bab 5

1962 Words
Berlawanan arah 5 Dering bel pulang adalah suatu kelegaan bagi kami, gue dan beberapa temen sekolah lainnya yang sudah mulai suntuk dengan segala jenis pelajaran yang kami dapatkan. Muak dengan semua penjelasan yang terdengar bagai dongen penghantar tidur bagi semua murid yang sudah lelah, mengantuk dan lapar. Mereka semua ingin segera pulang dan ingin segera menghirup udara segar luar kelas yang baru saja diguyur air hujan siang itu. "Hooaaahhh!" Gue menoleh kearah Anjar yang baru saja menguap lebar, dengan tangan merentang lalu posisi duduk yang terlalu kebelakang, dia terlihat benar-benar lelah. Gue pun merasakan hal yang sama. Dan sepertinya bukan gue saja. Sudah hal yang lumrah ketika kami anak putih abu sudah merasa muak dan bosan dengan semua pekerja serta tugas yang diberikan dengan tidak ngotaknya. "Laper nggak Lo?" "Laper lah, berapa jam kita di sini." "Balik kantin dulu gimana?" Tanya Anjar lagi. Gue melirik sejenak, kantin, kayaknya ide yang bagus, selain harga yang murah ketika jam pulang sekolah, biasanya jam seperti ini kantung sudah dalam kondisi kosong dan hal itu bisa membuat gue leluasa untuk makan tanpa perlu malu-malu lagi. Memegang gengsi adalah sebuah keharusan di mana gue mempertahankan harga diri gue yang hanya tinggal seiprit lagi, bayangkan saja, gua yang terkenal bisa speak sana sini ke depan cewek tapi cari makanan harga murah di kantin, bisa anjlok harga diri gue. "Boleh, sekalian gue juga udah laper parah." Anjar mengangguk pelan lalu ketika guru fisika keluar dari dalam kelas eetelahemberi salam panjang dan arahan yang membuat gue jenuh, barulah gue dan Anjar langsung menyambar tas kami masing-masing dan segera berlalu pergi. "Woy! Mau pada kemana?!" Bahkan kami sampai lupa pada sahabat gue yang satu itu. Gue menoleh menatap Rangga sejenak. "Kantin, laper!" Jawab Anjar sembari mengangkat tangan kanannya ke udara. "Tungguin elah!" Balas Rangga yang terlihat sedang merapihkan buku ke dalam tasnya. Sembari menunggu gue mencoba mendekati El yang terlihat masih mencatat apa yang ada di papan tulis, padahal jam pulang sudah berdering sejak tadi, tapi El masih saja tak peduli dengan hal itu. "El, mau ke kantin barengan kita ngga?" Dia mendongak sebentar, dan gue, seperti biasa mengangkat kedua sudut bibir gue biar kelihatan manis gitu di hadapan dia, ya seenggaknya bersikap ramah untuk sahabat sendiri nggak ada salahnya, kan. "Nggak deh makasih, gue masih ada piket abis ini." "Yah, kan masih bisa besok lagi." Dia menggeleng pelan, seperti biasa El dan segala ketaatan yang dia miliki, sangat sulit untuk di hilangkan. Walau terkadang dia juga sering memberontak seperti kami tapi, ada saat di mana dia bakal taat sama aturan sekolah, gue sih nggak terlalu banyak ambil pusing masalah ini. "Yakin nggak bisa? Nggak laper emang?" "Ck! Nggak bisa ya nggak bisa." Dia menatap gue tajam. "Emang Lo mau bantuin gue nyapu nanti?" Gue tersenyum lebar kalo ini. "Bantuin lo nyapu mau urusan gampang, sebagai cowok baik hati ramah dan tidak sombong, gue pasti bantuin Lo kok, tenang aja. Ya kalo cowok sebaik gue ngebiarin cewek secantik Lo sengsara sendirian." "Dih, nggak usah mulai deh, sumpah jijik gue denger suara Lo itu." Gue terkekeh pelan, lalu menggerakkan tangan gue ke arah puncak kepalanya. "Jadi serius nggak mau kantin bareng kita?" Tanya gue lagi sembari mengacak rambutnya pelan. "Enggak, makasih." Mengangguk pelan, gue nggak mau terlalu berdebat kali ini, apalagi saat lihat El yang masih sibuk sama catatannya, lebih baik gue menyingkir dulu dan membiarkan dia mengerjakan tugasnya. "Woy! Jadi nggak!" Gue mengangkat wajah, lalu mengangguk pelan ketika Anjar memanggil gue, setelahnya gue berlari ke arah mereka dengan cepat. "Bucin mulu perasaan, kek nggak ada waktu lain aja!" Gue melirik kearah Rangga, entah kenapa sikap dia seolah nggak pernah suka sama gue yang selalu cari kesempatan untuk menggoda El, padahal di sisi lain, bikin El malu tuh kesenangan tersendiri di saat gue lagi gabut kek tadi. "Ya elah, hentaran doang, lagian gue nggak segitunya banget sih sama dia." "Cih, serah Lo deh." Gue mengangguk, lalu beranjak mengikuti langkah Anjar yang sudah lebih dulu di depan, dengan kedua tangan dia masukkan kedalam saku celana, entah kenapa malah membuat dia terlihat lebih sangat dari biasanya. Atau memang Anjar seharusnya terlihat seperti itu. Entahlah, gue nggak mau terlalu ambil pusing, yang jelas dia temen gue. ---- Kantin adalah tempat yang menjadi salah satu tujuan untuk para murid datang dan menghabiskan waktu mereka untuk sekedar mengisi perut dan memuaskan hasrat dalam makan serta mencari sesuatu yang mungkin tidak akan ada di sana. Seperti halnya rokok. Bukan rahasia umum lagi jika barang itu terjual di kantin, terlebih saat anak-anak jalan sekarang terus mendesak para penjual di kantin untuk menyediakan barang itu. Permintaan yang tinggi dan omset yang lumayan, tentu saja membuat mereka para penjual melanggar perjanjian yang sudah ada, dan karena itu juga para penjual dan para murid harus pintar-pintar untuk menyembunyikan semua itu. "Gue ke belakang dulu?" Gue mendongak, kali ini gue dan kedua sahabat udah duduk di halaman kantin, dan masih menikmati nasi goreng yang baru aja gue pesan, sedangkan Anjar hanya memakan satu gorengan kecil dan setelahnya dia beranjak ke belakang. Gue udah tahu sih apa tujuan dia kebelakang, tentu aja ngudud alias ngerokok, sesuatu yang sudah lama menjadi lampiasan bagi Anjar untuk membunuh kesendiriannya. Bahkan untuk gue dan Rangga, hal itu bukan lagi rahasia umum lagi, gue sudah terbiasa dengan semua kebiasaan yang dia lakukan, dari nongkrong malam, jaga tempat parkir dan kerja di pencucian motor, semua sudah dia jalankan, maka nggak heran lagi jika Anjar memiliki beberapa koneksi yang lumayan bisa diandalkan. Walau karena hal itu juga dia harus terjebak ke dalam lingkaran yang menurut gue udah kacau sih. Bukan hanya rokok, bahkan minuman keras saja pernah Anjar tenggak, dan menurut dia. Dia sudah kecanduan dengan semua barang haram itu. Gue yang melihat itu nggak bisa berbuat banyak, terlebih ketika tau gimana Anjar di belakang sana. Hidup seorang diri dan berusaha bertahan dari kerasnya dunia membuat dia terlatih untuk melakukan semua hal ini. Bahkan tubuhnya sudah selayaknya tameng untuk melindungi kami, sosok yang sudah dianggap sebagai keluarganya. "Abis ini langsung balik?" Gue mengangkat wajah gue dari nasi goreng yang ada di hadapan gue, menatap Rangga yang juga menatap kearah gue. "Kenapa emang?" "Nggak papa, mampir kuy? Bosen gue di rumah sendirian." Gue meringis kecil, sebenarnya bukan hanya Anjar saja yang memiliki masalah tersendiri di dalam lingkar persahabatan kami, tapi Rangga juga memiliki salah satu masalah di hidupnya. Jika Anjar berusaha untuk bertahan dari kerasnya dunia. Berbeda dengan Rangga yang berusaha untuk melawan sepinya hidup, karena orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa dengan keberadaan tangga. Walau Rangga terlihat hidup glamor dan memiliki segala hal yang tak dimiliki oleh beberapa murid lainnya, tapi bagaimanapun juga, kekayaan bukanlah sesuatu yang dia inginkan untuk sebuah kebahagiaan. "Pengen sih, gue lagi pengen banget tuh main PS 3 di rumah Lo, tapi gue udah kadung ada janji." Kata gue dengan nggak enak hati, sebenarnya kalau buka karena dia yang tiba-tiba ngechat gue, mungkin gue bisa aja mampir atau menginap di rumah Rangga. "Serius? Janji sama siapa emang?" Dari raut wajahnya gue bisa ngeliat air muka yang sedikit kecewa dengan penolakan gue. "Ada sih, temen lama ngajak ketemuan gitu, katanya sih kangen gue." "Cewek?" Gue mengangguk pelan. Walau ada sedikit kebohongan di dalam kalimat gue, tapi untuk menghindari masalah ini nggak masalah lah. "Tumben." Dia menjeda kalimatnya. "Bukan sama El tapi kan?" Seketika gue terkekeh pelan, mungkin akan banyak dari mereka yang bilang kalau gue ini Deket sama El, tapi pada kenyataannya gue hanya menganggap dia sebagai sahabat dan adik kecil gue, mau bagaimanapun gue nggak akan bisa suka sama sahabat gue sendiri, dan Rangga, dia adalah orang yang mungkin aja menyimpan perasaan ke El. Dari raut mukanya kentara banget sih, apalagi kalo bukan cemburu, jelas, Rangga cemburu ketika gue coba deket sama El. "Bukan lah, lagian dia ada tugas juga, kan?" "Ya kirain aja kan, lagian Lo deket gitu sama El, masa iya nggak ada rasa, bukannya Lo sering gombalin dia?" Gue terkekeh pelan. "Deket bukan berarti suka, gombalin bukan berarti cinta, gue cuma, ya sekedar bunuh waktu dan coba buat ramah aja sih." "Serah Lo aja deh, lagian emang Lo ada janji sama siapa dah? Tumbenan amat?" Gue melirik kecil kearah Rangga. "Dan sejak kapan Lo jadi bawel gini? Perasaan Lo nggak pernah gini sebelumnya? Bukannya yang biasa bawel itu gue ya?" Seketika dia meringis kecil. Dan gue malah terkekeh pelan setelah melihat tingkahnya. "s**l lo! Gue cuma penasaran aja. Apalagi Lo yang nggak pernah ada janji sebelumnya, tiba-tiba ada janji gini, kan aneh aja rasanya." "Ya namanya juga orang yang lagi cari kesibukan." "Bukannya selama ini Lo sibuk?" "Sibuk apaan?" Tanya gue mengerutkan kening karena ucapan sahabat gue ini. "Sibuk ngebombal!" Lalu tawanya pecah seketika, dan gue hanya bisa terkekeh pelan. Menjadi salah satu orang yang bisa dibilang sebagai pemilik mulut berkadar gula tinggi, gue sering di capbsebagai playboy yang mungkin sering Gonta ganti pasangan, tapi pada kenyataannya, gue malah belum sekalipun mencoba berpacaran sama siapapun yang berada di lingkungan gue, setidaknya gue masih menjaga hati untuk satu orang saja. Cinta pertama gue. Getar ponsel di dalam saku celana gue membuat lamunan gue buyar seketika. Gue langsung meraih ponsel itu dan membaca chat sekilas melalui bar notifikasi. "Gue harus cabut sekarang deh." Kata gue tiba-tiba, padahal nasi goreng gue masih ada separuh lagi, tapi karena ini keadaan yang tiba-tiba dan udah gue tunggu sejak tadi, membuat selera makan gue agak berkurang tiba-tiba. "Serius?" Tanya Rangga sembari memperhatikan gue beranjak. Mengangguk pelan, gue langsung menyambar tas bawaan gue dan berlalu dari sana. "Nasi goreng Lo masih utuh woy!" Mengangkat tangan ke udara gue hanya melambai dan berlalu dari sana. Senyum gue merekah sempurna di sepanjang koridor sekolah, da malah buat beberapa murid menatap aneh kearah gue. "Hay kak Adit, mau kemana nih buru-buru amat?" Gue melebarkan senyum ketika melihat Cintya and the geng yang berjalan kearah gue. Salah satu cewek yang bisa dikatakan sebagai primadona di sekolah ini dengan kecantikan yang mungkin aja cantik untuk selera beberapa cowok di sekitar mereka. "Hay, cin. Nggak ada hujan nggak ada panas kenapa Lo masih aja kek pelangi yang membuat hidup gue berwarna sih." "Ih, kak Adit, baru juga ketemu udah ngebombal aja sih." "Gue nggak ngebombal btw. Gue cuma mengutarakan isi hati gue ketika terpesona melihat kecantikan Lo siang ini." "Duh, terbang nih Gue." "Eh!" Gue pura-pura panik seketika, biasalah akting ngegombal, atau merayu cewek itu harus totalitas, jangan nanggung. "Jangan terbang dong, kalo Lo pergi, terus yang bakal jadi pelangi gue siapa?" Dia terkekeh pelan, ada semburat merah di wajahnya, dan gue tebak dia bakal jadi orang pertama di hari ini sebagai orang yang menerima gombalan receh dari gue. "Dih kakak bisa aja!" Gue terkekeh pelan. "Makanya, Lo jangan kemana-mana, cukup berada di sekitar gue aja biar Lo bisa membuat hati ini selalu berwarna." "Uh, kak Adit ini!" Sebenarnya, bukan hanya Cintya aja sih yang terlihat merona karena gombalan gue, tapi kedua sahabatnya juga mulai merona karena ucapan gue. Gue beranjak mendekat, lalu mengangkat tangan gue ke udara dan mengacak lembut rambut hitam milik Cintya. "Ya udah, gue pergi dulu, ya. Inget Lo harus selalu jaga senyum indah Lo tetep merekah, karena di dalam senyum itu adalah kebahagiaan tersendiri buat gue. Melihat Lo tertawa udah buat gue bener-bener bahagia." "Aaa! Meleleh nih gue!" Lagi gue terkekeh, setelahnya gue beranjak pergi dari sana. "Bye Cintya!" "Bye kak Adit. Hati-hati!" Gue beranjak sembari melambaikan tangan gue ke udara, setelahnya gue bisa mendengar suara kikikan pelan dari para cewek di sana. Dan menurut gue hal seperti ini tuh udah biasa banget. Membuat orang bahagia, dan berharap mereka bisa menghargai dirinya sendiri tanpa harus memikirkan bagaimana cara menjadi seperti orang lain adalah kebahagiaan tersendiri bagi gue. Setidaknya gue berusaha menghargai mereka dengan sedikit pujian dan mencoba untuk membuat mereka tersenyum hanya dengan kata-kata gue.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD