bab 6

1658 Words
Berlawanan arah 6 Taman adalah tempat yang menjadi tujuan Adit ketika dia beranjak dari sekolahnya dengan motor matic kesayangannya. Dia mengedarkan pandangannya. Lalu menemukan sosok yang tengah duduk di ayunan yang ada di bagian taman bermain. Segera, setelah mematikan mesin Pino kesayangan, Adit langsung beranjak dari sana. Awalnya di melangkah cepat, tapi langkah itu perlahan melambat ketika melihat wanita yang sudah begitu lama menjadi pusat perhatiannya terlihat begitu murung. Adit agak ragu untuk melangkah. Bukankah selama ini wanita itu selalu saja terlihat baik-baik saja. Duduk di sebuah bangku yang ada di taman dan membaca buku hingga lupa waktu setelahnya dia akan beranjak pulang. Dan sekarang, entah kenapa wajah wanita itu terlihat sangat murung. Awalnya Adit ingin mengurungkan niatnya agar memberi ruang dan waktu agar wanita itu bisa meluruhkan kesedihannya. Hanya saja ketika melihat wanita yang sudah begitu lama dia sukai, entah kenapa rasanya benar-benar sulit untuk di ucapkan dengan kata-kata. Ada rasa marah, dan juga rasa benci ketika dia menekuk wajahnya di sana. Benar-benar seperti bukan dirinya yang terlihat baik-baik saja sebelumnya. Tangannya mengepal kuat, Adit berusaha untuk mendekat, lalu mencoba untuk duduk di ayunan kosong yang ada di sebelah wanita itu, dalam diam dia melihat wanita itu terus saja menunduk. Dia ingin menyapa, tapi mulutnya terlalu kelu untuk hal itu. Jika saja dia bisa begitu lancar untuk mengucapkan, atau melontarkan kalimat manis seperti yang biasa dia berikan pada orang-orang di sekolahnya, mungkin akan lebih baik, tapi pada kenyataannya, kalimat manis itu seolah ilang ditelan bumi dan kepala ya tiba-tiba tak bisa berpikir dengan jernih. Semua Kelu ketika dia melihat sosok yang dia suka begitu murung di tempatnya. "Langit akan tertawa saat melihat bagaimana wanita cantik tertunduk kaku dan lesu karena keadaan, di saat semua orang berusaha mendapat kebahagiaan, kenapa kakak malah milih untuk merengkuh kesedihan itu?" Satu kalimat yang terucap tanpa menoleh sedikitpun, menatap kearah langit yang tiba-tiba mulai menggelap dan mulai meniupkan udara yang cukup kencang hingga mampu menerbangkan helai rambut dari wanita itu. Sekuat hati, Adit memaksa dirinya untuk tidak menoleh, karena bagaimanapun juga dia benar-benar tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika hal itu terjadi. Karena ketika melihat bulir air mata yang mengalir membasahi pipi putih mulus itu, maka dianya serasa hancur saat itu juga. Adit buka pria yang bodoh karena tidak tahu apa yang di sembunyikan oleh wanita itu, dia jelas tahu ada tangis yang terdengar sangat pilu di kediaman sore itu. Semua serasa sirna. Entah apa yang akan Adit lakukan, karena dia tahu, tangis wanita itu adalah tangis yang di berikan untuk seseorang yang sudah lama dia kejar. Seperti halnya dirinya yang terus saja mengejar wanita itu tanpa suara, bedanya, Adit memilih memendam semua perasaannya tanpa perlu repot untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan, cukup mencintai dalam diam dan mengawasi dalam bayangan. Mungkin dari sekian banyak orang yang berharap banyak pada wanita ini, Adit adalah orang yang kesekian ada di barisan paling belakang tanpa perlu repot untuk mengungkap semua perasaanya. Walau jauh dalam lubuk hatinya berteriak meminta untuk segera mengutarakan apa yang dia rasakan. "Menangisi seseorang yang belum tentu memikirkan kakak adalah tindakan yang begitu bodoh dan ceroboh. Harusnya kakak sadar jika dari jauh hari, dia tidak akan pernah memilih kakak." Perlahan namun pasti, Adit melarikan tatapannya, menoleh dan menatap tepat kearah wanita yang kini dengan perlahan mengangkat wajahnya. Wajah kacau yang terlihat begitu berantakan itu mencerminkan jika wanita ini sudah begitu lama menangis. Adit tersenyum tipis, walau sepasang matanya jelas terlihat ada luka yang menganga di sana, tapi sebisa mungkin dia akan tersenyum saat berada di hadapannya. Katakan saja bodoh, karena sudah begitu banyak waktu yang dilalui untuk menyimpan rapat perasaan itu. Dan tak sedikitpun dia bisa mengungkapkan dengan lantang. Karena keberanian itu tertelan oleh rasa takut yang mendera. Kini hanya dalam bayang dia berusaha mencintai sosok yang ada di sampingnya kini. "Dan mungkin, dia akan tertawa melihat kakak yang menangisi dirinya?" Adit menjeda kalimatnya, dadanya begitu kelu untuk melanjutkan kata-kata yang bisa saja melukai wanita ini. "Kakak terlalu berharga untuk di sia-siakan. Asal kakak tahu, di luar sana masih ada begitu banyak orang yang rela menunggu kakak di separuh waktunya, dan banyak yang berharap untuk bisa mendapat perhatian dari kakak, bukan malah terlalu sibuk dengan seseorang yang jelas tidak memiliki hati untuk menyia-nyiakan kakak." Wanita itu mengangkat wajahnya, menatap kearah Adit dengan tatapan yang sulit di ucapkan dengan kata. Lalu mulutnya terlihat sedikit terbuka di sana. "Kamu tahu apa? Kamu hanyalah anak kecil yang nggak mungkin tahu apa yang aku rasain!" Dia mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Lalu dengan tergesa dia meraih tasnya dan berlari dari tempat itu. Adit tak ingin membiarkan wanita itu sendirian. Karena dia takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan ketika seorang dengan hati yang hancur berlari seorang diri. Perlahan dia mengambil Pino, lalu mengikuti langkah wanita itu dari belakang. Seperti yang sudah sering dia lakukan, menjadi seorang yang hanya bisa mengawasi dari kejauhan, dan berusaha untuk menjaga wanita itu dengan tubuhnya sendiri. Walau dia yakin, apa yang dia lakukan tak akan pernah ada harganya di hadapan wanita itu. ---+--- Mencintai dalam diam adalah sebuah keharusan yang sangat melelahkan, Adit jelas tahu apa yang akan dia dapatkan ketika dia berusaha mencintai wanita itu dengan keinginannya sendiri. Bahkan sudah begitu banyak waktu yang terbuang karena dia selalu saja melakukan hal ini. Menghela napas pelan, membelokkan Pino ke g**g menuju rumahnya, setelah memastikan wanita itu sampai di depan rumah dengan aman. Adit langsung melaju pulang. Seperti biasa, lesu adalah satu kata yang dia dapat jika mengingat semua hal yang sudah terjadi. "Adit!" Lamunannya buyar seketika ketika ada seseorang yang memanggil dirinya. Dia menoleh, lalu menemukan mbak Daisy yang tengah berdiri di halaman rumah dengan beberapa barang di tangannya, sepertinya dia sedang membereskan sesuatu. Adit menepikan Pino, lalu mencoba tersenyum ramah ketika dia ada di hadapan wanita itu. "Kenapa, mbak?" Tanya Adit dengan ramah, dia mengintip pakaian yang dikenakan wanita molek yang baru Adit tahu jika perkejaan wanita itu adalah seorang SPG di salah satu serum mobil di kota. Pakaian santai yang terbilang cukup terbuka untuk seorang gadis dewasa seperti mbak Daisy, dan seperti biasa, mbak Daisy selalu saja melakukan hal itu tanpa peduli dengan omongan tetangga yang sudah menemani hari-harinya. "Ah enggak, cuma nyapa aja." Ucapnya dengan senyum merekah, ditambah ketika dia mengangkat kedua lengannya saat harus memasukkan sampah pada tong membuat penampilannya terlihat benar-benar memalukan. Atau bisa di katakan memalukan untuk Adit yang harus melihat hal itu dengan tatapan tak lepas dari mulusnya kulit itu. "Kamu baru pulang?" "Eh!" Adit terkejut seketika, dia langsung membuang wajahnya ke samping dan merutuki kebodohannya kini. "Iya, baru pulang, mbak," jawab Adit malu-malu. Apalagi saat dia ketahuan tengah memperhatikan sesuatu yang jelas-jelas memalukan. "Tumben pulang jam segini?" "Ah... Biasanya juga jam segini mbak." "Loh iya? Mbak malah baru tau." Adit terkekeh pelan, sembari menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Iya, biasanya suka mampir dulu makanya jam segini baru pulang?" "O... Pantes." Dia mengangguk pelan, lalu meletakkan barang bawaannya tadi ke tempat pembuangan sampah. Setelahnya dia menepuk dan mengibaskan tangannya sebentar, barulah dia berdiri dan menatap Adit sejenak. "Nanti malam sibuk nggak?" Tanya Mbak Daisy tiba-tiba. "Em, nggak terlalu sih. Kenapa emang kak?" "Nggak papa, mau minta tolong aja kalo nggak sibuk." "Minta tolong?" Mbak Daisy mengangguk pelan, dengan senyum di wajahnya. "Iya, kebetulan kan mobil mbak lagi bermasalah nih, jadi mbak mau minta tolong sama kamu buat nganterin mbak ke depan gang." "Oalah, Kalo itu sih bisa mbak. Kabari aja nanti." "Lah gimana mau ngabarin, kan mbak nggak punya nomor hape kamu." "Eh iya bener juga." Segera Adit mengeluarkannya ponselnya dari dalam saku celana, lalu dengan sangat sopan dia mengulurkan ponsel itu ke mbak Daisy yang langsung menerimanya dan mengetik nomor miliknya ke dalam ponsel Adit. "Udah, nomor kamu juga udah masuk. Nanti mbak kabarin lagi." "Oke deh mbak, kabarin aja nanti." Untuk sejenak Adit bisa melupakan rasa kesal di dalam hatinya. Entahlah ketika bersama dengan mbak Daisy dia bisa melupakan segala jenis perasaan di dalam hatinya. Setelah berlalu, Adit langsung melesat ke rumahnya, dan ketika dia melewati g**g yang tak jauh dari rumahnya dia melihat sebuah rumah dengan perasaan yang sedikit kacau. yah, rumah itu adalah rumah wanita yang ada di taman tadi, dan ketika dia mengikuti dari belakang wanita yang beranjak dari taman tadi, ternyata dia pulang ke rumah salah satu temannya dan membuat Adit harus pulang ke rumah sendirian. Dengan lesu dia memarkirkan motornya di halaman rumah, dan berjalan masuk. Setelah dia duduk di kursi teras, dia membuka sepatunya dan menenteng benda itu masuk ke dalam rumah. "Baru pulang?" "Iya Mak." Kata Adit yang berjalan masuk kearah kamar tanpa semangat, bahkan saat emak berdiri dan masih terlihat menyapu lantai ruang tamu, Adit berjalan tanpa dosa dan tanpa salam seperti biasanya. "Kakak kenapa Mak?" Tanya Ajriel dari arah ruang keluarga. "Nggak tau, lagi galau kayaknya," balas emak cuek dan melanjutkan kegiatannya. Ajriel hanya mengangguk dan memilih duduk di ruang tamu dengan ponsel di tangannya. "Emang kakak udah pacaran mak?" "Hus! Kamu nih, kayak udah tau apa itu pacaran aja!" "Ya tau lah Mak, temen Ajriel tuh dah banyak yang pacaran tau Mak, suka sama cewek yang cantik." "Heh! Anak kecil udah main pacar-pacaran, kencing aja belum lurus kamu ini!" "Ya kan cuma kata temen-temen Mak." "Udah-udah, kamu belajar lagi sana! Belajar yang bener baru mikirin yang aneh-aneh!" "Emang boleh mak?" "Kagak!" Kata emak dengan tatapan melotot yang membuat anak itu langsung berlari dari sana. Sementara itu di dalam kamar, Adit sudah membanting tubuhnya di atas ranjang, dengan wajah lesu yang tertekuk tajam. Tak ada lagi gairah ketika dia memikirkan kembali wanita itu. Dengan malas, dia mengambil ponselnya, lalu melihat pesan chat terakhir yang sama sekali tidak di baca oleh wanita itu. Menghela napas pelan, Adit membuang ponselnya jauh-jauh dari tempatnya, lalu menelusupkan wajahnya ke atas bantal, dan setelahnya dia berteriak frustasi. Teriakan yang cukup kencang hingga membuat emak dan Ajriel langsung terlonjak kaget. "Jangan teriak-teriak, Jang! Malu sama tetangga!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD