Tetap Kuat

1211 Words
Talita menangis sejadinya begitu dia keluar dari gedung apartemen milik Aska, perasaan bingung dan khawatir menyelimuti pikirannya, sesaat dia seperti tidak bisa berpikir apa-apa lagi, gadis itu terduduk di sebuah bangku taman dekat dengan apartemen Aska. Talita membuka kopernya, siapa tau dia bisa menemukan ponselnya. Nasib baik memang berpihak kepada gadis itu, mungkin mamanya masih menghawatirkannya makanya dia menyelipkan ponsel Talita di dalam kopernya. Talita merasa lega, setidaknya dia masih bisa menarik sejumlah uang lewat dompet digitalnya. Gadis itu menghapus air matanya, mulai hari ini dia tidak akan cengeng lagi, dia akan berjuang sendiri demi janin yang ia kandung. Talita masih terlihat bingung, dia terus memutar otaknya, berusaha berpikir jernih untuk melanjutkan hidupnya. “Oh, ya!” Sebuah ide cemerlang muncul begitu saja, gadis itu tampak sibuk mengotak-atik ponselnya, Tersenyum saat nomer telepon yang dia cari masih tersimpan. Talita langsung menghubungi nomer itu, tidak butuh waktu lama, panggilan telepon pun diangkat. “Hallo ….” “Hallo, Lit. Ada apa?” “Aku butuh bantuan kamu Mbak.” “Bantuan apa?” “Aku butuh pekerjaan, di tempat kamu ada lowongan?” “Hah! Aku nggak salah dengar? Nggak lucu bercandanya!” “Aku serius mbak, aku diusir dari rumah.” “Jangan bercanda!” “Aku serius, makanya aku tanya ada kerjaan nggak di tempat Mbak.” “Kalau kamu bercanda awas aja, tapi kalau kamu serius besok datang aja ke sini.” “Iya, Mbak. Makasih banyak ya ….” Panggilan diakhiri, Talita bangkit dari tempat duduknya, untuk saat ini dia harus mencari tempat tinggal terlebih dahulu, mungkin saldo di dompet digitalnya bisa dia tarik untuk menyewa tempat tinggal sekalian membeli barang keperluannya, tidak ada lagi waktu untuk menangis, dia harus bangkit dari keterpurukan yang dia alami saat ini, hidupnya harus berlanjut demi malaikat kecil yang saat ini ada di kandungannya. *** Keesokan harinya Talita benar-benar pergi ke sebuah restoran tempat dia akan bekerja, Talita juga mencari sebuah kontrakan kecil yang jaraknya dekat dengan tempatnya bekerja nanti, kehidupannya langsung berubah tiga ratus enam puluh derajat, harusnya pagi ini dia pergi ke sekolah tapi dia sibuk mencari kerja untuk melanjutkan hidupnya. Seorang perempuan muda cantik tersenyum ramah kepadanya saat Talita masuk ke dalam restoran, perempuan itu menarik tangan Talita menuju sebuah tempat duduk yang kosong. “Lit, ini beneran kamu nggak bohong, setahu aku kamu bentar lagi ada ujian kelulusan?” tanya si perempuan begitu mereka duduk. Talita menunduk, cukup segan juga mengakui semua yang terjadi pada dirinya. “Bener, Mbak. Aku bentar lagi ujian kelulusan, tapi mau gimana lagi, aku hamil ….” Si perempuan terkejut. “Hah! Kok, bisa!” “Nggak tau, Mbak. Aku emang terlalu bodoh, percaya banget sama janji seorang cowok, padahal kita masih sama-sama bocah.” Talita sedikit memajukan tempat duduknya, memegang erat tangan si perempuan. “Mbak Nana, tolong jangan kasih tau orang rumah atau siapapun kalau aku kerja di sini, aku juga ragu kalau tau kebenaranku Mbak masih mau nerima aku kerja atau enggak.” Air mata gadis itu menetes, dia mulai terlihat putus asa. Wanita yang dipanggil Nana tersenyum, menepuk-nepuk tangan Talita yang memegang tangannya. “Mbak tau siapa kamu, Lit. Tentu saja kamu masih bisa kerja di sini, Mbak akan bantu sebisa mungkin, tapi kalau Karina nyariin kamu gimana?” Tanya Nana, yang tak lain adalah kakak sepupu dari sahabat dekat Talita. “Kalau Karina tau nggak pa-pa, cuman dia yang aku percaya saat ini …,” lirih Talita. Nana melepaskan pegangan tangan Talita, berdiri mendekati gadis itu, mengusap lembut pundak gadis itu. “Sudahlah, Mbak yakin kamu itu gadis yang kuat, mau gimana lagi nasi sudah menjadi bubur, kamu harus tetap menjalani hidup ini,” ucap Nana. Talita menyunggingkan senyumnya. “Terima kasih banyak, Mbak. Aku akan semangat demi janin ini.” Talita mengusap perutnya, hatinya sedikit lega, seenggaknya dia punya pekerjaan saat ini. “Oh, ya. Gimana dengan tempat tinggal kamu?” Nana hanya ingin memastikan jika Talita tidak mengalami kesulitan soal tempat tinggalnya. “Kemarin aku langsung nyari kontrakan deket sini, Mbak. Tempat tinggalku nggak jauh-jauh amat dari sini.” Nana tersenyum. “Syukurlah, kalau ada apa-apa jangan sungkan. Kamu mau langsung kerja hari ini?” tanya Nana. Talita mengagguk penuh semangat. “Iya, tentu saja aku mau langsung kerja.” “Oke, kamu boleh langsung ganti seragam, kalau mau sarapan atau makan siang, di dalam sudah disediain.” Nana memperhatikan sekitarnya, kembali menoleh ke arah Talita. “Keknya pengunjung udah mulai ramai, Mbak tinggal dulu ya.” Talita berdiri, sebagai karyawan baru dia tidak mungkin berleha-leha. “Iya, Mbak. Sekali lagi terima kasih ya, Lita janji nggak bakalan mengecewakan Mbak.” Nana mengangukkan kepalanya, pergi meninggalkan Talita yang memang dia juga harus pergi untuk memulai pekerjaannya. *** Rumah Dion “Lea!” teriak seorang perempuan cantik yang teryata adalah Adel. “Ma, pelanin dikit suaranya,” tegur seorang anak remaja tampan yang ternyata adalah Aron, putra keduanya Adel. “Anak kecil nggak usah ikut campur!” ketus Adel. Aron melongo. “Hah! Nggak usah ikut campur tapi nyuruh anak orang bolos!” celetuk Aron. Adel melotot. “Anak orang? Kamu itu anak aku, ngerti!” Aron tersenyum. “Iya!” Lebih baik dia tidak berdebat dengan mamanya, dari pada urusannya tambah rumit. “Lea!” Kembali Adel berteriak. “Ada apa” Alea keluar dari dalam ruang tengah, matanya sembab, sepertinya dia terus menangis. “Apa benar Lita kalian usir dari rumah?” tanya Adel. “Anak itu nggak pantas tinggal di keluarga ini.” Ada rasa sakit yang mendalam dari ucapan Alea. “Nggak pantas? Apa kamu nggak khawatir? Kehidupan di luar sana sangat keras. Dia itu masih bocah!” Adel terlihat emosi, sedangkan Aron hanya diam saja, dia tidak menyangka saja Talita bisa berbuat seperti itu. “Itu pilihannya, kalau dia sayang keluarganya dia nggak akan mungkin berbuat seperti ini ke kami, biar saja laki-laki itu bertanggung jawab!” air mata Alea kembali menetes, dalam hati dia sangat menghawatirkan nasib putrinya. Adel menghela nafas, merasa kesal dengan sikap Alea. “Bagaimana kalau dia tidak mau bertanggung jawab.” “Dia harus mau bertanggung jawab, Ma.” Aron ikut menyahut, jika Talita bahagia bersama pria lain dia rela, tapi jika Talita disia-siakan dia tidak akan pernah rela. “Kamu yakin?” Adel balik bertanya. “Aku sama Candra lagi berusaha nyari alamatnya,” jawab Aron. “Lea, ayo kita bawa Lita pulang.” Adel berusaha membujuk Alea. “Buat apa, aku udah nggak ada urusan lagi dengan anak itu.” Lain di bibir, lain juga di dalam hati, Alea tetap pada pendiriannya. “Kamu jangan munafik, aku tau kamu menghawatirkannya.” Adel yang memang sangat paham dengan sifat Alea, dia berusaha membujuk. “Kamu berkata seperti itu karena kamu tidak merasakannya, Del.” “Tidak merasakannya? Lalu gimana dengan nasib anak aku yang hilang, apa dia masih hidup? Apa dia tidak kekurangan apa-apa? Ingat Lea, Lita sudah aku anggap sebagai putri aku sendiri, aku tidak akan rela hidupnya kesulitan di luar sana.” Adel menitikkan air matanya, jujur dia sangat khawatir dengan nasib Talita. Aron berusaha menenangkan mamanya. “Ma, sudahlah … tante Alea masih butuh waktu, ayo aku temenin Mama nyari Lita,” ucap Aron. Adel menatap putra tampannya. “Apa kamu bersedia bertanggung jawab jika anak itu itu tidak mau bertangung jawab?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD