Bab 8. Bertahan dengan Pernikahan yang tidak Bahagia

1089 Words
"Kenapa kamu diem aja, Mas Wiliam? Kalau kamu ngerasa gak bahagia dengan pernikahan kalian, kenapa kamu masih bertahan sampai sejauh ini?" tanya Nova. William seketika mengusap wajahnya kasar dengan kedua mata terpejam. "Entahlah, saya juga gak tau. Kenapa saya masih bertahan sampai sejauh ini, ya?" Dahulu, ia begitu mencintai istrinya. Selly adalah primadona di kampusnya. Kecantikannya yang luar biasa membuat para lelaki berlomba-lomba untuk mengejar cintanya, tapi hanya ia yang mampu menaklukan hati wanita itu. Sebuah kebanggaan baginya kala itu dan William segera mempersunting Selly agar tidak ada pria yang mengejarnya lagi. Namun, pernikahan mereka tidak seindah yang ia bayangkan. Selly adalah wanita yang perfeksionis. Wanita itu bukan hanya mempedulikan kecantikan dan bentuk tubuhnya yang ideal saja, tapi istrinya itu pun terkesan abai akan kebutuhannya dan kurang dalam memperhatikan suaminya sendiri. Tidak hanya itu saja, wanita yang memiliki kecantikan yang luar biasa dan hobi mengkoleksi barang-barang mewah itu pun menolak untuk memberinya keturunan. Ia benar-benar merasa tidak habis pikir, mengapa dirinya masih mempertahankan pernikahannya sampai detik ini? "Apa kamu terlalu cinta buat melepaskan istri kamu, Mas Willi? Maaf, bukan maksud aku buat memprovokasi kamu, Mas. Aku juga gak bermaksud buat merusak rumah tangga kamu, tapi kamu keliatan tertekan," ujar Nova. "Aku liat, istri kamu cantik banget, tapi kecantikan itu gak ada yang abadi, Mas Willi. Seiring dengan berjalannya waktu, usia kita akan semakin bertambah. Wajah kita akan keriput, rambut juga akan memutih, dan itu sesuatu yang pasti. Kalau kita udah tua, siapa lagi yang akan menemani kita nanti selain anak-anak kita kelak. Emangnya kamu mau menghabiskan masa tua di panti jompo?" "Tunggu, Nov! Dari mana kamu tau kalau istri saya cantik?" tanya William mengerutkan kening. Nova menggaruk kepalanya sendiri seraya tersenyum cengengesan. "Eu ... itu, Mas Will. Aku liat di media sosial kamu, hehehe!" "Kamu ngepoin media sosial saya?" Nova menganggukkan kepala masih dengan senyuman yang sama. "Astaga, Novariyanti. Buat apa kamu kepo sama kehidupan pribadi saya? Lebih baik kamu gak tau apa-apa biar kamu gak sakit hati. Walau bagaimanapun, pasti rasanya sedih dijadikan yang kedua." Nova kembali duduk di sofa dengan wajah datar. "Ya mau gimana lagi, Mas Will. Itu udah jadi resiko aku. Kenapa kita gak dipertemukan dari dulu coba?" William melakukan hal yang seperti wanita itu, ia duduk tepat di samping Nova lalu meletakan kepalanya di atas pangkuan wanita itu. Kedua matanya pun perlahan mulai terpejam. Rasanya benar-benar nyaman, ia jarang sekali melakukan hal seperti ini bersama istrinya sendiri. "Jadi gimana, kamu mau nggak lahirin anak buat saya?" tanyanya dengan nada suara lemah. "Mau, asalkan kamu nikahi aku dulu. Meskipun aku bukan wanita baik-baik, tapi aku gak mau ngelahirin anak di luar nikah. Apa kata keluargaku di kampung nanti?" jawab Nova seraya memainkan rambut William. "Nikah siri mau?" William kembali membuka kedua matanya. "Kita gak mungkin menikah resmi, istri saya gak bakalan kasih izin, Sayang." "Hmm! Aku pikir-pikir dulu deh." "Hmm! Saya ngedadak ngantuk, Nov. Boleh ya saya tidur seperti ini?" Nova menganggukkan kepala seraya tersenyum ringan. William kembali menutup kedua matanya. Sementara Nova menatap wajah William lekat, telapak tangannya perlahan mulai menyentuh alis pria itu, memainkannya sekejap lalu menyentuh kedua matanya yang terpejam. Tidak hanya itu saja, hidung mancungnya pun tidak luput dari sentuhan lembut jemari seorang Novariyanti. Andai saja mereka bertemu sedari dulu, mungkin ia tidak perlu menjadi kupu-kupu malam. Mengapa Tuhan terlambat mempertemukan mereka? Ia pun tidak pernah berpikir bahwa dirinya akan menjadi orang ketiga di dalam rumah tangga orang lain. "Ya Tuhan, dosaku sudah terlalu banyak. Mengapa Engkau menambah dosaku dengan mempertemukan aku sama Mas William dan menjadi orang ketiga di rumah tangga mereka? Sudikah Engkau menerima tobat hambamu ini, Tuhan?" batin Nova, kedua matanya seketika berkaca-kaca hingga akhirnya buliran bening itu kembali bergulir tanpa terasa. *** Keesokan harinya tepat pukul 07.00 WIB. Tubuh William seketika menggeliat di atas sofa, kedua matanya pun mulai berkedip pelan dan beraturan saat sinar matahari yang berasal dari jendela yang sudah terbuka terasa hangat membasuh wajahnya. Pria itu mendenguskan hidungnya saat aroma masakan tercium membuatnya seketika terasa lapar. "Hmm! Baunya enak banget," gumam William seraya membuka kedua matanya. William terdiam sejenak seraya menatap langit-langit ruang tamu kediaman Nova. Meskipun semalaman ini ia terlelap di sofa, tapi tidurnya benar-benar nyenyak. Ia bahkan bermimpi indah. Tubuhnya pun terasa segar, padahal dirinya hanya tidur selama beberapa jam saja. William perlahan mulai bangkit lalu duduk tegak seraya menatap ke arah dapur. "Bau masakannya enak banget. Sebenarnya Nova lagi masak apaan sih?" decak Willi lalu bangkit kemudian berjalan ke arah dapur. Pria itu seketika tersenyum lebar saat melihat Nova tengah berdiri tepat di depan kompor yang sedang menyala. Tubuhnya pun nampak dibalut menggunakan celemek berwarna merah. "Kamu lagi masak apa, Nov? Baunya enak tau," tanya William berjalan menghampiri lalu berdiri tepat di belakang wanita itu. "Kamu udah bangun, Mas? Aku masakin nasi goreng spesial buat kamu, ada ayam goreng juga. Bentar lagi matang ko," jawab Nova menatap sejenak wajah William lalu kembali menatap wajan berisi nasi goreng. "Kamu bisa masak juga?" William memeluk wanita itu dari arah belakang, kepalanya pun nampak disandarkan di bahunya. "Lumayanlah, kata ibuku di kampung. Wanita itu harus bisa masak biar kalau punya suami nanti, dia gak perlu buang-buang duit buat makan di luar," jawab Nova. "Kata ibuku, pastikan perut suamimu selalu kenyang." "Tapi, saya 'kan banyak duit, mau makan setiap hari di luar pun duit saya gak bakalan habis." "Emangnya kamu suami aku?" Nova mematikan kompor lalu memutar badan hingga mereka berdiri saling berhadapan. William tersenyum ringan, lalu meraih pinggang wanita dan membawanya duduk di atas meja dapur. Nova sontak melingkarkan kedua tangannya di leher pria itu, kedua matanya pun nampak lekat dalam menatap wajah tampan seorang William. Telapak tangan William perlahan mulai bergerak menyentuh lalu mengusap satu sisi wajah Nova seraya melayangkan senyuman. "Gimana, apa kamu mau nikah siri sama saya?" tanyanya lirih. "Kalau kita udah nikah, saya akan beliin kamu rumah yang lebih besar dari ini. Saya juga bakalan beliin kamu mobil baru." Nova memutar bola matanya ke kiri dan ke kanan seolah tengah berpikir sebelum akhirnya menjawab pertanyaan William. "Hmm! Gimana, ya. Sebenarnya sih aku mau, tapi--" "Tapi apa? Kamu takut ketahuan sama istri saya?" Nova menganggukkan kepala dengan wajah datar. "Kamu tenang aja, istri saya gak akan tau masalah ini. Nanti saya cariin kamu rumah yang jauh dari sini biar saya bisa bebas ketemu sama kamu tanpa takut ketahuan." Nova menganggukkan kepala lalu mengecup singkat bibir William. Sampai akhirnya, suara ketukan di pintu seketika mengejutkan mereka, apalagi ketika suara seorang wanita terdengar berteriak lantang menyerukan namanya seraya mengetuk pintu kasar. "Nova, buka pintunya. Aku tau kamu ada di dalam! Novaaaaa ...." Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD