CHAPTER 7 ~ PINDAH RUMAH

1025 Words
"Kita akan tinggal di sini?" Aruna mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan apartemen, yang akan ditempati sebagai tempat tingga barunya dengan Lingga. Desain interior bergaya minimalis itu cukup berhasil menarik perhatiannya. Rapi dan aestetik. Sangat indah dipandang mata. "Iya. Untuk sementara kita akan tinggal di sini. Ini apartemen yang sebelumnya aku tempati," jawab Lingga datar, tanpa menoleh ke arah Aruna yang berdiri di sampingnya. Aruna hanya mengangguk pelan, lalu melirik ke sebelah kiri. Tampak dapur minimalis dengan segala peralatan yang ia tebak sangat mewah dan berkualitas. Beberapa langkah dari dapur, tepat di depannya, tampak sofa hitam bergaya minimalis yang juga lengkap dengan televisi beberapa meter di depannya. Belum lagi beberapa pajangan miniatur dengan jenis berbeda, cukup menghiasi ruangan itu. Seketika perhatian Aruna terhenti pada sebuah potret yang terpampang jelas di dinding ruangan. Foto kebersamaan antara Lingga dengan Arsyla. Tidak hanya itu. Bahkan, foto Arsyla saat sedang sendiri pun juga punya andil dalam mempercantik ruangan itu. 'Ternyata dia secinta itu sama Kak Syla,' gumam Aruna seraya memperhatikan potret Lingga yang tengah memeluk mesra Arsyla. Normalnya, sebagai istri akan cemburu jika melihat suaminya masih memajang foto dengan mantan. Namun, hal itu tidak berlaku sama sekali untuk Aruna, yang memang tidak memiliki rasa apa pun pada Lingga. "Oke! Kamar aku di mana?" tanya Aruna seraya menoleh ke arah Lingga, sesaat setelah selesai mengamati setiap sudut ruangan itu. "Nggak ada," jawab Lingga, singkat dan dingin. "Hah?" Aruna tercengang menatap Lingga dengan mulut sedikit terbuka. "Maksudnya?" tanyanya masih bingung. "Ya, nggak ada. Aku emang punya satu kamar dan itu sudah pasti akan kutempati," jelas Lingga yang tentu membuat Aruna semakin tercengang. Bagaimana tidak? Lantas, tujuan Lingga mengajaknya pindah rumah itu untuk apa, jika di tempat itu pun mereka masih tetap harus tidur satu kamar? "Terus aku di mana?" tanya Aruna lagi sekadar memastikan. "Ya terserah kamu," jawab Limgga sangat santai sambil mengedikkan bahunya. Ia kemudian berlalu begitu saja menuju kamar yang tidak terlalu jauh. "Loh?" *** "Serius, Na?" Oliv menatap Aruna yang duduk di depannya dengan mata membulat, setelah mendengarkan cerita pengalaman Aruna menjadi istri Lingga. "Lo pikir gue bercanda?" Alih-alih menjawab, Aruna malah bertanya balik sambil melirik sejenak ke arah Olive yang tengah menatapnya serius. Wanita itu kemudian melahap sepotong steak miliknya. Meski hari ini ia telah menghabiskan sebagian waktunya untuk bekerja, tetap saja pikirannya masih fokus dengan hari-hari yang akan ia lalu bersama Lingga. Entah apa lagi yang akan terjadi selanjutnya. Setelah dua malam hanya tidur di sofa, mungkin akan ada hal lain yang lebih mengejutkan lagi dalam hidupnya. "Kok dia gitu, sih?" gerutu Olive seraya menatap iba sahabatnya. "Bukannya dia pengusaha sukses? Masa beli rumah satu unit aja nggak bisa. Setidaknya yang ada dua kamarnya gitu?" imbuhnya. Aruna menghentikan kegiatannya sejenak, seolah-olah sedang berpikir. "Entanlah. Mungkin dia nggak mau berkorban banyak buat gue. Lo tahu sendiri, kan? Gue bukan istri yang dia mau," keluh Aruna. Terlihat santai, tetapi tatapan dan ekspresi wajahnya tidak bisa berbohong bahwa ia juga sangat sedih dan kecewa dengan apa yang terjadi padanya belakangan ini. "Lo sesekali harus kasih dia pelajaran, Na. Jangan iya iya aja!" seru Olive mulai geram. Namun, Aruna tidak terlalu menanggapinya. Aruna masih ingat dengan pesan ibunya bahwa seburuk apa pun Lingga adalah suaminya sekarang. Rasanya ia tidak mungkin melakukan hal buruk pada pria itu, kecuali jika memang Lingga telah memperlakukannya sangat keterlaluan. "Tapi Pak Bos gimana? Dia udah tahu kalau lo sudah married?" tanya Olive lagi dengan sedikit mencondongkan badannya ke depan. "Ya, nggaklah! Gue 'kan nikah dadakan, jadi kalau sampai di kantor ada yang tahu tentang pernikahan gue sama Lingga, berarti lo pelakunya!" tukas Aruna. "Masa gue? Nggak mungkinlah gue. Paling si Seno tuh! Dia juga tahu 'kan kalau lo sudah menikah?" bantah Olive jelas tidak akan menerima tuduhan itu, karena selama ini ia cukup bisa dipercaya memegang rahasia sahabatnya. "Seno?" Aruna memegang dagu sambil mengangkat tatapannya. Lagi-lagi ia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Olive yang cukup peka tentu langsung menyadari hal itu. "Kenapa dengan Seno?" Olive menatap penuh selidik. "Kayaknya gue harus kerjasama sama dia," jawab Aruna seraya menurunkan kembali tangannya, lalu melanjutkan kegiatan makan siang sebelum waktu istirahat benar-benar habis. "Kerjasama apa?" Olive semakin penasaran. Ia tidak bisa mencerna begitu saja ucapan Aruna. "Ada nanti," jawab Aruna singkat. "Ayo lanjut! Lima menit lagi waktu break habis." Olive tidak berkomentar banyak. Meski ia masih sangat penasaran, tetapi ia yakin jika sudah waktunya Aruna akan menceritakan hal tersebut. Ia yakin apa yang dikatakan Aruna tentang kerjasama itu, tidak terlalu ada hubungannya dengan pekerjaan mereka. *** Begitu selesai dengan pekerjaannya, Aruna segera pulang. Seperti biasa, ia pulang dengan membawa motor sport pribadi. Terlihat jelas sisi tomboinya saat ia sedang mengendarai motor kesayangan berwarna hitam itu. Belum lagi jaket kulit dan helm serta jeans yang serba hitam, membuatnya tidak mudah dikenali sebagai sosok wanita. Jika yang belum tahu, mungkin akan menganggap bahwa dirinya adalah seorang pria. Ia memang terlahir dari pengusaha yang tak kalah kaya dari orang tua Lingga. Namun, selama ini ia tidak pernah sekali pun memanfaatkan kekayaan mereka hanya untuk menunjang kehidupannya. Buktinya, ia memilih bekerja di perusahaan lain dibandingkan perusahaan orang tuanya. Tepat pukul 17.30 WIB, Aruna tiba di apartemen dan mendapati ruangannya yang begitu gelap. Ia pun segera menyalakan lampu dan merebahkan diri di atas sofa. Sebuah embusan napas panjang pun terdengar lirih dari mulutnya. Lelah? Tentu saja. "Kayaknya dia belum pulang," gumamnya saat tidak mendapati sosok Lingga di sana. "Baguslah! Kalau bisa nggak usah pulang aja, biar aku bisa tidur di kamar malam ini," ucapnya lagi seraya melebarkan senyuman. "Huh, lelah banget hari ini," keluhnya seraya bangkit dari tempat duduk, berniat untuk mengambil air minum. Akan tetapi, baru beberapa langkah ia membuat jarak, tiba-tiba suara bariton mengagetkannya. "Oh ... bagus ya, jam segini baru pulang! Dari mana saja kamu?" Langkah Aruna terhenti. Tanpa berpikir panjang, ia segera membalikkan badan ke arah sumber suara. Matanya membulat seketika saat mendapati Lingga yang baru saja keluar dari kamar. Ah, sial. Ternyata pria itu sudah lebih dahulu pulang. "Ka-kamu?" ucap Aruna masih gugup. "Aku pikir kamu belum pulang," imbuhnya berusaha untuk santai. "Dari mana saja kamu?" serang Lingga seraya menatap tajam, seolah-olah pulang jam segitu adalah kesalahan untuk Aruna. "Aku?" Aruna menunjuk dirinya dengan polos. "Ya kerjalah!" imbuhnya yakin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD