CHAPTER 6 ~ TIDAK SOPAN!

1078 Words
Lingga baru saja keluar dari kamar mandi. Ia tampak berjalan perlahan sambil menggosok rambutnya yang basah menggunakan handuk kecil. Namun, langkahnya mendadak terhenti saat mendapati Aruna yang masih tertidur pulas di atas sofa. "Istri macam apa jam segini belum bangun?" cibirnya seraya menatap sinis. Seketika sebelah sudut bibir pria itu tampak terangkat membentuk senyuman licik. "Istri model begini, kayaknya emang harus gue kasih pelajaran. Biar dia tahu rasa!" Lingga mendekat ke arah sofa. Tidak banyak berpikir lagi, hanya dalam hitungan detik handuk di tangannya melayang dan berhasil menutup wajah Aruna. Hal itu sontak membuat Aruna seketika terlonjak kaget, karena merasakan sesuatu yang basah mengenai wajahnya. Tangannya langsung bergerak meraih handuk itu. Ternyata benar saja apa yang dirasakannya bukan hanya sekadar mimpi. "Apa ini?" tanya Aruna seraya melempar handuknya secepat kilat ke sembarang arah. Wanita itu pun segera bangkit dari tempat tidurnya, lalu mendapati Lingga yang tengah berdiri beberapa langkah darinya sambil melipat kedua tangan di depan d**a. Ia melihat jelas, bagaimana pria itu tersenyum penuh kemenangan. Aruna melirik sejenak handuk basah yang sudah teronggok di lantai, sesaat sebelum ia melayangkan protesnya pada Lingga. "Apa yang kamu lakukan?" serang Aruna tanpa basa-basi. Tentu saja ia geram. Mana mungkin handuk itu tiba-tiba ada di wajahnya jika bukan karena seseorang yang sengaja melakukan itu. Jelas sudah dapat dipastikan siapa pelakunya dan ia sangat yakin jika orang itu adalah Lingga. Ya, tentu saja. "Punya sopan santun sedikit, nggak?" sergah Aruna lagi seraya menatap kesal wajah Lingga. Ah, rasanya baru satu malam saja berada satu kamar dengan pria itu, membuatnya sudah kehabisan kesabaran. Ia yang notabene terkenal sebagai wanita yang sedikit tomboi dan pemberani, tentu tidak akan tinggal diam jika diperlakukan semena-mena. Mungkin tadi malam ia masih bisa sabar menghadapi sikap Lingga, tetapi tidak untuk sekarang. Ia memang bukan istri yang diinginkan. Namun, bukan berarti ia boleh diperlakukan seenaknya seperti itu. Bukankah ia juga sudah berusaha menghargai Lingga? Rasanya tidak adil jika ia mendapatkan balasan yang tidak setimpal. "Nggak usah bahas-bahas sopan santun! Ngerti apa kamu tentang sopan santun?" tegas Lingga terlihat santai dan tidak peduli dengan kegeraman Aruna saat ini. Aruna bangkit dari tempat duduknya, berusaha menunjukkan keseriusannya saat itu. "Kamu tuh bisa nggak, sih, memperlakukan cewek sedikit lebih lembut. Aku tuh kayak nggak ada harga dirinya banget di mata kamu!" protes Aruna masih belum ingin menyerah. Walau bagaimanapun apa yang Lingga lakukan adalah salah. Setidaknya pria itu harus minta maaf. Alih-alih menyadari kesalahannya, Lingga justru menatap remeh Aruna. Ia mengamati wanita di depannya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tidak ada perubahan sama sekali. Semuanya masih terlihat sama seperti sebelumnya, tidak ada yang menarik. "Cewek? Emangnya kamu cewek?" celetuk Lingga sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Kamu—" "Nggak usah cerewet! Buruan mandi dan siap-siap!" pungkas Lingga tidak ingin memberi Aruna kesempatan lagi untuk berbicara. Aruna sedikit tercengang mendengar pernyataan itu. Ia tidak mengerti mengapa Lingga mendadak memintanya untuk bersiap-siap. Memangnya pria itu akan mengajaknya ke mana? Begitu pikirnya. "Siap-siap? Emangnya kita mau ke mana?" tanya Aruna menurunkan nada bicaranya. Aruna menatap Lingga yang sudah membelakanginya, menunggu jawaban. "Pindah rumah!" "Hah?" Aruna semakin tercengang. Tidak bisa! Ini tidak bisa dibiarkan. Tentu saja ia tidak mau pindah dari rumah itu. Di rumah sendiri saja Lingga bisa memperlakukannya semena-mena, bagaimana jika di tempat lain. Terlebih lagi jika ia hanya tinggal berdua dengan pria itu. Tamat sudah riwayatnya. "Nggak mau! Aku nggak mau pindah rumah!" tolak Aruna dengan tegas. Mendengar pernyataan itu, Lingga kembali membalikkan badan seraya menatap sinis. Tentu saja ia tidak menerima penolakan kali ini. "Setuju atau nggak, kita tetap akan pindah rumah!" tukas Lingga penuh penekanan. "Tapi—" "Kamu mau cari masalah dengan terus tinggal di sini, hah?" pungkas Lingga seraya melempar tatapan tajam. Aruna langsung bungkam dan hanya bisa memberengutkan wajah. Kali ini ia mengindahkan perkataan Lingga. Tentu akan timbul masalah besar, jika selamanya tinggal dengan orang tua. Cepat atau lambat, kedua orang tuanya akan tahu bahwa mereka tidak menjalani rumah tangga dengan seharusnya. Apa yang mereka jalani dan sepakati seperti sebuah sandiwara. Namun, tak ada yang bisa memungkiri bahwa mereka telah terikat sah secara hukum dan agama. Saat kegiatan sarapan, Lingga secara terang-terangan menyampaikan kepada kedua mertuanya bahwa ia akan membawa Aruna untuk pindah rumah. Terus-terusan tinggal di rumah itu dalam waktu cukup lama, hanya akan membuatnya merasa hidup seperti di dalam penjara. Tidak akan ada kebebasan. "Loh, apa nggak terlalu cepat? Lagipula, kalian baru sehari menikah, apa nggak sebaiknya tinggal di sini dulu untuk sementara waktu?" tanya Indra sejenak menghentikan kegiatan sarapannya. Pria paruh baya itu menatap Lingga dan Aruna secara bergantian. Tentu ia sedikit terkejut mendengar kabar itu. Ia pikir, Lingga dan Aruna akan tinggal sementara bersamanya. "Maaf, Pa, tapi kita sudah sepakat untuk pindah. Lagipula, kami juga harus belajar memulai hidup mandiri, supaya tidak selalu bergantung pada kalian," jelas Lingga dengan nada sangan sopan, ditambah lagi senyum simpul yang terlihat menyejukkan. Berbeda sekali saat sedang berbicara dengan Aruna. 'Cih! Sok manis!' umpat Aruna dalam hati, yang sedari tadi berusaha melirik Lingga yang duduk di sampingnya. "Baiklah, kalau memang itu mau kalian. Papa sama Mama pasti dukung, kalau memang tujuannya untuk kebaikan," balas Indra lagi seraya melempar senyum bahagia. Ia tidak menyangka jika Lingga dan Aruna bisa terlihat sangat rukun, meski mereka menikah karena terpaksa. "Terima kasih, Pa, Ma," ucap Lingga, senang. Sementara itu, Aruna hanya diam. Wajahnya terlihat sedikit kecut. Di satu sisi, ia senang karena bisa jauh dari kedua orang tuanya. Setidaknya, kehidupannya dengan Lingga tidak akan terlalu terpantau. Akan tetapi, di sisi lain ia juga merasa tidak senang, karena walau bagaimanapun ini akan menjadi awal dari kehidupannya yang buruk. "Ingat apa kata Mama dan Papa, jagalah marwahmu sebagai seorang istri. Kalau sama suami itu harus hormat, nurut, dan jangan membantah. Walau bagaimanapun Mas Lingga ini suamimu sekarang. Dia yang akan bertanggung jawab atasmu," tutur Nirmala setelah menyelesaikan kegiatan mereka. "Iya, Ma," lirih Aruna, mengangguk dengan sedikit terpaksa. "Maaf, sepertinya Papa dan Mama tidak bisa mengantar kalian. Rencananya hari ini kami mau mencari Arsyla lagi," ujar Indra lagi yang berhasil membuat Lingga tertegun sejenak, saat mendengar nama Arsyla disebut. Namun, secepat kilat ia berusaha untuk fokus kembali. "Oh, tidak apa-apa, Pa," jawab Lingga sedikit antusias. 'Itu jauh lebih baik,' batinnya melanjutkan. Akan tetapi, pikiran Lingga kembali terganggu. Bagaimana jika nanti Arsyla ditemukan, sedangkan ia sudah menikah dengan Aruna? 'Tidak! Kalau sampai Arsyla ditemukan, aku akan secepatnya menceraikan Aruna dan menikahi Arsyla!' tegas Lingga dalam hati. Pria itu kemudian mendelik ke arah Aruna. 'Lihat saja, Aruna! Aku akan membuat hidupmu lebih buruk daripada tadi malam!'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD