“Lo bisa diam nggak, Ron!” kesal Aska.
“Apa! Gue nggak akan diem aja kalau tingkah lo masih kek gini!” Aron terlihat makin kesal.
“Jadi karena ini? Kamu emang keterlaluan, Ka!” Veronica ikut bicara.
Aska melotot, kenapa dia malah seolah-olah jadi korban buli keduanya. Aska menunjuk kea rah Veronica. “Eh, diem kamu!”
“Kenapa? Dulu kamu campakkan Talita, sekarang setelah semua apa yang terjadi kamu campakkan aku? Kamu pikir aku ini apa?!” Veronica semakin memanfaatkan keadaan Aska.
Aron menatap tajam ke arah Aska. “Lo! Bener-bener lo! Udah berapa banyak wanita yang lo rusak!”
Tanpa banyak bicara, Aska menarik paksa tangan Veronica, membawa paksa gadis itu keluar dari ruangannya, dia benar-benar emosi mendengar ucapan Aron, kenapa dia harus diingatkan lagi dengan kata-kata yang dulu pernah Talita ucapkan.
Veronica berusaha berontak. “Ka, lepasin aku!”
“Diam!” bentak Aska, mungkin ini kali pertama Veronica melihat Aska semurka itu. Gadis itu diam tak berkutik.
Aska menunjuk ke arah Veronica dengan emosi yang meluap. “Keluar sekarang dari sini, jangan sampai aku membencimu untuk selamanya ….” Ucapan Aska memang terdengar pelan, tapi itu cukup menakutkan untuk Veronica, dengan kesadarannya sendiri, Veronica terpaksa pergi dari tempat itu tanpa sebuah keraguan.
Aska yang masih sangat kesal langsung membanting keras pintu itu, tidak peduli dengan para karyawannya yang terlihat heran dengan tingkahnya hari ini. Aska membalikkan badannya, menatap tajam ke arah Aron. “Lo mau pukul gue lagi, ayo pukul gue!” tantang Aska.
Aron maju, sedikitpun dia tidak gentar dengan ucapan Aska, kakaknya memang pantas dia pukul. “Lo emang pantas dipukul!” Aron mencengkeram kerah baju Aska, kembali menghujam wajah Aska dengan sebuah pukulan.
Satu kali pukulan, dua kali pukulan sampai pukulan ketiga kalinya cukup membuat wajah Aska babak belur. Aron terlihat heran dengan sikap Aska yang tidak biasanya, kakaknya tidak melawan sama sekali, bahkan tatapan wajah Aska terlihat kosong. Aron melepaskan Aska. “Sialan! Apa sebenarnya yang terjadi?!” Aron yang cukup hafal dengan sikap Aska akhirnya mengalah.
“Kenapa berhenti, bahkan apa yang pernah gue lakukan ke Lita nggak seberapa dengan ini, dia rusak karena gue … dia hampir gila karena gue, teruskan. Pukul gue ….”
Sumpah, demi apapun Aron tidak pernah menitikkan air matanya, tapi untuk Aska dia sering sekali harus keluar air mata sialan. Aron bisa merasakan kepedihan yang Aska alami, bukan salah Aska, kakaknya hanya korban dari kebejatan Andre dan teman-temannya. Aska bukan pria buruk, dia tau betul bagaimana Aska setelah kejadian malam itu, harusnya dia lebih percaya dengan Aska daripada Veronica si perempuan ular. “Ahh! Sialan! Gue benci air mata ini!” Aron menarik paksa tangan Aska, untung saja badan dia dan Aska sedikit imbang, jadi dia tidak kewalahan saat mendudukkan paksa Aska di sebuah sofa.
“Apa sebenarnya yang terjadi?” tanya Aron lebih tenang, memang ini sangat memalukan, tapi mau gimana lagi, dia menghapus air matanya dengan kesal, ikut duduk di samping Aska.
Aska hanya memperhatikan tingkah Aron, dia tau bagaimana Aron sangat menyayanginya dengan caranya sendiri. “Kenapa nggak pukul gue lagi ….”
“Sudah hentikan! Lanjut ke tujuan lo saat ini, Lita lebih membutuhkan lo yang utuh, yang ganteng, bukan Aska yang cidera gara-gara pukulan gue. Apalagi si Panca emang ganteng.” Meskipun kadang konyol, tapi Aron paling tau bagaimana cara membuat Aska kembali bersemangat.
Aska menatap tajam ke arah Aron, darahnya mendidih saat nama Panca keluar dari mulut Aron, pria itu mengusap darah yang keluar dari ujung bibirnya. “Inget! Selama gue masih bernafas, Lita hanya milik gue! Bukan milik orang lain!”
Aron tersenyum, senang juga melihat Aska kembali seperti semula. “Nah, gitu dong! Jangan gara-gara kalah ganteng lo kalah.” Aron kembali memanas-manasi Aska, sangat menyenangkan melihat reaksi kakaknya.
Aska yang tidak terima dengan ucapan Aron, langsung menarik kerah baju Aron. “Hanya mata siwer yang bilang tuh cecunguk lebih ganteng dari gue, jelas-jelas gue lebih ganteng dari dia!”
“Yakin?!” Aron masih saja menggoda Aska.
“Lo mau bonyok!” Ancam Aska.
“Sialan! lepasin gue! Awas aja kalau berani nonjok gue, biar Mama yang bales nonjok lo!” Aron balas mengancam Aska.
Aska akhirnya tersenyum, ini anak emang paling tahu kelemahannya. “Iya! Makanya jangan rese, udah tau kakak lo ini ganteng banget,” ucap Aska percaya diri.
“Huek!” Aron pasang ekspresi mau muntah.
“Sialan, lo!” Aska menabok lengan Aron.
“Ih, serius! Tadi lo beneran gituan sama tuh cewek.” Aron terlihat mulai serius.
“Enak aja! Justru gue musti berterima kasih sama lo, mo ngelepasin diri susah, tau!”
Aron cukup terkejut dengan pernyataan Aska. “Hah! Lo dipaksa?!”
Aska mengangguk. “Hooh!”
“Kok keknya situ demen!” celetuk Aron.
Aska melotot. “Enak aja! Kalau ngomong jangan sembarangan!”
“Kirain tadi lo beneran gituan sama tuh cewek, sumpah gue nggak rela kalau lo sampai kek gitu, mending Lita gue nikahin aja,” ucap Aron.
“Gila! Jangan bilang kalau lo masih ngarepin Lita jadi cewek lo!” kesal Aska.
“Ya, itu tergantung sikon! Kalau lo beneran kek tadi, terpaksa gue maju, meskipun gue kere tapi gue ada cinta buat Lita.”
Aska menghela nafas, Aron memang kadang cukup membuatnya kesal. “Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Veronica sejak lama, ngerti!”
“Lo yakin, emang kalau ditindih kek gitu nggak nyetrum sama sekali?!”
Aska melotot. “Nggak! Kalau nggak demen mana bisa tegak!” Ternyata dua-duanya memang sama-sama somplak kalau sudah bicara soal seperti itu.
“Padahal tuh cewek cakep lho!” Aron masih saja menggoda Aska.
“Ambil kalau lo mau!”
“Ogah! Udah bekas lo!” Masih saja Aron menggoda kakaknya.
“Sialan! Gue cuman ngelakuin itu sama Lita, dia yang udah ngambil perjaka gue!” Aska terlihat mulai kesal.
Aron tertawa. “Ha-ha-ha … kebalik songong! Lo yang udah ngambil kep—“
“Diem lo!” Aska memotong kata-kata Aron, kali ini wajahnya terlihat mulai serius. “Gimana keadaan Lita sekarang?”
Aron pasang wajah seriusnya. “Lita keknya emang bener-bener demen sama tuh cowok.”
Aska menoleh ke arah Aron, wajahnya terlihat sangat serius. “Lo yakin?!”
“Yakin banget, kalau nggak demen ngapain pakai acara peluk-pelukan segala!”
“Apa!” Suara Aska keras sekali, Aron sampai menutup telinga karena saking kerasnya suara Aska.
“Pelan-pelan, dong! Gue nggak b***t!” kesal Aron.
“Nggak!” Aska menggeleng. “Ini nggak bisa dibiarin, gue musti ngambil tindakan, Lita itu hanya milik gue!”
“Terus lo mau gimana?”
“Gue mau ngelamar dia.”
Aron terkejut mendengar ucapan Aska. “Ngelamar?!”
Aska mengangguk mantap. “Iya!”
“Gimana ceritanya, lihat lo aja Lita Kek ngelihat hantu, gimana kalau harus satu rumah, apalagi kalau lo sentuh!” protes Aron.
“Yang penting om Dion sama tante Lea setuju, soal Lita gue harus berjuang buat ngedapatin hatinya lagi.”
Aron geleng kepala, mungkin ini yang menjadikan dulu Lita sempat tergila-gila dengan kakaknya, ternyata Aska tipe orang yang pantang nyerah. “Jangan terlalu pe-de! Entar nyungsepnya sakit loh, malah bisa-bisa remuk!”
“Dasar adik laknat! Kasih dukungan ke gue, nggak bikin orang down!” Aska terlihat kesal dengan ucapan Aron.
“Jelas-jelas gue dukung lo, Papa juga ngedukung lo!”
Wajah Aska sumringah, dia yakin sekali kalau papanya mendukung, pasti Dion juga mendukung niat baiknya. “Yang bener? Emang Papa ngomong kek gitu?” tanya Aska penuh semangat.
“Yaelah! Tadi gue denger sendiri, dia sampai debat sama Mama, intinya buat Papa … Lita lebih baik sama lo!”
“Iyalah, jelas gue yang terbaik buat Lita, gue yang bakal nerima dia luar dalam, gue yang bakal memastikan dia hidup bahagia,” ucap Aska.
“Itu harus!” sahut Aron.
Aska berdiri dari tempat duduknya, menoleh ke arah Aron. “Wajah gue gimana?” tanya Aska tiba-tiba.
“Bonyok!” jawab Aron singkat.
“Sialan, lo!” umpat Aska.
“Untung gue nggak penuhi request dari lo. Emang kenapa?” tanya Aron tanpa wajah berdosanya.
“Lah! Gue mau ketemu om Dion, masa muka gue kek gini.”
Aron tersenyum. “Bilang saja lo habis berantem sama preman,” ucap Aron enteng.
“Ngaco, lo! Udah sono pulang!”
“Lo ngusir gue?!” Aron seperti tidak terima dengan ucapan Aska.
“Emang lo mau gantiin pekerjaan gue?” Aska balik bertanya.
“Ogah! Emang lo mau kemana?” tanya Aaron, berdiri dari tempat duduknya.
“Gue tadi ‘kan bilang mo ketemu sama om Dion, lebih cepat lebih baik.”
“Gue ikut!”
Aska menghela nafas, kembali menatap ke arah Aron. “Oh, ya! Lain kali jangan bahas tentang Lita di hadapan Veronica.” Aska memperingatkan Aron.
“Emang kenapa?” tanya Aron penasaran.
“Dia itu tipe cewek nekad, gue takut Lita kenapa-napa.” Aska terlihat sangat khawatir, bagaimanapun dia sangat mengenal mantan kekasihnya itu.
“Gue sama Candra pasti akan melindunginya.”
“Tidak semudah itu.” Aska seperti menyembunyikan sesuatu.