Alea terbelalak, bagaimana mungkin Adel bisa mempunyai pikiran seperti itu. “Kamu jangan gila, Del! Aron tidak akan pernah mengorbankan masa depannya hanya untuk menutupi kesalahan Lita,” ucap Alea emosi.
“Masa depan Aron tidak akan hancur, papanya juga menikah denganku di saat seusia dia.” Adel tidak mau kalah.
“Aku bersedia, Tante!” Jawaban yang cukup tegas dari Aron.
“Enggak! Tante sama om nggak akan setuju!” bantah Aron.
Adel menarik tangan Aron. “Ayo, Sayang. Kita pergi saja dari sini, hati tantemu itu sudah buta.” Tanpa permisi, Adel membawa Aron keluar dari rumah Alea.
“Del! kamu jangan gila!” Teriakan Alea sudah tidak dipedulikan lagi oleh Adel.
Adel dan Aron menaiki mobil mereka, bahkan saat Alea berusaha mengejarnya, keduanya sudah tidak peduli, bagi Aron dan Adel yang penting mereka bisa menemukan Talita.
“Ma, kita ke mana?” tanya Aron setelah keduanya masuk ke dalam mobil.
“Apa ponsel Lita sudah aktif?” tanya Adel tiba-tiba.
“Aktif dari tadi pagi, tapi dia nggak mau angkat panggilan aku.” Muka Aron terlihat sedih.
“Kenapa kita nggak lacak aja nomernya.” Ide itu muncul begitu saja dari Adel.
“Oh, ya bener.” Aron menepikan mobilnya, berusaha melacak nomer Talita melalui sebuah aplikasi.
“Ketemu!” seru Aron tiba-tiba.
“Ayo ke sana!” Adel terlihat sangat bersemangat.
“Siap, Bos!” Aron kembali melajukan mobilnya menuju ke lokasi Talita.
Meskipun terlihat heran, Aron menghentikan mobilnya tepat di depan restoran Talita bekerja. Adel yang terlihat sudah tidak sabar langsung turun dari dalam mobil, diikuti Aron yang terlihat masih bingung.
“Ma, Mama yakin Lita di sini?” tanya Aron.
Adel tersenyum. “Sangat yakin anak gantengnya Mama ….”
“Tapi buat apa Lita di sini?” tanya Aron heran.
“Wanita itu tangguh, dia akan melakukan apa pun untuk anaknya.” Jawaban yang cukup singkat, tapi membuat Aron cukup bingung.
“Nggak usah bikin Aron makin pusing, Ma!” protes Aron.
Adel menarik tangan Aron yang baru saja turun dari dalam mobil. “Udah, ayo ikut!”
Aron hanya bisa pasrah, terpaksa dia mengikuti Adel masuk ke dalam restoran yang cukup ramai.
“Silahkan, ada yang bisa saya ban—“
“Lita!” seru Adel ketika tau siapa yang menyambut kedatangan mereka. Adel langsung memeluk gadis itu.
Talita hanya diam mematung, bagaimana bisa Adel dan Aron tau keberadaannya. “Tante ….” Air mata gadis malang itu menetes begitu saja.
“Lit, lo—“ Aron tidak mampu untuk melanjutkan kata-katanya, dari seragam yang Talita pakai, dia tau apa yang Talita lakukan di restoran itu.
Talita mengangguk, Adel melepaskan pelukkannya. “Nggak pa-pa, yang penting ini halal,” ucap Talita.
Adel geleng kepala. “Nggak! Tante nggak mau kamu kayak gini, ayo ikut Tante! Kamu nggak perlu kerja kayak gini!” ajak Adel.
Talita menggeleng. “Nggak, Tan. Lita harus bertanggung jawab untuk semua kesalahan Lita ….”
“Apa si b******k itu nggak mau bertanggung jawab!” ucap Aron penuh emosi.
Talita menunduk, cukup malu juga dengan Aron yang selama ini memperingatkan dia untuk berhati-hati dengan Aska. “Nggak, dia hanya manfaatin aku,” lirih Talita.
“b******k! Lihat saja nanti!” Aron benar-benar terlihat sangat emosi.
“Jangan, Ron! Dia itu seperti ular. Aku nggak mau kamu kenapa-napa. Sudahlah, aku tidak peduli lagi dengan dia, yang terpenting sekarang aku sudah ada pekerjaan untuk bertahan,” ucap Talita pilu.
Adel meneteskan air matanya, dia tidak akan tega melihat Talita seperti saat ini. “Sayang, kamu jangan khawatir, Tante akan membiayai kamu dan calon anak kamu, yang penting sekarang kamu harus kembali ke sekolah.”
Talita menggeleng, menghapus air mata Adel yang terlihat begitu tulus. “Nggak, Tan. Sekolah manapun nggak akan nerima Lita lagi, berita kehamilan Lita udah nyebar kemana-mana.”
“Kamu nggak perlu pergi ke sekolah, kamu akan belajar di rumah, Tante pastikan kamu bisa ikut ujian kelulusan tahun ini.” Adel berusaha menyakinkan Talita.
Gadis itu kembali menggeleng. “Lita hargai niat baik Tante, tapi apa Papa akan membiarkan Tante nolongin Lita? Pasti ‘nggak’! Lita akan berusaha sendiri, Tante jangan khawatir.
“Aku akan bertangung jawab atas bayi itu,” ucap Aron tiba-tiba.
Talita terbelalak. “Nggak! Aku nggak akan mengorbankan masa depan kamu, Ron!” tolak Talita.
“Masa depan Aron nggak akan hilang dengan dia nikahin kamu, Sayang.” Adel ikut meyakinkan Talita.
“Nggak! Aku tetep nggak mau, ini murni kesalahan aku, Tan. Tolong jangan bikin Lita makin bersalah, biarkan Lita menjalani hidup yang sudah Lita pilih, Lita mohon ….” Talita menyatukan kedua telapak tangannya di depan Adel dan Aron, dia hanya ingin Adel dan Aron menerima keputusannya.
“Lit, masa depan aku nggak akan hilang hanya dengan nikahin kamu,” ucap Aron.
“Nggak! Maaf, ini hari pertama aku kerja, kalau Tante sama Aron mau pesen makanan. Silahkan pilih tempat duduk.” Talita berusaha mengalihkan pembicaraan mereka, dia tidak enak juga diperhatikan oleh sesame rekan kerjanya, meskipun dia kenal dengan pemilik restoran, tapi status dia di sini sama-sama karyawan.
“Lit! Jangan keras kepala!” Aron masih berusaha meyakinkan Talita.
“Maaf, silahkan pilih tempat duduknya, temen aku akan melayani kalian.” Talita tidak peduli, dia meninggalkan Adel dan Aron begitu saja.
“Lit!” seru Aron.
Adel menahan tangan Aron yang hendak mengejar Talita, Adel menggeleng. “Nggak sekarang, dia masih terluka,” ucap Adel.
“Tapi, Ma!” protes Aron.
“Jangan, dia akan semakin terluka, yang penting kita selalu ada buat dia,” bujuk Adel.
Aron mengalah, kata-kata mamanya ada benarnya juga. “Baiklah, ayo kita pergi!” ajak Aron, dia mana mau pesan makanan di situ jika yang melayani mereka Talita, dia tidak akan tega melihat Talita bekerja seperti saat ini.
Diam-diam Talita mengawasi Aron dan Adel dari kejauhan tanpa sepengetahuan keduanya. Nana yang berdiri di belakangnya mengusap lembut pundak gadis itu. “Sudahlah, kamu harus tetap tegar,” ucap Nana.
Talita menoleh, merasa tidak enak dengan Nana. “Maaf, Mbak. Padahal ini hari pertama Lita masuk kerja …,” lirih Lita.
Nana tersenyum. “Nggak masalah, Lit.”
“Aku nggak boleh cengeng,” ucap Talita.
“Semangat!” Nana mengankat tangannya, memberikan semangak untuk Talita.
“Iya, harus semangat!” sahut Talita, berusaha tersenyum meskipun hatinya cukup perih melihat kepergian Adel dan Aron.
Waktu terus berputar, suasana restoran semakin ramai kala senja menyongsong, Talita masih sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang pelayan. Ternyata tempat ini cukup favorit untuk kalangan muda-mudi. Hingga tanpa Talita sadari, segerombolan anak muda-mudi memasuki restoran tersebut, Talita yang masih sangat sibuk mencatat setiap menu pesanan sampai dia tidak menyadari siapa yang datang ke tempat kerjanya.
“Hei, pelayan!” panggil seorang anak remaja.
Talita menoleh, hatinya bergetar saat tau siapa rombongan anak remaja tadi, salah satu rekan kerjanya menghampiri mereka. “Silahkan pilih menunya,” ucap seorang pekerja lainnya.
“Kami ingin dia yang melayani kami!” Salah satu dari rombongan anak itu menunjuk ke arah Talita.
Talita mendekat. “Ada apa?!” tanya Talita tanpa rasa canggung sedikitpun.
Si anak remaja yang ternyata Aska, menyunggingkan senyumnya, menatap Talita dengan tatapan penuh ejekan. “Nggak nyangka banget, baru semalam lo udah jadi jongos!” ejek Aska.
“Ya ampun! Ini cewek yang ngerayu Cowok gue kemarin!” celetuk Veronica yang selalu nempel ke Aska.
“Hah! Masa! Nggak level banget!” sahut salah satu anak remaja perempuan yang duduk di sebelah Veronica.
“Ha-ha-ha! Jongos yang mimpinya ketinggian!” celetuk yang lainnya.
Wajah Talita memerah, tangannya mengepal, dia menatap Aska dengan tatapan penuh kebencian. Tanpa mereka duga, Talita mengambil sebuah gelas berisi air putih di sebelah meja mereka, tanpa berpikir dua kali, Talita menyiramkan air itu ke muka Aska, meletakkan kembali gelas tadi, dan tau apa yang Talita lakukan selanjutnya? Dengan sekuat tenaga dia menampar keras pipi Aska. “Jongos lebih mulia dari pada lelaki penebar benih yang nggak tau diri!”