Bab 4. Awal Yang Baru

1108 Words
“Apa? Kami harus tinggal di sini?” Evano terkejut dan memandang ayah dan ibunya bergantian. “Iya. Rumah ini cukup besar, dan untuk apa kalian tinggal di luar sana? Di rumah ini pun kalian bisa mendapatkan segalanya.” Rumah keluarga Massimo memang cukup besar, terlihat seperti sebuah hotel bintang lima. “Mommy dan Daddy tidak akan membiarkan kalian pergi, di sini pun tidak akan ada yang mencampuri kalian. Bahkan mau melakukan apa pun tidak akan ada yang tahu,” sambung Paula. Evano menoleh menatap istrinya, sepertinya keputusan istrinya akan menjadi keputusannya juga. “Saya ke kamar kecil dulu,” kata Tami lalu melangkah pergi meninggalkan keluarga Massimo. Tami melihat wajahnya didepan cermin wastafel, Tami membasuh wajahnya, itu tidak akan mengurangi kecantikannya. Tami tidak masalah jika harus tinggal di sini, dipenuhi kemewahan memang keinginannya, tapi apa harus satu rumah dengan Leonel? Tidak mungkin. Hubungan mereka 8 tahun yang lalu akan selalu membayanginya. Setelah menenangkan diri, Tami lalu keluar dari kamar mandi, ia membulatkan mata ketika Leonel kembali membawanya masuk ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Tami melihat kunci pintu yang sudah Leonel genggam. “Berikan kuncinya. Kamu ini kenapa?” “Siapa yang menyuruhmu menikah dengan Evano?” tanya Leonel dengan satu tangan bersandar di tembok mendekap Tami. “Memangnya kenapa kalau aku menikah dengan Evano?” “Bukankah sudah aku katakan untuk menungguku di Jakarta?” “Lalu? Menurutmu aku harus menunggu tanpa kabar darimu? Itu hubungan 8 tahun yang lalu, tidak akan pernah ada di masa kini, jadi jangan menggangguku, pura-pura saja tidak mengenalku.” “Aku pria jahat, sudah aku katakan kepadamu, bukan? Jangan macam-macam kepadaku, aku bisa membuatmu menyesal menikah dengan Evano.” Leonel mengancamnya. Apakah hidupnya akan tentram setelah tahu Leonel adalah kakak iparnya? Hubungan 8 tahun yang lalu itu sangat berarti bagi Tami, tapi tidak harus dibawa ke masa kini, semua sudah berakhir, Tami sudah menjadi istri sah Evano, dan Leonel adalah kakak iparnya, itu tak akan pernah berubah. “Kamu membuatku kecewa,” kata Leonel. “Kecewa? Aku yang harusnya kecewa, selama 8 tahun aku menunggumu, tapi kau tidak pernah datang, apa aku harus menunggumu seperti orang bodoh? Jangan berpikir untuk mengganggu pernikahanku dengan Evano.” Tami merebut kunci itu dari tangan Leonel. Leonel lalu memaksa memagut bibir Tami. Tami membulatkan mata, berusaha melepaskan pagutan Leonel, Leonel benar-benar b******k, pelukan Leonel juga begitu erat, tidak mampu bagi Tami untuk melepaskan diri. “Sayang, kamu di dalam?” Suara Evano menghentikan pagutan Leonel. Plak. Tami menampar wajah Leonel, membuat Leonel tersenyum jahat. Tami berurusan dengan orang yang salah. “Sayang,” panggil Evano. “Iya.” “Mommy memanggilmu.” “Iya, Sayang. Sebentar ya,” jawab Tami. “Baiklah. Aku akan menunggumu di ruang tengah,” kata Evano. “Iya, Sayang,” jawab Tami lagi. Sudah tidak ada suara di depan sana, Tami menghela napas lega karena akhirnya suaminya sudah pergi, jadi ada kesempatan untuk Tami keluar dari kamar mandi ini. Ketika ia hendak memasukkan kunci ke pintu. Leonel memeluknya dari belakang, Tami berusaha melepaskannya namun pelukan itu semakin erat. “Jangan ganggu aku, Leon,” kata Tami. “Aku tidak pernah melupakanmu, Tami. Kamu harus memahamiku,” kata Leonel. “Ingat, aku adik iparmu,” sambung Tami. “Apa? Adik ipar? Tidak akan aku biarkan kamu menjadi adik iparku. Kamu harus menjadi milikku,” kata Leonel. “Aku berharap kamu tidak melakukan ini lagi,” tutur Tami mendongak menatap Leonel. “Kali ini kamu aku maafkan.” “Apa salahku?” tanya Leonel memandang Tami. “What? Kamu tanya apa salahmu? Salahmu adalah melakukan ini.” “Kamu yang salah, karena kamu yang sudah mengkhianatiku.” “Hubungan kita tidak pernah dimulai,” sambung Tami. “Jadi, kamu harus sadar.” “Jadi, bagimu hubungan kita dan apa yang kita lakukan tidak pernah berarti?” tanya Leonel. “Jangan ganggu aku,” kata Tami lalu keluar dari kamar kecil. Leonel memukul tembok, membuat tulang jarinya berdarah. Leonel tidak akan pernah terima, ia akan merebut Tami apa pun yang terjadi, toh hubungannya dengan Evano tidak pernah damai sejak dulu, karena mereka berperang dalam bisnis mereka. Leonel memukul leher belakangnya, tiba-tiba saja darah tingginya naik, ia menatap wajah sangarnya didepan cermin, tidak akan Leonel biarkan Tami menjadi milik Evano, mungkin sekarang mereka sudah suami istri, tapi tak akan berlangsung lama. Tami duduk manis didepan keluarga Massimo, Evano memegang paha istrinya yang terlihat jelas didepannya, seksi sekali. “Kamu tidak akan menunda kehamilan, ‘kan?” tanya Paula, kali ini pertanyaannya kembali terulang. “Mom, bukankah sudah Mommy tanyakan tadi dan Tami sudah menjawabnya,” kata Evano. “Mommy ingin mendengar tanggapan Tami.” Tak lama kemudian, Leonel datang dan duduk ditempat semula. “Iya. Saya tidak akan menunda kehamilan,” jawab Tami. “Oke. Nanti periksakan diri ke dokter.” “Sebelum kami menikah, Mommy sudah mengatur pertemuan dengan dokter, dan Tami sudah menemui dokter tersebut, dokter juga mengatakan bahwa Tami subur.” “Mommy tidak mau kamu menikahi orang yang salah.” “Salah? Kenapa Tami salah?” “Tami tidak salah, hanya saja kamu harus cepat punya anak.” “Mereka saja menikah baru kemarin, kenapa langsung membahas tentang anak?” geleng Leonel. “Kamu membela adikmu?” “Ya. Untuk sekarang aku membelanya, Mom. Karena pernikahan baru terjadi kemarin, seharusnya tunggu saja,” jawab Leonel. Tami terdiam, ia dituntut untuk punya anak, bahkan ibu mertuanya menganggapnya salah dalam hal ini? Tami hanya bisa menahan diri, ia bukan mesin pencetak anak, jadi tidak akan pernah ia berikan anak kepada keluarga ini jika belum waktunya. Tami akan bersantai menunggu sampai terjadi. Tidak perlu berusaha. “Kalian pergi lah ke kamar kalian,” kata Edward. Tami dan Evano bangkit dari duduk mereka, keduanya menuju kamar mereka yang sudah disediakan. Tami semakin kesal saja, permintaan ibu mertuanya selalu cucu dan cucu, kekesalannya bertambah ketika melihat Leonel kembali. “Kamu kapan menikah?” tanya Edward pada putra pertamanya. “Kamu mau kalah dari Evano? Jika Evano punya anak dia akan mendapatkan 60%.” Leonel berdiam diri, ia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. “Daddy menyuruhmu ke London mengurus bisnis di sana agar kamu bisa berhasil.” “Dan akhirnya aku berhasil, ‘kan?” “Benar. Kamu berhasil, tapi jika Evano sudah menikah dan akhirnya punya anak, kamu hanya akan mendapatkan 40%.” “Kenapa Daddy membuat kompetisi seperti ini?” “Karena Daddy ingin melihat siapa yang pantas dari kalian berdua.” Leonel kalah selangkah dari Evano, Leonel harus merebut Tami, apa pun yang terjadi itu harus. Dan ia tidak akan membiarkan Evano sebagai anak kedua mendapatkan lebih besar dari apa yang mereka perebutkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD