“Emang kenapa?” tanya Aron penasaran.
“Sudahlah, intinya jangan bahas Lita di depan dia.” Aska bergegas pergi dari kantornya, Aron terpaksa tidak bertanya lagi mengapa dia harus menyembunyikan keberadaan Talita dari Veronica. Dengan sangat terpaksa dia membuang rasa penasarannya, berjalan mengikuti Aska.
“Lo yakin mau ketemu om Dion sekarang?” Aron kembali memastikan.
“Iya! Gue musti cepat bergerak, Ron.” Tanpa terasa keduanya sudah memasuki pintu lift yang dikhususkan untuk para petinggi perusahaan.
“Ya udah, mudah-mudahan Lita setuju.”
Meskipun itu terdengar sangat mustahil, Aska terpaksa mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi, keduanya menuju tempat parkir setelah mereka sampai di lantai bawah.
***
Kediaman Dion
Panca menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah megah milik keluarga Talita, keduanya bergegas turun dari dalam mobil. Talita terlihat sangat bersemangat untuk mengenalkan Panca kepada keluarganya, dia yakin dan sangat yakin sekali jika kedua orang tua akan menyetujui hubungan mereka. Gadis itu tersenyum lembut ke arah kekasihnya, menggandeng tangan Panca begitu keluar dari dalam mobil.
“Ayo, Sayang!” ajak Talita, berjalan ke arah pintu utama.
“Ayo!” Panca menyambut gembira ajakan gadis yang begitu dia cintai.
Tanpa terasa keduanya sudah sampai di ruang utama milik keluarga Talita. Entah sengaja atau tidak, adik laki-lakinya ini sepertinya akan pergi. Talita tersenyum, menyapa Candra yang sekarang sudah tumbuh semakin dewasa dan tampan. “Lo mau kemana?”
Candra yang melihat sang kakak menggandeng seorang pria asing terlihat tidak suka dengan pemandangan di depan matanya. “Nggak banjir! Ngapain musti gandengan!” Ucapan Candra terdengar cukup sinis.
“Biarin, emang nggak boleh!” jawab Talita kesal.
Panca yang bisa membaca ekspresi wajah Candra, buru-buru angkat bicara, dia berusaha untuk mencairkan suasana di antara keduanya. “Kamu Candra, ya!” tebak Panca.
Meskipun terlihat cukup heran, Candra tetap menjawab dengan nada yang ketus. “Iya! Emang kenapa? Jangan sok deket!” Kalau bukan demi wanita idamannya, mungkin sebuah bogem mentah sudah mendarat di wajah tampan Candra.
“Candra! Apa sih masalah lo!” seru Talita kesal.
“Nggak ada!” jwab Candra, masih dengan nada yang cukup ketus.
Panca tidak tinggal diam, dia membelai lembut pundak Talita, berusaha menenangkan kekasihnya yang terlihat mulai emosi karena ulah adiknya. Panca sadar diri, tidak mudah untuk berkenalan dengan seorang ipar yang baru saja bertemu, butuh sebuah kesabaran dan pendekatan ekstra untuk mengenalnya lebih dekat. “Sayang, sudahlah … nggak perlu emosi kek gini,” bujuk Panca.
Candra yang bisa melihat ekspresi Panca, terlihat mulai muak. Sepertinya Panca tipe orang yang manipulative. “Minggir! Gue mau pergi.” Ini anak benar-benar keterlaluan, masih saja tidak mau mengenal Panca, karena baginya dan Aron hanya Aska yang pantas dan berhak atas kakaknya, itu sebabnya Candra tidak akan pernah menerima kedekatan Talita dengan pria lain.
“Candra!” teriak Talita cukup kencang.
Panca berusaha mencegah Talita yang sepertinya ingin memberi pelajaran terhadap adiknya. “Sayang, sudahlah … Candra butuh waktu, lagian kita baru aja kenal,” ucap Panca lembut.
Talita menoleh ke arah Panca. “Nggak! Ini nggak adil buat kamu, barusan Aron memperlakukan kamu kek gini. Aku nggak akan terima jika kamu diperlakukan kek gini juga oleh adikku, kamu datang ke sini baik-baik, tapi gimana perlakuan mereka?” Talita terlihat sangat kecewa dengan sikap Aron dan Candra, dan entah bagaimana juga dengan sikap Aska pada kekasihnya.
Panca tersenyum, meskipun agak kecewa setidaknya dia bahagia karena kekasihnya membelanya, itu yang terpenting untuk dirinya. “Aku ‘kan udah bilang, semua butruh proses.” Panca mengucapkannya denga sangat tenang.
Talita menghela nafas lega, ternyata kekasihnya tidak terpengaruh dengan sikap rese Aron dan Candra. “Terima kasih banyak karena kamu udah mau ngertiin situasi ini,” ucap Talita.
Panca tersenyum. “Nggak masalah.”
Kembali keduanya terlihat begitu mesra di depan Candra, membuat pemuda itu terlihat semakin muak. “Awas minggir!” Kali ini nada bicara Candra lebih keras dari sebelumnya.
“Kenapa sih rese banget!” kesal Talita.
Candra meyunggingkan senyumnya. “Lo simpulkan aja sendiri, siapa yang lebih pantas buat lo.” Ucapan Candra cukup tajam juga.
Talita tertunduk sebentar, dia paham betul maksud Candra, tidak hanya Aron dan juga Aska, ternyata selama ini Candra juga tidak tau keberadaan Talita, karena kedua orang tuanya sudah berjanji kepada Adel untuk tidak memberitahukan keberadaan Talita ke siapapun dengan alasan untuk memulihkan mental Talita yang sempat down.
Panca terlihat penasaran dengan ucapan Candra, tapi sebisa mungkin dia menahan rasa penasarannya demi menjaga perasaan kekasihnya. “Sudahlah, Sayang ….” Panca berusaha membujuk Talita.
Talita menatap tajam ke arah Candra. “Puas lo!”
Candra terdiam, sebenarnya dia tidak tega bersikap seperti itu ke kakaknya, tapi karena terlanjur kesal, dia bersikap semaunya sendiri, tanpa sepatah kata pun, Candra pergi meninggalkan keduanya.
Alea yang kebetulan mendengar ada keributan keluar untuk memastikan. “Ada apa ini, Sayang ?” tanya Alea. Cukup terkejut melihat putrinya tidak sendiri, melainkan datang bersama seorang pria tampan. Alea tersenyum ramah ke arah Panca. “ Ini ….” Alea menunjuk ke arah Panca.
Talita tersenyum, senang sekali melihat reaksi Mamanya. “Ini—“
Panca maju sebelum Talita melanjutkan kata-katanya, mengulurkan tangannya ke arah Alea dan tentunya disambut dengan baik oleh Alea. “Perkenalkan Tante, saya Panca. Kekasihnya Talita,” ucap Panca.
Talita tersipu malu, Alea sempat memperhatikan sikap putrinya, cukup bahagia juga jika akhirnya Talita mau membukakan pintu hatinya untuk memulai sebuah hubungan dengan pria lain. “Oh, ya. Silahkan ….” Alea mempersilahkan Panca untuk duduk di ruang utama.
“Makasih, Ma.” Talita mengucapkannya dengan raut wajah yang sumringah, bahagia karena ternyata mamanya mendukung hubungannya dengan pria yang dia cintai.
“Makasih untuk apa, Sayang?” Alea terlihat heran dengan ucapan putrinya.
“Makasih karena Mama mau menerima Panca,” ucap Talita.
Alea tersenyum, membelai lembut rambut putrinya. “Selama menurut anak Mama baik, Mama akan mendukungnya.”
Talita langsung memeluk mamanya begitu dia mendengar ucapanya. “Sekali lagi makasih, Ma ….”
Alea membalas pelukan putrinya. “Sama-sama, Sayang ….” Alea melirih kea rah Panca, mengurai pelukan putrinya. “Kamu nggak akan suruh Panca untuk duduk?”
Talita tersenyum, mengusap air matanya yang hampir saja meleleh karena rasa haru. Gadis itu menoleh ke arah kekasihnya. “Eh, sampai lupa. Ayo duduk, Sayang!”
Panca tersenyum, duduk di sebuah sofa di ruangan itu. “Makasih, Sayang.”
Talita tersenyum, ikut duduk di sebelah Panca.
Alea tidak tinggal diam, dia ikut duduk di sofa itu, posisinya berhadapan dengan Talita dan juga Panca. “Oh ya, Sayang … kok tamunya dianggurin aja, sana gih! suruh bibik bikinin minuman!” perintah Alea.
“Eh, nggak usah repot-repot, Tan.” Panca berusaha basa-basi.
Talita berdiri, tersenyum ke arah Panca. “Nggak masalah, pasti kamu haus ngadepin mahluk-mahluk rese!” Alea cukup terejut dengan ucapan putrinya.
“Maksudnya apa, Sayang?” tanya Alea lembut.
Gadis itu menghela nafas, memonyongkan sedikit bibirnya, membuat Panca sedikit gemas dengan tingkah kekasihnya. “Mama kek nggak tau aja, dua mahluk ter-rese dalam hidup Lita.”
Alea tersenyum dengan ucapan Talita, tau siapa yang Talita maksud. “Nggak usah dianggap.”
“Ih, Mama! Mereka resenya ke Panca, bukan ke Lita!” protes Talita.
Alea menoleh ke arah Panca, ngeri juga membayangkan gimana resenya Candra sama Aron. “Eh, maaf yan nak Panca, jangan diambil hati, mereka emang kayak gitu kalau baru kenal. Tapi nggak usah khawatir, mereka itu anak baik, nanti kalau udah terbiasa juga mereka baik.”
Panca tersenyum mendengar ucapan calan mertuanya, baginya tidak masalah selama Talita dan kedua orang tuanya ada di pihaknya. “Nggak masalah, Tan. Aku dulu juga pernah muda kayak mereka, jadi aku paham betul dengan sikap mereka berdua.”
Alea tersenyum mendengar ucapan Panca, kelihatannya pemuda ini memang cocok untuk Talita, selain tampan, dia juga terlihat sabar dan penyayang, itu menurut pemikiran Alea saat kesan pertama bertemu dengan Panca. Alea menoleh ke arah Putrinya. “Sayang, mana minumnya?”
Talita tersenyum. “Iya.” Talita menoleh ke arah Panca. “Aku masuk dulu ya Sayang ….”
Panca mengangguk. “Iya ….”
Kini di ruangan yang cukub besar itu tinggallah Alea dan Panca. Alea yang terlihat penasaran dengan sosok Panca mulai mengintrogasi pemuda itu, dia harus tau asal usul seseorang yang sudah menjadi pelabuhan hati putrinya. “Oh ya, Nak Panca. Kalia kok bisa kenal? Apa dulunya Nak Panca tinggal di Paris?” tanya Alea penasaran.
Panca tersenyum. “Saya memang bertemu dengan Lita waktu di Paris, tapi waktu itu saya ada kerjaan di sana, Tan. Kebetulan saya bertemu Lita, sejak itu kami jadi akrab, bahakan saya sering ke Paris hanya untuk bertemu dengan Lita.”
Alea manggut-manggut. Semakin yakin jika Panca benar-benar mencintai Talita, buktinya … tuh anak rela pergi jauh demi putrinya. Meskipun begitu, Alea hanya ingin memastikan Panca akan menerima Talita bersama masa lalunya. “Apa nak Panca sudah yakin dengan Putri saya?”
Panca mengangguk. “Sangat yakin, Tan.”
Kembali Alea dengan pertanyaannya. “Bagimana dengan masa lalu Talita?”
“Masa lalu …?”