6. Restu Ammi
*******************************
"Abang Ilham kok gitu sih?"
Ummi Illyana tidak terima dengan Ammi Ilham. Merasa belum apa-apa yang sudah ditentang. Sebelumnya dulu Ammi Ilham mengambil Fazha dari mereka saat masih menikmati sembilan belas tahun, tidak jauh berbeda dengan Shaqila kini.
"Bukan begitu Illyana, wajar kan kalau dilepaskan Syaqi aku tuntut syok. Lebih dulu ini nggak pernah terlihat Azra dekat dengan Shaqila. Atau jangan-jangan selama ini kalian diam-diam pacaran ya!" Sarkas Ammi.
"Astagfirullah, demi Allah nggak sama sekali Ammi. Azra baru mengungkap sekarang ini, di depan Ammi langsung sebagai walinya Dek Shaqi."
"Bang Ilham berpikirin lagi deh, jangan langsung suudzon begini, nggak ada yang mau menerima Shaqi, kami datang dengan niat baik, mau mengkhitbah putri Bang Ilham." Abi Ghaly angkat suara. Lebih lanjut tentang tugas langsung.
"Iya paham Ghaly. Tapi, rasanya baru kemarin aku gendong Shaqi, masa iya sekarang udah mau nikah aja. Penginnya dia sekolah dulu, lulus trus wisuda, baru nanti nikah sudah."
"Bang Ilham sudah menikahi Fazha waktu Fazha udah lulus apa belum?" tembak Ummi Illyana.
Ammi Ilham terlihat bingung, menggaruk tengkuknya sendiri karena tidak bisa menjawab pertanyaan Illyana.
"Ya, kan kami sama-sama cinta, yang namanya cinta, dari zina ya mending nikah."
"Lha terus apa bedanya sama Azra dan Shaqila sekarang,
"Yabuset! Yaudah iya ... Iya deh, iya ... aku kalah. Oke, aku ijinkan Azra melamar Shaqi, tapi nanti ada syaratnya!"
Ammi Ilham menyerah. Bersamaan semua merapal hamdalah. Terutama Azra. Lelaki itu mengembuskan napas diiringi dengan lengkungan senyum tipis. Raut aktif membias lega.
"Dunia ini emang selebar daun kelor, masa iya ketemunya sama kalian lagi, kalian lagi. Kemarin jadi mertua, sekarang jadi besan. Ya Tuhan," ucap Ammi Ilham menepuk keningnya sendiri.
"Yaelah, enak 'kan, nggak usah jauh-jauh, masih satu keluarga."
"Kalau gitu biar aku panggil Shaqi dulu, ya." Biya Fazha akan berdiri dan memanggil Shaqi, tetapi ditangkap oleh Ammi Ilham.
"Jangan Sayang, biar Ayah saja, pasti sekarang gadis kecilku lagi ngambek," ucapnya kemudian tiba dan melangkah ke kamar Shaqila.
***
"Shaqi, buka pintunya dong Sayang!"
Sampai di depan kamar Shaqi, gadis itu membuka diri di dalam. Ammi sempat mengetuk beberapa kali tetapi tidak ada jawaban.
"Shaqila Sayang Ayah, ada yang mau Ayah bicarain, buka ya pintunya, Ayah mau minta maaf sama Shaqi."
Suara Ammi Ilham dibuat selembut mungkin. Syaikhila itu melahirkan perasa sekali. Mirip seperti Fazha. Kalem dan tidak bisa disenggol sedikit, pasti langsung mewek.
Ketipak melangkah mundur ke daun pintu, detik berikutnya bunyi klik dari anak kunci yang diputar. Pintu terbuka lebar, Shaqila berdiri tepat di sana dengan wajah sembab dan sisa airmata.
Ammi Ilham langsung menarik putrinya tersebut, menyenderkan kepala Shaqi di d**a, dan juga menambahkan titik-titik dari sisa tangisan Shaqi.
"Anak Ayah kok mewek, nanti cantiknya ilang lho!"
Shaqila malah terisak dalam dekapan yang diusahakan.
"Ayah jahat sama Shaqi. Ayah nggak pernah dengerin pendapat Shaqi, padahal dari dulu Shaqi sudah berhasil buat anak yang baik buat Ayah dan Biya. Shaqi nggak pernah membantah segala yang Ayah dan Biya bilang. Memang salah ya, Yah, kalau Shaqi mau nikah sama Mas Azra. "
Rentetan panjang dari bibir Shaqila saat sudah agak tenang. Ammi Ilham tidak menyahut, tetapi menerima Shaqila untuk mencurahkan semua unek-uneknya.
"Udah?" tukas Ammi Ilham.
"Ayaaah!" rengek Shaqila.
Tidak menjawab, tapi Ammi Ilham menggandeng Shaqila dan menjawab duduk di sofa.
Kedua tangan Ammi membingkai wajah Shaqila. Sekali lagi, ingat kembali sisa airmata sang putri.
"Dengerin Ayah ya," ucapnya lembut pada Shaqi. "Ayah cuma nggak merestui Shaqi sama Azra. Ayah cuma kaget saja, kalian ini kan kan sepupu, masih nggak nyangka Shaqi bisa suka sama Azra."
Shaqila menunduk dalam saat membicarakan bertutur.
"Maaf Ayah," sahutnya dengan wajah membias merah karena malu.
"Ayah nggak marah Sayang. Ayah cuma merasa takut."
Ungkapan Ammi Ilham berhasil membuat Shaqila mengangkat wajah kemudian mulai mencari lekat.
"Takut apa Yah?"
"Ayah takut kalau nanti Shaqi udah nikah, Ayah nggak bisa lagi dekat sama Shaqi." Pandangan Ammi Ilham menerawang, seperti mengingat sesuatu dalam benaknya. "Dulu rasanya baru kemarin Ayah gendong Shaqi, main-sama sama Shaqi, nggak terasa sekarang gadis kecilnya ayah sudah beranjak dewasa. Sudah terasa dewasa cinta, dan mau lagi mau menikah." raut Ammi Ilham mengubah sendu saat berkata. Shaqila bisa melihat sorot sedih di kedua netra sang ayah.
"Ayah, buat Shaqi, Ayah itu cinta pertama. Ayah akan tetap ada di hati Shaqi sampai kapan pun." Shaqila jadi menitikkan air kembali.
"Ayah."
"Apa? Udahan meweknya, jelek lho, nggak gemesin lagi, jadi pengin nyubit itu jahat merahnya."
"Ayaah, ish!"
"Bercanda, Sayang.
"Ayah dulu sama Biya nikah waktu Biya masih seumuran Shaqi, kan?"
"Iya, betul. Dulu Ayah menikah sama Biya, waktu Biya masih seumuran Shaqila."
Ammi Ilham menerawang. Suka mengingat kembali masa-masa saat dulu dia menikahi Fazha. Sebersit rasa salah beralih pikirannya, saat dia begitu posesif terhadap Shaqi, sekarang sudah dia menikahi Fazha waktu baru menginjak umur sembilan belas tahun.
Ammi Ilham mengurai pelukannya pada Shaqi. Kedua tangan membingkai wajah sang putri, mata mereka bersitatap. Pria itu menghela napas dalam, kemudian mengembuskan dengan lambat. Ada atmosfer lega dalam rongga d**a.
Sebagai ayah, tadinya dia berharap akan bisa terus bersama putrinya. Dia lupa satu hal, yang sangat putri harus beranjak dewasa, tidak tertutup yang harus dilalui langkahnya mencapai, Shaqi dipertemukan jodoh oleh Allah.
"Ayah merestui bila Shaqi mau menikah sama Azra," ucapnya pelan dan lembut pada Shaqi. "
Shaqila tertegun. Baru saja mengira berhasil benar-benar kekeh tidak mau merestui, dia mungkin salah satu. Sudut bibir Shaqi yang dicari, yang digambarkan lengkung senyum. Matanya berkaca, lalu kembali pertimbangan pada kembali sang ayah.
"Ayah, terima kasih." ucap Shaqila terharu. Kerongkongannya tiba-tiba tercekat. Merasai atmosfer tak biasa saat bersama lelaki yang sangat dihormatinya itu. Ini kali pertama Shaqi berbincang sangat serius dengan Ammi Ilham. Jika biasanya hari-hari yang lalu obrolan mereka selalu diselipi dengan candaan dan diakhiri dengan tarikan pipi, Shaqi oleh yang berhasil, karena gemas.
"Satu hal yang mesti Shaqila tepati sama Ayah, kalau nanti Shaqi sudah nikah dan jadi istri. Shaqila nggak boleh lupain Ayah ya, Nak," peringat Ammi Ilham.
Shaqila mengangguk. "Pasti Ayah. Mana mungkin Shaqi akan lupa sama Ayah dan Biya," tukas Shaqi meyakinkan.
Ammi Ilham tersenyum lega. Selangkah lagi tanggung jawabnya sebagai Wali Shaqila akan usai, nanti setelah dia mengucap ijab pada Shaqi untuk Azra.
"Sekarang ceritain sama Ayah, sejak kapan Shaqila suka sama Azra?"
Shaqila tiba-tiba salah tingkah. Jika ditanya sejak kapan. Dia bingung menjawabnya. Karena rasa itu datangnya tiba-tiba. Shaqi tidak ingat kapan pun kali pertama memendam cibta di dalam diamnya. Namun dia masih hapal sekali, pernah lalu Azra menjemputnya di kampus. Meski hanya sebatas dipindahkan Ammar yang berhalangan waktu itu. Shaqila puas dadanya ngilu setiap kali melihat beradu pandang dengan Azra. Apalagi saat Azra memberikan perhatian kecil seperti; membukakan pintu mobil, atau mengajaknya ke tokoh buku dan membelikan Shaqi beberapa n****+ yang sudah lama diincar.
Shaqila juga heran. Padahal Ammar pun sering diperlakukan seperti itu, tetapi Shaqi yang biasa saja, berbeda dengan Azra. Atau mungkin karena dengan Ammar, Shaqi sudah lebih dulu dekat, sedang dengan Azra sejak dia anak-anak, Azra memang agak jauh. Tidak akan membuka atau mengobrol jika tidak Shaqi dulu yang memulai.
Lalu, tiba-tiba mereka berinteraksi dan bersikap Azra yang Shaqi anggap sangat manis. Lebih dari itu, yang menarik perhatian Shaqi adalah ketekunan Azra dalam ibadah. Lagi-lagi Shaqi bingung. Meski Ammar juga lebih tekun dari Azra, tapi dia lebih berbeda. Mungkin ini yang disebut rahasia takdir. Rezeki, jodoh dan maut, semua sudah tertulis jelas di Arasy-nya Allah. Jodoh itu ibarat pohon yang memiliki banyak cabang, demikian tetap pada satu akar, yaitu takdir.
Abdullah Azra Zaid. Lelaki tiga puluh satu tahun itu kerap Shaqi disebut dalam tahajjudnya di sepertiga malam. Berpostur tegap, gagah, dan garis rahang dan bibir yang melengkung sempurna, membuat perempuan pun pasti akan mudah jatuh hati.
****
Ammar berjalan tergesa dengan langkah cepat memuju gedung kelas pondok pesantren menjadi biasa menjadi pengajar tempat waktu. Sesuai dengan janjinya akan datang ke sini untuk menemani Buya Zaid.
Tadi Budhe Ganiyah juga menelpon, ia mengatakan itu Buya Zaid ingin membicarakan sesuatu dengan Ammar.
Pesantren yang bergantung di kota Gresik telah banyak berubah. Jika dulu para murid dan pengajar masih menerapkan sistem Salaf, tetapi sekarang sudah bertransformasi menjadi ponpes modern.
Pondok Pesantren Salafiyah adalah sebutan bagi pondok pesantren yang mengkaji kita kuning atau kitab kuno. Pesantren salaf identik dengan pesantren tradisional (klasik) yang berbeda dengan pesantren modern dalam hal metode pengajaran dan infrastrukturnya. Di pesantren salaf, hubungan antara Kyai dengan santri cukup dekat secara emosional. Kyai terjun langsung dalam menangani para santrinya.
Pada dasarnya, pesantren salaf adalah bentuk asli dari lembaga pesantren itu sendiri. Sejak munculnya pesantren, format pendidikan pesantren adalah bersistem salaf. Kata salaf merupakan bahasa Arab yang berarti terdahulu, klasik, kuno atau tradisional. Seiring berkembangan zaman, tidak sedikit pesantren salaf yang beradapasi menjadi pesantren modern.
Di depan gerbang terdapat plang besar dengan tulisan Pesantren Al-Istiqomah. Di empat ini juga dulu kedua orangtua Ammar bertemu sebagai jodoh.
P
esantren yang terletak di perkampungan Arab, atau Pulopancikan. Mayoritas penduduk Pulopancikan memiliki wajah khas arabian. Sejarah tentang kampung Pulopancikan dulu saat Waliyullah Maulana Malik Ibrahim, atau mendapat sebutan Maulana Magribi, karena beliau berasal dari Khasan, negeri Iran, salah satu tokoh Wali Songo, pertama kali mendaratkan kakinya di kampung tersebut dan mulai menyebarkan ajaran Islam pertama kali di tanah Jawa.
"Assalamualaikum..."
Wa'alaikumussalam, Gus Ammar, dawuh Kyai disuruh langsung ke Ndalem."
"Maturnuwun Pak Rahmat."
Ammar memarkir mobil tepat di depan Ndalem, setelah mendengar penjelasan Pak Rahmat, petugas keamanan yang berjaga di depan gerbang masuk.
Berangkat bakda isya dari Surabaya menuju kota Gresik, Ammar menempuh waktu dua puluh menit dari Tol Gunungsari.
Usai memarkir mobil, Ammar terdiam sejenak. Mengingat jika malam ini Abi-Ummi dan Azra juga sedang pergi ke rumah Ammi Ilham dengan maksud dan tujuan.
Ammar menghela napas sejenak, kemudian beringsut turun dan menuju ruangan.
Mengayun langkah. Ammar kemudian mendorong pintu kaca dan bergegas masuk.
"Assalamualaikum Buya..."
"Wa'alaikumsalam..."
Ammar agak terkejut saat mendengar sahutan salam bukan hanya dari Buya dan Budhe Ganiyah, tetapi dari beberapa orang, ternyata sedang ada tamu di sana.
Memonitor satu orang tamu yang duduk di sofa, dan Ammar terpaku saat mendapatkan seseorang yang dikenal. Senyum diterbitkan saat pendapat mereka beradu. Ammar segera mendekat dan membantu orang tersebut.
"Pak Hanif ..."
*************** *************
Catatan kaki:
Dawuh Kyai = Titah / perintah Kyai
Maturnuwun = Terima kasih