bab 4

1825 Words
Berlawanan arah - 4 "Dari mana, Jang?" Gue hampir saja terjungkal kebelakang ketika membuka pintu dan melihat mamak sudah bersidekap di sana, menatap gue dengan sebelah alis terangkat tinggi. Meringis kecil, gue nggak tahu harus ngomong apa, karena kayaknya gue udah bener-bener kelewatan hingga lupa waktu. Padahal pamit tadi cuma beli mie, tapi malah keasikan ngobrol sama kak Daisy. Duh, gimana lagi, orang pembahasan kami tadi lagi seru-serunya, dan ternyata kak Daisy tuh orang yang mudah bergaul, walau ya.... Gitulah, sangking gaulnya sampai dia nggak bisa membedakan kalau gue ini tuh masih di tahap remaja puber yang masih menggebu soal perempuan. Dan dengan posisi ngobrol santai, tepat setelah gue bantu dia, kak Daisy tuh langsung masuk kamar untuk ganti baju. Sedangkan gue memilih untuk menunggu dia keluar agar kita bisa makan bareng. Secara ye, kan. Gue tuh udah di tawarin makan enak di rumahnya, terus kalo gue makan duluan tanpa nunggu dia kan nggak etis banget. Tapi, ada tapinya nih, pas kak Daisy keluar dari pintu kamarnya, gue malah terperangah karena penampilannya yang bener-bener nggak pernah gue duga-duga. Sumpah itu adalah pengalaman pertama saat bagaimana gue melihat kulit putih mulus dari sorang wanita berusia matang. Penampilan yang hanya mengenakan kemeja putih polos tipis kebesaran, yang menjuntai hingga menutup bagian pahanya, sedangkan di bagian bawah sepertinya hanya di tutupi dengan hotpants pendek, yang membuat gue harus menahan diri untuk tidak memandang langsung kearah kulit mulus paha yang terlihat melambai untuk disentuh. "Kok bengong? Nggak makan?" "Eh ... Itu, nungguin mbak sih, nggak enak makan sendirian," ucap gue sembari membuang tatapan kearah lain, ayolah ayolah, jaga mata jaga hasrat, jangan nakal, kata mamak nggak boleh, bahaya. Huss! Setan menjauhlah! "Oh, oke." Gue mengangguk pelan. Sebisa mungkin gue harus mempertahankan tatapan gue untuk tidak terus melirik dan tertarik melihat kearah sana. Dan sialnya, selama kurang lebih satu jam, bahkan setelah gue makan di sana, mbak Daisy malah membuatkan gue segelas s**u karena dia minta untuk ditemani beberapa saat. Sebelum akhirnya obrolan kecil yang entah membahas masalah apapun mengalir begitu saja, membuat gue harus menahan diri agar tidak memandang aset yang bisa melunturkan keteguhan hati gue. Dan sialnya lagi mbak Daisy malah makin berani untuk terus menunjukkan paha sekali yang terlihat putih mulus itu. "Jang!" "Hah!" Seketika gue terkejut saat mamak memanggil gue, Ais, gue malah melamun di hadapan mamak yang jelas-jelas masih menunggu jawaban dari gue tadi. Tunggu, mamak tadi tanya apaan tak? "Dari mana aja kamu, baru pulang jam segini!" "Eh itu, dari warung depan Mak." Kilah gue, karena nggak mungkin gue bilang kalau sedari tadi gue berada di rumah Mbak Daisy. Alamat bisa jadi bahan Omelan panjang gue. "Beli mie?" "Eh, iya beli mie tadi." "Terus mana mienya?" "Eh ... Em." Bodoh banget sih gue, kenapa malah bilang beli mie tapi nggak bawa mie di tangan gue. "Hehe, lupa Mak, keasikan nongkrong tadi." Mamak menatap gue dengan mata terpincing yang membuat gue langsung kaku seketika. Sebelum akhirnya mamak menghela napas pelan dan menurunkan kedua tangannya. "Udah sholat?" Tanya mamak setelahnya. Gue menggeleng pelan, karena nyatanya di tempat mbak Daisy tadi gue belum sholat dan hampir tergoda dengan keindahan tubuh wanita matang itu. s****n. Gue malah keinget kejadian tadi. "Sholat dulu!" Setelahnya mamak berbalik. Sedangkan gue hanya mengangguk pelan lalu berjalan mengikuti mamak. Jujur gue ngerasa mamak tahu kalau gue bohongin beliau. Udah lah, dari pada mikirin yang nggak-nggak lebih baik gue sholat sekarang. ---- Pada dasarnya manusia akan memiliki rasa ketertarikan tersendiri dengan seorang lawan jenis. Dan itu sudah jelas terjadi, tak terkecuali gue. Walau bisa dikatakan kalau selera gue itu rendah, dan aneh, tapi setidaknya gue masih memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Dan namanya perasaan kita nggak bisa tau itu sama siapa dan kapan kan? Jadi selama perasaan ini normal, gue sih menjalaninya dengan apa yang gue rasa nyaman, selain itu masa bodo amat sama apa yang mereka bilang, seenggaknya gue masih berusaha berada di tahap yang wajar. "Woy! Ngelamun apaan sih, serius bet perasaan!" Gue hampir apa terjengkang karena teriakan dari sahabat k*****t gue ini, lalu setelah menoleh ke kanan, gue mengerutkan kening ketika melihat Anjar yang terlihat memakai baju biasa memilih duduk tepat di sebelah gue. Sejak tadi setelah pulang sekolah gue memang menyempatkan diri untuk lagi dan lagi berhenti di taman, hanya karena setelah gue lewat tadi, tatapan gue menemukan sosok yang sejak lama membuat gue seperti orang bodoh. Siapa lagi kalau bukan wanita yang beberapa hari lalu gue pandangi hingga beberapa jam di tempat ini. Gue mendengkus pelan, menatap Anjar yang saat ini tengah melarikan tatapannya kearah satu objek yang sejak tadi gue amati. Lalu menoleh pelan dan tersenyum kecil. "Sejak kapan?" Tanyanya seolah dia tahu apa yang gue pikirkan sekarang. "Apanya?" Tanya gue berkilah. Gengsi kalo semisal tiba-tiba gue ngakuin apa yang gue lihat sedari tadi. Padahal gue pikir sejak kepergian gue tadi. Nggak ada satupun yang tau, dan gue pikir malah sekolah kosong ketika gue pergi. Anjar terlihat mendengkus untuk sejenak. "Ya Lo nya lah, sejak kapan Lo di sini? Bukan sejak kapan Lo meratiin tuh kakak senior!" Ujar Anjar dengan suara sedikit keras yang membuat gue kelojotan. "Eh s****n, nggak usah kenceng-kenceng bisa kali, ah!" Emang kadang anak satu ini tuh nggak pernah tau tempat dan kondisi, asal nyablak kek kaleng sember dan bikin gue kelimpungan sendiri. Dan sialnya, sejak kapan dia tahu dengan kelakuan gue saat ini. "Nggak usah tanya gue tau dari mana, liat wajah mupeng Lo aja gue udah bisa langsung paham." "Serius?" Anjar mengangguk cepat. "Coba aja. Ngaca." Seketika itu, entah karena refleks atau apa, gue langsung mengambil ponsel di saku celana gue dan mengaca dengan layar ponsel yang dalam posisi mati. "Anjim, nggak selebsinitu juga lah!" Kata gue menampol pundak Anjar yang saat ini malah tertawa tanpa dosa. Sialan emang, anak satu ini emang sering kayak setan, datang tiba-tiba dan membuat kekacauan yang kadang kala bikin gue kesel. "Lagian bengong ae. Dari tadi gue panggil juga." "Ck, mana gue denger elah, rame gini!" Kata gue nggak terima, kadang sahabat gue ini suka bikin acara sendiri dan menyalahkan seseorang atas apa yang mungkin nggak bisa dilakukan, contohnya aja sekarang, pas dia manggil gue sedangkan tempat ini jelas-jelas rame, dia seenaknya bilang kalo gue nggak denger. "Terus ngapain Lo cariin gue?" "Di cariin El sama Rangga Lo." Kata Anjar kemudian, dia menoleh ke sekitar lalu melambaikan tangannya untuk memanggil seorang anak pedagang es balon yang gue tahu banget siapa anak itu. Dia termasuk anak yang sering mangkal di taman ini dan sering jadi langganan gue tiap kali dia lewat. Anak yang seharusnya hanya memikirkan pendidikan itu malah harus dipaksa untuk mendapatkan pundi rupiah setelah dia pulang sekolah. Tujuannya hanya satu agar dia bisa membantu orang tuanya yang sedang kesulitan ekonomi. Jujur, gue sebagai anak yang hanya bisa meminta tanpa belum bisa memberi ke orang tua aja, terkadang malu, dan sering membandingkan diri ini sama anak yang jelas masih berusia jauh di bawah gue. "Jual rokok kagak?" Tanya Anjar kemudian ketika anak itu datang. Gue yang mendengar itu hanya menggeleng pelan, kebiasaan Anjar memang merokok, dan itu sulit untuk dihilangkan, terkadang gue sendiri bingung, kenapa anak ini juga harus terjun ke dunia yang jelas lebih mengerikan dari pada yang gue bayangkan. Kalau hanya dilihat dari sekilas saja, Anjar mungkin terlihat sama seperti gue, Rangga dan juga El, tapi dibalik itu semua, Anjar adalah sosok yang sudah dipaksa untuk bertahan hidup sedari kecil, berusaha untuk mendapatkan apa yang dia inginkan walau hanya satu jalan yang harus dia tempuh, yaitu bekerja. Dan bahkan untuk sekolah ini saja Anjar harus berkerja di tempat pencucian motor milik salah satu temannya ketika pulang sekolah. Dan lagi lag, gue merasa malu sama diri gue yang sehari-hari cuma memandang orang yang ada di hadapan sana dalam diam, tanpa berani mengatakan sejujurnya apa yang gue rasakan. "Kagak bang, kagak punya modal buat jualan rokok." "Ck, payah lu! Kalo gue suruh beliin ke warung mau?" "Ada ada ongkosnya nggak masalah." Gue melirik kearah dua orang yang tengah berdebat di sebelah gue, dan seperti biasa, Anjar adalah orang yang mudah bergaul dengan siapa saja yang baru dia kenal, sikap ramah dan murah sapa itu membuat dirinya mudah berbaur, apalagi saat dia mulai tersenyum dan menunjukkan senyum manisnya, dia terlihat puluhan kali lebih ramah dari siapapun itu. "Iye iye, gue kasih ongkos!" Ucap Anjar sembari merogoh kantung celananya, lalu menyerahkan uang lima puluh ribu ke arah bocah tadi. "Nih beli rokok A mild sebungkus, sepuluh ribu buat lu." "Yah, kok sepuluh ribu doang?" "Lah terus minta berapa, sepuluh ribu itu banyak, woy." "Dih perhitungan banget!" "Jadi mau nggak nih?" Tanya Anjar yang terlihat kesal karena anak itu terus saja menyangkalnya, lalu ketika anak itu meringis lebar, Anjar pun itu tersenyum puas bahkan sampai terkekeh pelan. "Iye iye, bentar tungguin, gue beli dulu." "Ya udah sono, buruan!" Setelah anak itu berlalu, Anjar masih memerhatikan anak itu dengan seksama, padahal gue tahu, sahabat gue yang satu ini jelas sengaja melakukan hal tadi hanya agar dia bisa memberi anak itu tanpa merendahkan atau memandang mental anak itu sendiri. Cara yang selalu saja dia lakukan untuk memberikan bantuan pada orang-orang yang menurut dia pantas. "Lo yakin dia nggak bakalan kabur?" Tanya gue tiba-tiba, bukan tanpa alasan gue bertanya demikian, gue memiliki alasan kenapa gue dengan bodohnya tanya seperti itu. "Kabur?" "Iya, kabur bawa duit gocap lu tadi." Anjar terkekeh pelan, lalu menoleh dan menatap kearah gue dengan tatapan setengah tak percaya, dan setelahnya dia kembali menatap kearah anak itu lagi. "Gue yakin dia bakal balik, karena bagi kita, orang-orang yang harus berjuang untuk mendapatkan uang secara halal. Kepercayaan adalah kunci dari rezeki yang kita dapat. Seandainya aja dia kabur dan bawa uang gue. Nggak masalah. Bagi gue itu nggak masalah karena dengan gue memberikan dia uang itu, secara nggak langsung gue percaya sama dia." Anjar menjeda kalimatnya, menoleh hingga sepasang matanya menyorot langsung kearah gue. "Pun dengan dia, dengan memegang kepercayaan orang lain, maka dia akan mendapatkan nama, serta kepercayaan dari orang yang sudah memberikan kepercayaan untuk dia. Dan setelah kami di percaya oleh orang-orang, maka rezeki itu akan datang pada kita tanpa takut kita akan kelaparan." Dan seketika itu juga gue terdiam, memang, orang-orang yang sudah kenyang makan asam garam memiliki banyak pemikiran yang luas, pemikirannya sudah terbuka dan menjangkau sesuatu yang belum pernah gue jangkau sebelumnya. Hal itu tidak mudah di dapan, gue yakin itu. Karena dari pengalaman dan bagaimana dia berusaha untuk bertahan di kerasnya dunia itulah Anjar banyak belajar. Bukan seperti dirinya yang harus belajar dari segala teori yang diberikan oleh guru di sekolah. Dan dari sini gue tahu, pengalaman adalah kunci dari sebuah kemampuan. Dan kepercayaan, adalah kunci dari segala hal yang berujung baik. Walau sejatinya, orang yang bisa dipercaya itu nyaris sedikit, bahkan tidak ada, tapi dari sekian banyak manusia yang berada di muka bumi ini, akan ada segelintir orang yang akan memegang teguh sebuah kepercayaan. Dan untuk itu, Adit mungkin tidak akan takut kehilangan orang-orang yang bisa dia percaya, pun sebaliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD