bulir keringat yang membasahi pelipis Gayatri.
“Minimarketnya dekat, jalan sebentar sampai. Kalau apa-apa pakai mobil aku kurang gerak nantinya, Mas.” Gayatri lalu menggenggam jemari Dirga dan menariknya ke dalam rumah.
Dengan telaten wanita itu mendudukkan Dirga di kursi dan mengurusnya seperti biasa. Menyiapkan sebaskom air hangat yang dicampur sejumput garam lalu merendam kaki sang suami dan memijatnya sejenak.
Dirga merebahkan punggungnya pada sandaran kursi lalu menikamati pijatan demi pijatan yang dia rasakan.
Teringat beberapa tahun silam, Dirga merasa tidak nyaman ketika perempuan asing berambut panjang hitam dan legam menyaksikannya menangis di pinggir sungai. Sejak saat itu hidup Dirga sudah tidak sama lagi. Kesedihan yang dia rasakan perlahan-lahan menguap tergantikan senyum manis Gayatri.
“Mas,” sapa Gayatri.
“Hmm,” jawabnya tanpa membuka mata.
“Jika Mas tidak sempat makan siang ke rumah tidak apa-apa, kok. Tinggal bilang aja.” Gayatri mengeringkan telapak kaki Dirga dengan handuk. Lalu mengoleskan minyak terapi di telapak kakinya. Menyingkirkan baskom berisi air hangat sebelum akhirnya di bawa masuk ke belakang oleh si Mbok.
“Tidak apa-apa, Sayang. Maaf lupa ngasih kabar.” Dirga merogoh kantong celananya lalu menyerahkan gawai pada Gayatri. “Tolong isi daya.”
Gayatri tersenyum lalu menerima gawai sang suami seraya mendaratkan ciuman di pipi lelakinya.
Sebelum melangkah jauh meninggalkan Dirga yang masih memejamkan mata, Gayatri kembali mendekat dan memaksa dirga untuk bangun.
“Lihat dulu sini,” rengek Gayatri.
Dirga menatap Gayatri lekat-lekat. Ada rasa bersalah di hatinya. Dia mendadak kikuk bertatapan langsung dengan Gayatri. Seperti seorang anak yang ketahuan mekan permen oleh ayahnya, Dirga sedikit menciut.
“Jika tidak sempat membeli mawar maka jangan suruh orang lain menggantikan tugasmu, aku tidak apa-apa melewatkan satu hari tanpa mawar darimu. Karena rasanya tidak nyaman kala menerima mawar yang berasal dari tangan berbeda.”