CHAPTER 8 ~ SENI MENGELABUI MONSTER KUTUB

1096 Words
"Kerja? Kamu bilang kerja? Emangnya ada kerja sampai sesore ini?" Lingga menyerang Aruna dengan beberapa pertanyaan, seolah-olah tidak percaya dengan jawaban Aruna. "Menurut kamu?" "Oh ... udah berani ngelawan sekarang?" Lingga melipat kedua tangannya di depan d**a. "Bagus!" serunya yang lebih ke arah menyindir. "Nggak usah cari gara-gara, deh!" Aruna beranjak dari tempat itu. Berdebat dengan Lingga membuat tenggorokkannya semakin kering saja. "Aku capek. Lagi nggak mau debat!" tegas Aruna seraya menuangkan air ke dalam gelas yang baru saja diambilnya dari rak. Pandangannya tidak fokus ke arah Lingga yang masih menatapnya geram. Rasanya ia menyesal karena sebelumnya tidak berusaha memeriksa keberadaan Lingga di sana. Harusnya ia tidak seceroboh itu. Sial. "Bikinin aku makan!" Perintah Lingga berhasil membuat Aruna yang tengah meneguk minuman seketika menghentikan kegiatannya. Dengan perlahan, Aruna menurunkan tangannya. Menyimpan kembali gelas itu di meja mini bar di depannya, lalu melirik ke arah Lingga. "Kamu belum makan?" tanya Aruna sedikit tidak percaya. "Kamu pikir, aku semaruk itu sampai harus makan berkali-kali?" tukas Lingga seraya menatap sinis Aruna. "Aku cuma bisa masak mie instan," ucap Aruna memberi tahu. Mendengar pengakuan tersebut, Lingga langsung memejamkan mata sambil mengeratkan giginya, kesal. "Kamu tuh bisanya apa, sih? Nggak ada manfaatnya banget! Kalau gini caranya, lama-lama aku bisa mati kelaparan!" Lingga menggerutu kesal. "Ya udah, sih, delivery order aja apa susahnya? Nggak usah ribet!" ucap Aruna menyarankan. Bukan hal yang begitu mengejutkan bagi Lingga. Menurutnya, wanita tomboi modelan Aruna memang tidak mungkin bisa masak. Ya, ia sudah bisa menebak dari awal. Ah, padahal ia sengaja ingin mengerjai wanita itu. Alasannya tentu karena supaya Aruna tidak betah tinggal dengannya. "Aku nggak mau tahu, bikinin aku makanan sekarang juga!" tolak Lingga tetap pada pendiriannya. Ia kemudian membalikkan badan, berjalan menghampiri sofa. "Tapi—" "Aku nggak menerima penolakan!" sergah Lingga seraya mengangkat sebelah tangannya, tanpa membalikkan badan ke arah Aruna. Seumur-umur Aruna memang tidak pernah belajar memasak. Seperti yang dikatakannya bahwa ia memang hanya bisa masak mie instan, atau paling tidak masak telur ceplok. Lagipula, sejak duduk di bangku SMP, ia jarang sekali berada di rumah. Ia lebih senang menghabiskan waktu di rumah teman-temannya atau hanya sekadar nongkrong tidak jelas. Hal itu membuatnya menjadi semakin jauh dengan sosok mama, sehingga ia tidak bisa melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh anak perempuan. Akan tetapi, ia melakukan hal itu juga bukan tanpa alasan dan lagi-lagi hal itu terjadi karena Arsyla. Perhatian kedua orang tuanya yang lebih condong kepada Arsyla, membuatnya merasa iri. Setidaknya, ia tidak akan terus-terusan melihat keharmonisan mereka, jika menghabiskan banyak waktu di luar. Ah, bahkan dirinya yang selalu menjadi siswa berprestasi di sekolah, tetap tidak membuat kedua orang tuanya terlihat begitu bangga. Jika saat ini Lingga berusaha membuatnya tidak betah tinggal di tempat itu, tentu tidak akan terlalu menjadi masalah bagi Aruna. Sebab, Aruna sudah terbiasa tinggal di rumah yang membuatnya tidak betah. "Maaf, aku cuma bisa masak mie instan aja. Aku takut kamu keracunan, kalau aku tetap paksain buat masak makanan lain." Aruna meletakkan sebuah mangkuk mie instan yang masih mengepul di atas meja, tepat di depan Lingga. Aruna menatap iba suaminya. Sejahat apa pun Lingga padanya, tetap saja ia tidak tega karena hanya bisa menyuguhi pria itu semangkuk mie instan. 'Ah, salah sendiri. Kenapa nggak dengerin saran gue?' bisik Aruna dalam hati, berusaha untuk tidak peduli. Tidak ada pilihan lain. Lingga pun dengan terpaksa meraih mangkuk mie itu, lalu mencicipinya perlahan. "Kamu sudah gila? Sengaja mau bikin aku darah tinggi?" Aruna mengejang kaget. Langkahnya seketika terhenti. Secepat kilat ia membalikkan badan. Ekspresi wajahnya pun berubah dalam hitungan detik. Terlihat jelas raut ketakutan di sana. Padahal sebelumnya ia tidak pernah terlihat setakut itu pada Lingga. "Maksud kamu apa?" tanya Aruna baik-baik. "Mie-nya asin banget, Arunaaa," geram Lingga seraya mengeratkan giginya sambil mengepalkan kedua tangan. "Ah, sorry banget. Biar aku tambahkan air lagi." "Nggak usah! Nafsu makanku sudah hilang!" tukas Lingga saat Aruna baru saja akan mengambil kembali mangkuk itu. Pria itu langsung bangkit dan beranjak dari tempat itu, setelah meneguk setengah minumannya. Ia kemudian masuk kamar tanpa berkata apa pun lagi. Sementara itu, Aruna hanya mengedikkan bahu sambil mengangkat kedua tangannya. Namun, seketika ia membulatkan mata saat mengingat sesuatu. Secepat kilat ia menyusul Lingga dan berusaha membuka pintu kamar itu. Namun, sial. Kamar itu telah dikunci. Terpaksa ia pun harus mengetuknya. "Kak Lingga, buka pintunya! Aku mau mandi!" panggil Aruna tak berhenti mengetuk pintu itu berulang kali. Namun, tidak ada tanggapan dari Lingga yang jelas sudah berada di dalam sana. Ia memang tidak mendapatkan hak tempat tidur selama tinggal di apartemen itu. Namun, semua pakaiannya disimpan di lemari yang sama dengan Lingga. Wajar saja jika ia ketar-ketir saat mendapati Lingga yang mengunci kamar dan tida membiarkan dirinya untuk masuk. "Kak Lingga, buka dulu sebentar! Aku mau mandi!" teriak Aruna lagi, masih belum ingin menyerah. "Jangan ganggu aku!" sahut Lingga dari dalam kamar. Aruna berhenti sejenak, tetapi kemudian mengetuk pintu itu lagi. "Aku mau ngambil baju dulu. Kamu paham nggak, sih? Gimana aku mau mandi kalau baju gantiku di dalam semua? Tolonglah, Kak," pinta Aruna memohon. Sayang sekali. Lingga masih bergeming dan terkesan tidak peduli. Buktinya tidak ada pergerakkan apa pun dari pria itu, meski Aruna sangat memohon. "Susah banget luluhin dia. Terus gue harus gimana?" Aruna memasang ekspresi sedih. Dengan terpaksa ia pun beranjak dari tempat itu dan kembali duduk di sofa. Sesaat kemudian ia menengok ke kanan dan kiri, berusaha mencium bau badannya. Ia merasa sudah tidak karuan karena seharian bekerja. Rasanya semua badan lengket semua. Berharap Lingga akan berubah pikiran. Namun, setelah beberapa saat menunggu, pria itu masih saja tidak keluar dari kamar. Hingga ia memutuskan untuk memainkan ponselnya, sekadar mengisi kejenuhan. Namun, tiba-tiba sebuah ide pun muncul di kepalanya. Aruna menjentikkan sebelah tangannya dengan antusias, sementara tangan yang lain tampak masih memegang ponsel. "Aargh!" Suara jeritan Aruna seketika memenuhi isi ruangan. "Argh! Kak Lingga, tolong!" teriaknya lagi seraya melirik ke arah kamar sambil menghitung dalam hati. Tepat di hitungan ketiga pintu itu terbuka. "Ada apa?" Lingga bertanya dengan wajah khawatir dan mata yang sedikit membulat. Meski ia terkesan tidak pernah suka pada Aruna, tetap saja ia masih punya perasaan. Tentu ia tidak akan tinggal diam jika terjadi sesuatu yang buruk pada Aruna, terlebih lagi saat sedang berada di apartemennya. Ia bisa digantung hidup-hidup oleh mertuanya, jika sampai sesuatu yang buruk terjadi pada wanita itu. Tidak ingin hilang kesempatan. Aruna segera bangkit dan berlari menghampiri Lingga yang berdiri beberapa langkah darinya. Ia kemudian berhenti sejenak tepat di samping pria itu. "Aku kalah main game!" seru Aruna, lalu berlari kembali memasuki kamar. Hal itu sontak membuat Lingga semakin geram. "Arunaa!!" teriak Lingga. Namun, Aruna telah raib ditelan pintu kamar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD