Bab 5. Ajakan Bisnis

1157 Words
Akhirnya Tiara dan Petro kembali ke Jakarta, setelah beberapa tahun ini di Bandung dan tak pernah kembali. Tami menjemput keduanya di Bandara, Tami senang akhirnya sahabatnya itu kembali dan ia tidak sendiri lagi. Banyak sekali yang ingin Tami ceritakan kepada Tiara dan Petro, banyak hal yang ingin ia ungkapkan dari dalam hatinya. Tami memeluk Tiara dan melihat anak Tiara yang berusia 5 tahun, Tami tersenyum dan menggelengkan kepala, Tami sangat merindukan Tiara. “Kamu akhirnya kembali,” kata Tami. “Haha. Kamu merindukanku?” “Sangat,” jawab Tari. “Pasti banyak yang ingin kamu ceritakan kepadaku kan?” Tami mengangguk dengan senyuman diwajahnya. Tiara merangkul lengan Tami dan mereka meninggalkan Bandara, sementara Petro mengurus kopor. “Eh iya. Halo Elea,” ucap Tami. “Halo, Tante,” jawab Elea—anak Tiara dan Petro. Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka tiba di rumah sederhana Tiara dan Petro, rumah modern dengan dua kamar di dalamnya. Tidak ada kolam renang, tidak ada taman belakang. “Apa kabar, Tami?” tanya Petro. “Aku baik,” jawab Tami. “Seperti yang kalian lihat.” “Bagaimana pernikahanmu?” tanya Tiara. “Masih sudi kamu menanyakan pernikahanku setelah kamu tidak hadir di pernikahan sahabatmu?” geleng Tami. “Haha. Tentu saja aku tidak sudi menanyakannya, hanya saja sedikit penasara,” kekeh Tiara. “Kamu hamil lagi?” tanya Tami menyentuh perut buncit Tiara. “Hooh. Udah mau empat bulan.” “What? Topcer banget sih suamimu,” kekeh Tami. Tiara dan Petro tertawa kecil, Tiara tersenyum simpul dan mengelus perutnya yang buncit, ternyata Elea sudah mau ada adiknya. “Ada yang mau aku ceritakan ke kalian,” kata Tami. “Apa itu?” “Kalian masih ingat Leonel, ‘kan?” tanya Tami menatap keduanya secara bergantian. “Tentu saja aku ingat, memangnya kenapa?” “Dia temanmu kan, Petro?” “Iya. Dia mampir ke Bandung setelah pulang ke Jerman. Dan, kata dia mau bertemu dengan kamu dan menikahi kamu,” jawab Petro. “Bukan itu masalahnya,” geleng Tami. “Terus masalahnya ada di mana?” “Leonel dan Evano saudara,” kata Tami. “Apa? Saudara?” “Iya. Mereka saudara, aku terkejut ketika sedang sarapan, Leonel datang dan bergabung dengan kami, sejak saat itu hidupku tidak pernah datang,” seru Tami bercerita tentang ini. “Pantas saja Leon mengatakan ia pulang karena saudaranya menikah.” “Nah kan, hidupku benar-benar tidak tenang.” “Tidak tenang bagaimana? Leon mengganggumu?” “Yes. Dia menggangguku, aku sudah menikah dan Evano adalah suamiku, tidak etis kalau aku dan Leon terlalu dekat,” kata Tami membuat keduanya menganggukkan kepala. “Kalian paham kan bagaimana perasaanku? Dia menggangguku, dia memelukku, dia mencium pipiku, apa aku harus menjelaskan lebih detail?” “Tapi … dia tidak melakukan sesuatu lebih dari itu, ‘kan?” “Tidak. Aku tidak mau, aku hanya takut jika keluarga Massimo tahu bahwa aku dan anak tertua mereka pernah menghabiskan dua malam bersama di London, dan bertemu lagi setelah 8 tahun.” “Wahh. Sepertinya kamu sudah menahan ini lama untuk cerita kepada kami.” Tiara melanjutkan. “Kamu sudah melupakan Leon?” tanya Petro. “Kenapa kamu menanyakan itu, Bang?” geleng Tiara. “Aku hanya memastikannya saja.” Petro menjawab. “Aku memang tidak pernah melupakan dua malam yang ku habiskan bersama Leon, tapi tidak benar kalau aku harus terpaku kepada hal itu saja. Aku punya suami, dan mulai sekarang aku akan lebih effort pada suamiku.” Tami menjawabnya lagi. “Kamu tinggal di rumah keluarga Massimo?” tanya Tiara. “Iya. Aku tinggal di sana, itupun Nyonya Paula yang menginginkannya.” “Nyonya Paula?” “Iya. Ibu mertuaku,” jawab Tami. “Keluarga mereka blasteran kan, Bang?” tanya Tiara menoleh ke suaminya. “Iya.” “Berarti kamu sudah tahu kalau Leon anak tertua keluarga Massimo?” “Dia sendiri yang menyuruhku tidak memberitahu siapa pun,” jawab Petro. “Tapi tidak padaku,” sergah Tiara. “Kita tidak usah membahas ini,” geleng Petro. “Aku yakin kamu bisa melewatinya. Anggap saja Leon tidak ada.” Tiara melanjutkan. “Bagaimana aku bisa melakukan itu kalau dia terus menerus mendekatiku dan tidak segan-segan melakukan seenaknya,” kata Tami menekan puncak kepalanya. “Leon memang sudah gila, kenapa dia selalu melakukan seenaknya ke kamu? Apa dia tidak kasihan kepada saudaranya?” geleng Tiara. “Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi Leon.” “Aku yakin kamu bisa kok, jangan terlalu terpaku pada masalah Leon saja, kalau dia mendekatimu tinggal tabok saja atau tampar dia.” “Semudah itu? Satu rumah loh ini.” “Kenapa juga suamimu mau tinggal di satu rumah dengan keluarganya? Kalian kan sudah menikah, seharusnya kalian mandiri.” Tiara menggeleng. “Aku tidak suka sama pria yang tidak bisa memutuskan hidupnya sendiri dan selalu bergantung kepada orangtua.” “Jangan menyindirku, Sayang,” geleng Petro. “Pada akhirnya aku memilih kembali kemari.” *** Setelah bertemu dengan Tiara dan Petro, Tami kembali ke kediaman Massimo, rumah besar dan gedongan, terlihat menjulang tinggi, luas dan ada perkebunan di taman belakang yang jauh. Semua bodyguard yang berdiri didepan rumah membungkukkan badannya, karena keluarga ini memiliki bisnis di perbankan, jadi harus dijaga ketat sebelum musuh muncul dari arah mana saja. “Sayang, kamu darimana?” tanya Evano datang menghampiri Tami dan memeluknya. “Aku mencarimu kemana-mana.” “Aku ke rumah temanku,” jawab Tami. “Temanmu? Teman yang mana?” “Teman yang baru tiba dari Bandung.” Leonel yang mendengarnya baru tahu kalau Tiara dan Petro hari ini tiba di Jakarta. Leonel juga sudah tahu kalau keduanya akan kembali ke Jakarta, hanya tidak tahu kalau mereka akan tiba hari ini. “Baiklah. Kamu bersih-bersih dulu, aku tunggu kamu kita makan malam sama-sama,” kata Evano memegang kedua bahu istrinya. Tami mengangguk. Evano adalah pria yang baik, namun mengapa sulit sekali menerima hatinya. Tami melangkahkan kaki menuju lift dan melintasi Leonel seolah tidak mengenal pria itu. Tami harus bisa menghindari Leonel, ia tidak boleh memberikan waktu untuk Leonel mendekatinya. “Istrimu darimana? Kenapa jam begini keliaran?” tanya Leonel meraih satu buku dan membacanya. “Dia baru bertemu dengan temannya yang baru datang dari Bandung,” jawab Evano. “Terus kamu belum makan karena menunggunya?” geleng Leonel. “Iya.” Leonel mengangguk. “Oh iya, aku baru tahu kalau kamu bermain saham.” Evano meraih satu buku dan membacanya. “Kamu tahu darimana?” “Dari salah satu temanku yang juga ikut main saham.” “Ya. Aku memang bermain saham dan untungnya besar.” “Atas nama pribadimu?” “Tentu saja. Dan, crypto. Kamu mau mencobanya?” “Buat apa? Aku sudah punya banyak uang.” “Iya sih, memang benar, kamu sudah punya banyak uang, jadi tidak perduli harus bagaimana. Aku hanya mempersiapkan diri siapatahu saja aku memang butuh uang.” “Kalau butuh uang kan kamu punya uang.” “Tapi bermain saham itu seru.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD