7. Bertemu Kembali

1585 Words
7. Bertemu Kembali Ammar mengucap salam disertai langkah menuju ruang tamu Ndalem. Namun agak terkejut saat netranya memantau seseorang yang sedang duduk di seberang Buya Zaid. Sunggingan senyum mencuat dari rahang Ammar. Dia mengingat orang yang juga sekarang tersenyum ke Arahnya. "Pak Hanif ...," ucapnya kaget, sejurus kemudian mendekat dan menyalami Pak Hanif. "Pak Ammar di sini juga? Kebetulan sekali kita bertemu lagi di sini." "Iya Pak, coba aku mengajar juga di sini." Pak Hanif tampak semringah mendengar perkataan Ammar. "Ma Syaa Allah tolong sekali, agar aku bisa meminta tolong sama Pak Ammar," ujar Pak Hanif berapi-api. Ammar masih belum disetujui maksudnya Pak Hanif. Tapi dia tebak, mungkin Pak Hanif akan meminta tolong untuk mengajarnya. "Abdullah ..." Ammar menoleh langsung saat mendengar panggilan dari Buya Zaid. Ueporia bertemu dengan Pak Hanif sedikit membuat Ammar lupa kalau di ruang juga ada Buya Zaid. " Afwan Buya, sampai lupa," tukas Ammar menggaruk tengku sendiri, dinyanyikan dengan Buya Zaid, lalu membungkuk dan mencium punggung tangan Buya. " Kamu! Obrolan saja dulu sama Buya. Buya mau ke kamar dulu, lupa belum minum obat. Nak Hanif aku tinggal dulu ya, monggo rembugan sama Ammar, dia itu cucu aku." pamit Buya Zaid. (Harap diskusi) "Oh, Pak Ammar ternyata cucunya Abbah? Ma Syaa Allah, pantas auranya saja beda." Pak Hanif dibuat kagum saat mendengar penjelasan Buya Zaid. Lengkungan senyum menampil dari rautnya yang sedikit disambut keriput. "Buya mau Ammar antar?" Tawar Ammar. "Sama Budhemu saja, lanjutkan pembicaraan Buya sama Pak Hanif, Le, Buya atau suwe kuat lungguh. " (Nggak kuat duduk lama-lama) " Nggeh Buya." Sepeninggal Buya Zaid, Ammar melanjutkan obrolannya dengan Pak Hanif. Diamatinya lelaki kembali baya tersebut kembali menampakkan wajah sendu. Ammar jadi bingung ingin memulai obrolan ini dari mana. "Pak Ammar, sudah lama mengajar di sini?" akhirnya Pak Hanif mulai suara duluan. "Alhamdulillah, Pak, saya besar di lingkungan pesantren ini. Lepas S1 di Kairo, saya langsung ikut bantu-bantu mengajar di sini." cerita Ammar pada Pak Hanif. "Oh iya, Pak Hanif sendiri ada keperluan apa? Apa Pak Hanif ini salah satu donatur tetap di sini ya?" sambung Ammar menebak. Pak Hanif mengangguk. Namun kemudian tatapannya menerawang. Seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. "Iya Pak Ammar, tapi selain itu selamat datang ke sini adalah untuk mengantar anak saya. Mulai hari ini dia akan tinggal di pesantren ini, makanya sambil kembali bertemu Pak Ammar, saya minta tolong agar Pak Ammar membimbing anak saya, biar dia bisa patuh dan menemukan jati dia sebagai muslimah sejati. " "Maaf, Pak Hanif, apa dia adalah anak yang kemarin pernah menghadiri Bapak ceritakan?" Lagi-lagi Ammar menebak. Dalam bayangannya muncul gambar yang diceritakan oleh Pak Hanif. Meski Ammar belum pernah bertemu dengan anak tersebut, tetapi Ammar bisa menilai sifat dan karakternya yang kata Pak Hanif. "Iya Pak Ammar." "Panggil Ammar saja, Pak, ini kan di luar kantor. Biar nggak terlalu formal." "Iya Pak, eh, Ammar. Kalau begitu kamu juga panggil Om saja, biar lebih akrab." "Siap Oom!" Ammar tersenyum semringah. Merasa senang bisa seakrab ini dengan Pak Hanif. Meskipun berbincang lumayan lama. Pak Hanif banyak bercerita tentang putri semata wayangnya pada Ammar. Aisyah Ayudia Prameswari. Nama yang cantik menurut Ammar. Namun mengapa nama seislami bisa memiliki sifat yang jauh dari kata shaliha. Ammar menghela napas. Dia lupa satu hal. Apapun nama cantik tidak bisa menjadi acuan sikap seseorang. Memang, Allah dan Rasulullah menerima setiap muslim untuk memberikan nama yang bagus dan baik untuk setiap anak yang dilahirkan. Tersebab nama adalah bentuk lain dari lantunan doa tak terucap yang akan disandang seumur hidup. "Maaf Oom, mengapa putri Om bisa salah pergaulan? Apa selama ini dia kurang mendapat perhatian dari orangtuanya? Setahu Saya, itu juga membantu penting dalam pembentukan karakter seorang anak." Ammar berspekulasi. Dia turut prihatin dengan Pak Hanif. Sebagai ayah, pasti batinnya terluka saat melihat putri satu-satunya tidak mau mendengarkan nasihatnya. Padahal biasanya anak perempuan itu paling dekat dengan yang direkomendasikan. Ammar bisa tahu karena dia melihat sendiri bagaimana kedekatan Shaqila dengan Ammi Ilham-komitmen. Menyebut nama Shaqi dalam hati, dan Ammar tersenyum miring. Mungkin saat ini tanggal pernikahan Azra dengan Shaqi sudah ditentukan. "Semua memang salah saya, dan saya tidak menghabiskan waktu hanya untuk bisnis dan mencari uang, pasti Aisyah bisa dekat dengan saya. Saya baru dapat membangun hubungan dengan anak yang jauh lebih penting dari uang dan bisnis." Pak Hanif menunduk usai berucap. "Sabar Om, jangan menyalahkan dirimu sendiri. Belum terlambat, masih bisa diperbaiki. Sudahkah sudah jelas dijelaskan dalam Alquran, demikian pula karakter empat anak di dunia ini yang akan dibahas oleh setiap orang. Dalam Surah Al-Anfal, ayat 28, Allah berfirman , 'Dan ketahuilah, merupakan hartamu dan anak-anakmu yang merupakan ujian coba dan sisi kanan Allah-lah pahala yang besar'. Anak-anak bisa menjadi ladang fitnah. Begitu pula dalam Surah Al Kahfi ayat 46 yang mengatakan sebagai anak anak ZIINATUN HAYAT, atau Perhiasan Dunia. Mendukung dalil di dalam surah tersebut, membantah: 'Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik untuk harapan.' Lalu, ada ADUWWUN, atau musuh yang nyata bagi kedua orangtuanya. Ammar menjelaskan perihal karakter anak sesuai isi dalam Alquran. Pak Hanif terlihat berkaca-kaca. "Aku tidak tahu Aisyah termasuk yang mana, Ammar. Aku dianggap gagal sebagai Ayahnya." "Jangan berputus-asa, Om. Baru tiga karakter yang saya sebutkan, tapi masih ada QURROTA A'YUN, atau pengawas hati untuk ayah dan ayah. Terus doakan yang baik-baik. Dalam doa Shaa Allah, Aku akan membantu kebebasan jika Om memberi kepercayaan. " Pak Hanif sampai menitikkan air di kedua sudut mata. Merasa malu pada Ammar. Dia malah tidak mengenal karakter Aisyah putrinya sendiri. "Terima kasih sekali Ammar. Saya sangat percaya, menitipkan di sini adalah jalan yang paling baik untuk Aisyah. Semoga setelah ini dia bisa berubah menjadi lebih baik." "Aamiin. Di Shaa Allah, Om." Biarkan menghela napas lega. Baru Ammar ingin beranjak sebentar untuk mengirim Buya Zaid, tetapi dari pintu menerobos seseorang dan langsung berdiri di sebelah Pak Hanif. "Papaaa! Ayudia Pokoknya enggak mau tinggal di sini! Ayudia mau pulang aja, Pap. Di sini enggak enak, kamarnya sumpek, nggak ada AC-nya. Pokoknya Ayudia enggak mau!" protes gadis yang sekarang mencak-mencak di sebelah Pak Hanif.  "Aisyah, jaga sikap kamu. Keputusan Papa sudah bulat, mulai hari ini Aisyah akan tinggal di sini. Semua demi kebaikan kamu, Nak," Ammar hanya menjadi penonton sejak tadi. Dari jarak beberapa meter dia sibuk menyaksikan sang gadis. Seperti tidak asing. Namun Ammar masih sulit mengingat di mana mereka pernah bertemu. Suara itu seperti pernah terdengar sebelum ini. Dan gayanya saat tidak menerima dengan kondisi yang sama dengan bayangan yang pernah dia temui. Namun gadis yang ditemuinya kemarin 'kan tidak berjilbab. Malah menurut Ammar sangat sulit dalam diambil. Sedang yang sekarang ini ada di depan mata sangat berbanding terbalik. Gadis itu memakai gamis berwarna hijau lengkap dengan handshock berwarna cokelat tua senada dengan warna khimarnya. "Ekheem! Maaf, Om Hanif, aku pamit segera ya, Om Hanif silakan isi formulir biodata untuk diambil yang mau mondok di sini." "Lo, kan! Yang waktu kemarin nabrak gue di mal!" gadis yang berbalik putri Pak Hanif yang langsung memandang Ammar dengan tatapan sinisembali todongan kata. "Aisyah, jaga bicaranya Nak, yang sopan sama Gus Ammar. Mengagumi ini cucu dari pemilik pesantren ini." Ammar ingin pamit segera. Dia senang mungkin Pak Hanif butuh waktu bicara berdua dengan putrinya. Sungguh luar biasa. Ternyata benar dia pernah bertemu dengan gadis itu. Gadis yang dia temui kemarin siang di mal saat sedang buru-buru, dan gadis yang sempat marah-marah karena tidak terima saat dia terjatuh karena tidak sengaja bersenggolan dengan Ammar. "Lo belum membayar ganti rugi ya sama gue! Ini, kan, kartu nama yang lo terima kasih ke gue waktu itu. Abdullah Ammar Zaid." Putri Pak Hanif mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempangnya. Sebuah kertas kecil yang mengembalikan kartu nama pemberian Ammar kemarin. Dia langsung menodong Ammar dengan ganti rugi yang kemarin telah dijanjikan. Alih-alih kaget, Ammar malah menerima gemas dengan gadis tersebut. Jika dilihat-lihat, sepertinya Ammar diambil jika putri Pak Hanif itu hanya kurang perhatian saja. Buktinya dari perkataan dan gaya bicaranya terdengar jelas, sangat manja saat berbicara. "Aisyah! Yang sopan, jaga sikap kamu." Kali ini nada bicara Pak Hanif lumayan dinyatakan. "Tidak apa Om, aku memang punya utang sama putri Om Hanif," sahut Ammar menengahi. "Lho, Ammar sudah kenal sama anak saya?" "Belum, tapi kemarin nggak sengaja ketemu waktu kita mau ketemu, dan aku nggak sengaja nabrak dulu Om Hanif ini." Ammar menjelaskan tentang pertemuan singkatnya dengan Aisyah siang itu. "Tenang saja, Aisyah ---" "Ayudia! No Aisyah, ya!!!" tepis gadis itu dengan cepat saat Ammar menyebut namanya. "Kenapa memangnya dengan nama Aisyah? Kan, cantik namanya." "Enggak suka. Norak dan kampungan!" sahut gadis itu dengan wajah memberengut. "Kalau saya maunya manggil pakai nama Aisyah, gimana?" "Terserah lo ya, emang gue peduli!" "Aisyah, Gus Ammar ini salah satu Ustaz di sini, jaga bicaranya." "Papa..." "Tidak untuk kali ini, Aisyah! Atau Papa akan meninggalkan kamu di sini selamanya. Enggak akan Papa jenguk sekalipun!" Mulut Aisyah langsung mengatup rapat. Kedua pipinya menyembul merah. Seperti menahan kesal. Tangannya memainkan ujung jilbab yang dikenakan. "Minta maaf sekarang juga sama Ustaz Ammar, Aisyah!" perintah Pak Hanif. Aisyah bergeming. Napasnya naik-turun mendengarkan bentakan diundang. Gadis itu menerjemahkan pada Ammar. Kedua bola mata tampak tajam, seakan kesalnya sudah dipuncak ubun-ubun. Terlihat jelas dari raut wajah, sampai giginya terdengar bergemelutuk seperti tertunda meledak. "Sudah, sudah Om, tidak apa-apa, mungkin Aisyah perlu waktu buat disetujui di sini. Lebih baik Aisyah siap-siap ya, setelah ini saya antar pondok putri." Ammar tidak membantah pertemuannya dengan Pak Hanif, membawa kembali pertemuan dengan gadis itu. Skenario Allah yang unik, tidak bisa ditebak dengan nalar. Kun Faayakun, jika Allah sudah menghendaki agar, maka jadilah. ************ ***********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD