bab 15

1873 Words
Berlawanan arah 15 Adit mengerang panjang ketika dia merasakan punggung yang terasa begitu sakit, mungkin efek saat dirinya jatuh kemarin masih begitu terasa. s****n dengan semua kejadian yang sudah dia lalui kemarin, segala praduga dan segala hal yang baru dia dapatkan benar-benar membuat dirinya merasa gila. Sekarang, dia sendiri bahkan bingung harus bersikap seperti apa ketika bertemu dengan wanita itu. Dan sialnya lagi, baru saja dia memikirkan segala hal yang terjadi, pintu kamar terbuka, memperlihatkan seorang perempuan yang hanya mengenakan piyama pendek sebatas paha masuk kedalam. Tangannya membawa nampan berisi satu mangkuk dan juga gelas bening berisi air mineral di sana. "Masih sakit?" Tanya wanita yang tak lain adalah mbak Daisy yang pagi itu terlihat begitu cerah dengan senyum mengambang dengan sempurna. Seolah kejadian kemarin tidak pernah terjadi, walau di kepala Adit masih begitu tergambar jelas serangkaian kejadian yang membuat dirinya tak bisa percaya dengan apa yang dia lihat. Wanita yang ternyata memiliki sebuah pengalaman serta masa lalu yang begitu kelam, bahkan untuk keluar dari lingkaran itu, terasa sangat sulit untuk dia lakukan. "Sedikit." Balas Adit dengan senyum yang dipaksakan. Dia menunduk, lalu melihat beberapa luka yang mulai membengkak di sana. Sepertinya benturan yang terjadi kemarin benar-benar keras hingga membuat luka-lukanya membengkak. "Ya udah sarapan dulu, abis itu minum obat, terus di kompres lagi lukanya." Ucap mbak Daisy yang meletakkan nampan itu ke atas lemari kecil di sebelah ranjang. "Kamu udah ngabarin orang tua kamu kalo kamu ada di sini?" Tanya Mbak Daisy yang kini memilih duduk di sebelah Adit. Pria yang kini hanya menggeleng pelan, karena memang dia belum memberi kabar prihal kecelakaannya, mungkin dia akan menahan diri dan membuat alasan lain setelah ini, bagaimanapun dia harus menyembunyikan prihal kecelakaannya dulu sebelum pulang ke rumah. "Belum?" Adit mengangguk lagi, dia memilih menundukkan wajahnya saat mbak Daisy dengan lancangnya malah memamerkan sedikit belahan yang dia miliki di sana. "Coba di kabarin dulu biar mereka nggak cemas." Kata wanita itu lagi. "Nanti aja, mbak. Aku cuma takut mereka kaget dan malah jadi masalah nantinya." "Tapi diem juga nggak berseri bisa menyelesaikan masalah, kan?" "Cuma aku nggak mau jadi beban aja setelah aku bilang mereka bakal sibuk buat ngurus ini itu." Kata Adit sembari mengehela napasnya. "Bukannya mereka masih orang tua kamu ya? Udah wajar dong kalo mereka bakal cemas dan ngerawat kamu." Adit mengangguk kecil, memang benar orangtuanya tentu tidak akan marah, tapi dia tidak bisa melihat raut kecewa dari emak yang mungkin saja akan membuat dirinya tak tega hati dan akhirnya melepaskan Pino seperti yang emak inginkan sejak dulu. Jujur saja, dia tanpa Pino adalah hal yang mustahil, karena Pino sudah menjadi satu kesatuan dengan dirinya. "Nggak papa, nanti aku bakal nelpon temen buat jemput aku, dan sementara aku bakal tinggal di sana dulu si kak." "Loh kok gitu?" Ucap mbak Daisy dengan raut terkejut. "Kalo nggak mau pulang di sini aja dulu nggak papa kok." Adit menggeleng pelan, mungkin menolak kebaikan orang bisa dikatakan sebagai pamali, tapi menjadi beban untuk orang lain juga tidak baik, bahkan sangat tidak dianjurkan oleh orang tuanya. "Enggak deh, mbak. Aku udah terlalu banyak ngerepotin mbak, kemaren aja aku udah di rawat dan di panggilin dokter sama mbak." Balas Upal, dia benar-benar tidak ingin terlalu lama di tempat ini, selain privasi yang seharusnya tidak dia ketahui, dia juga tidak ingin keberadaan dirinya malah menjadi sebuah masalah baru dan menyulitkan posisi mbak Daisy. Apalagi setelah mendengar cerita dari wanita itu semalam, Adit sama sekali merasa jika dirinya malah sudah banyak merepotkan wanita itu. "Loh, ya nggak papa lah. Kita kan tetangga, lagian kamu udah sering bantu mbak kan selama ini, jadi udah sewajarnya dong mbak bantu kamu." Dia menjeda ucapannya, di wajahnya terpahat senyum manis yang membuat Upal langsung mengalihkan pandangannya. "Kamu sarapan dulu, dan nggak usah mikirin bakal tinggal di mana. Kalo kamu belum mau pulang lebih baik kami di sini akad dulu." "Tap...." "Nggak usah tapi tapi, udah di sini aja dulu." Sangkal mbak Daisy yang membuat Upal tak bisa berkata-kata lagi. "Kamu sarapan aja dulu, terus minum obat. Masalah yang semalam nggak usah terlalu kamu pikirin. Pria semalam itu cuma datang dua kali selama sebulan, dan semalam adalah kedatangan kedua dia di bulan ini." Dia menjeda kalimatnya, mengambil napas dalam-dalam sebelum menghembuskan dengan perlahan. "Jadi kamu nggak usah khawatir, setelah ini nggak akan ada yang dateng lagi. Dan juga, mbak bakal kerja seharian. Jadi kamu tenang aja di sini." Balas mbak Daisy yang memilih beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Adit. "Kamu tenang aja oke. Kalo butuh apa-apa bilang aja sama mbak, nanti mbak usahain bakal bantu." Ucap mbak Daisy. Dan entah kenapa kali ini Adit tak bisa membalas ucapan dari wanita itu, bahkan ketika dirinya ingin menolak, ucapan itu seolah kembali tertelan lagi. "Ya udah kalo gitu, mbak musti siap-siap, sebentar lagi bakal berangkat kerja. Kamu istirahat aja, ok." Ucap mbak Daisy lagi sebelum wanita itu berjalan keluar dan meninggalkan dirinya yang masih termenung karena tak tahu harus berbuat apa. Pergi sendiri pun tidak mungkin, meminta jemput teman-teman jelas mereka masih sekolah. Ah... Ingat tentang sekolah, dia hampir lupa dengan surat dan izin tidak masuk sekolah hari ini. Segera saja dia mengambil ponsel yang sudah remuk di sana. Lalu dengan terburu-buru dia mencari nomor Anjar dan segera menelponnya. Walau dengan rasa ngilu dan sakit yang dia rasakan, dia berusaha menahannya karena keadaan sekarang benar-benar genting. "Halo!" Adit bernapas lega ketika Anjar menjawab panggilannya. "Halo. Lo di mana sekarang?" Tanya Adit tiba-tiba yang membuat Anjar sedikit bingung di sebrang sana. "Di sekolah lah, kenapa emang?" "Bisa buatin gue surat izin?" "Anjir, Lo bolos?!" "Bangkek, mana ada. Gue lagi kena musibah, makanya gue minta tolong sama Lo, hari ini." "Musibah apaan? Nabrak kucing Lo?" "Udah deh nggak usah banyak tanya, bantu gue aja. Gue baru nyium aspal kemaren." "Serius?!" "Iye!" "Nggak mati kan Lo!" "Eh bangcat! Mana ada anjir, Kalo mati mana mungkin gue nelpon Lo sekarang!" "Lah Iya juga, terus Lo di mana sekarang?" Tanya Anjar, lalu tak lama setelahnya terdengar suara ribut dari sebrang sana, sepertinya Anjar ada di dalam kelas saat ini. "Adit?" "Iya kecelakaan katanya dia." "Serius? Di mana dia sekarang?" "Gue juga masih tanya njir, belom di balas sama ini anak!" Adit meringis kecil, sepertinya itu adalah suara El yang sibuk menanyakan keberadaan dirinya. Dan lagi sebenarnya dia juga ingin menyembunyikan kabar kecelakaannya dari El yang bisa berpotensi membocorkan kejadian ini pada orang tuanya. "Woy! Malah bengong. Lo di mana sekarang elah!" "Gue ada di...." Dia lupa jika dirinya tidak tahu ada di mana sekarang seingatnya sore kemarin di tengah hujan dia pergi entah kemana dan berakhir jatuh yang membuat dia tak mengalami luka seperti sekarang ini. "Nggak tau, gue malah nggak tau ada di mana." "Nah oleng, Lo nggak lagi lupa ingatan?" Tanya Anjar seenaknya. "Enak aja nggak lah?" "Ya terus Lo di mana elah." Menggaruk kepala yang tak gatal, Adit sendiri bingung harus menjawab apa. "Ada lah pokoknya, nanti gue Sherlock aja." "Terus Lo nggak papa kan?" "Lecet doang sama bengkak, tapi kayak Pino yang ancur parah sih, hp gue aja ancur parah." "Ya udahlah nggak papa, nggak mati aja udah untung lu." "s****n!" Pekik Adit kesal, Anjar memang suka seperti itu ketika dengan dirinya selaku ngomong apa adanya tanpa ada hal yang di tutupi sedikitpun. "Njar, Lo masih sama yang lain nggak?" Tanya Adit dengan suara pelan. "Kenapa emang?" "Minggir dulu sebentar, gue mau ngomong." Kata Adit lagi, dia tak ingin jika apa yang dia ucapkan kali ini akan di dengar oleh kedua sahabat yang lain, apalagi El. Karena urusan kali ini dia ingin hanya Anjar saja yang mengetahuinya. "Kenapa?" Kata Anjar pelan. "Udah jauh?" "Udeh elah." Menghela napas pelan Adit berusaha untuk menenangkan dirinya. "Boleh minta tolong, bilang sama El kalo kejadian ini jangan bilang dulu sama emak, gue nggak mau kalo emak malah khawatir pas tau gue kecelakaan kayak gini, terus kalo bisa manti Lo kesini sendirian, bisa?" "Aelah, kenapa emang?" "Udah jangan banyak tanya, bisa nggak?" "Iya iya gue usahain nanti, urusan El sama Rangga biar gue yang atur nanti." "Nah gitu dong. Thanks kalo gitu. Gue juga mau ada cerita sama Lo." "Ya udah kalo gitu, nanti pulang sekolah gue ke sana, Lo Sherlock aja lokasinya." "Sip." "Ya udah gue tutup." "Surat gue jangan lupa!" "Udah di buatin sama El." "Oke, bilang makasih dari gue." "Iye ah, bawel!" Sentak ajar yang langsung menutup panggilan telponnya tiba-tiba. Setidaknya Adit bisa sedikit bernapas lega ketika mendengar kabar dari sahabatnya itu. Urusan absen bisa dibatasi, tinggal bagaimana dia mengurus Pino dan menyembunyikan bekas luka sebelum dirinya pulang nanti. Jika tidak dia yakin emak pasti akan penasaran dan banyak tanya sebab luka uang dia dapatkan di tangannya itu. Lama termenung dia tak sadar jika pintu kamarnya terbuka. Lalu di balik celah pintu, menyembul kepala Mbak Daisy yang terlihat sudah tambah cantik dari sebelumnya, tentu saja karena riasan yang dia pakai di sana. "Mbak berangkat kerja dulu ya, dit." "Eh, iya mbak." Balas Adit yang masih terkejut sebab kemunculan mbak Daisy dari sana. Wanita itu hanya tersenyum kecil ketika melihat Adit yang sedikit gugup karena kehadirannya. "Nanti kalo ada apa-apa tanya mbak aja." Adit mengangguk lalu melihat pintu itu tertutup lagi. Setelah ya dia bernapas lega karena kepergian mbak Daisy mungkin bisa sedikit membuat dirinya merasa tenang untuk sejenak. "Oh iya, itu kunci cadangan ada di meja sebelah tv, kalo kamu mau keluar pake kunci itu aja, mbak udah bawa satu." Kata mbak Daisy tiba-tiba keluar menyembulkan kepalanya lagi dari celah pintu. "Eh, iya mbak." "Ya udah mbak tinggal dulu, ya." Adit mengangguk lalu setelahnya wanita itu benar-benar pergi dari sana. Lagi, Adit bernapas lega, setelahnya dia merebahkan tubuhnya dan berusaha untuk memejamkan matanya, hanya saja ketika dia mengingat makanan yang di bawa mbak Daisy tadi, dia mengurungkan niatnya dan memilih untuk berdiri lalu menyantap sarapan yang sudah disediakan oleh mbak Daisy. Menyia-nyiakan makanan adalah hal yang mubazir, terlebih orang yang sudah membelikan makanan itu tentu sudah mengeluarkan sedikit waktu untuk dirinya. Lalu jika dia malah menyia-nyiakan apa yang ada, bukankah itu keterlaluan. Sejenak Adit menatap semangkok bubur dengan suiran ayam dan kadang kedelai goreng serta potongan loncang dan seledri di atasnya, membuat selera makannya perlahan meningkat,a lagi ketika perutnya benar-benar kosong dan keroncongan saat ini. Segera saja dia meraih mangkuk itu dan mulai menyantap bibir di dalamnya dengan lahap. Walau rasanya tetap saja seperti kebanyakan bubur yang dia santap sebelum, tapi untuk mengganjal perut yang kerinci gan tentu ini sudah sangat cukup. Masih bisa makan untuk hari ini adalah sesuatu yang berharga untuk dirinya. Terlebih diluar sana masih begitu banyak orang yang mungkin saja tidak bisa makan seperti dirinya. Dan sekarang, yang bisa dia lakukan hanya bersyukur atas rezeki yang sudah dia dapatkan. Karena dengan bersyukur, seberapapun makanan yang kita dapat akan terasa lebih nikmat untuk di santap. Emak yang selalu mengajari dirinya untuk selalu bersyukur dan tidak membuang makanan ataupun menolak kebaikan orang lain. Karena dengan hal itu setidaknya kita sudah menghargai usaha yang orang lain, berikan untuk bisa berbagi dengan dirinya. Selain membahagiakan diri sendiri, membuat orang lain tersenyum karena tingkah kita juga adalah sebuah kebaikan yang jarang dilakukan oleh banyak orang. Maka Adit sudah menanamkan hal itu sejak dirinya masih duduk di bangku SD.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD