"Anda kenapa, Tuan?" tanya Nova seraya mengusap punggung William.
"Tolong jangan banyak tanya dulu, Nov. Saya cuma pengen tenang. Eu ... boleh ya malam ini saya nginep di sini?"
Nova mengurai pelukan lalu mengangguk pelan seraya tersenyum ringan. William menggenggam telapak tangan wanita itu lalu membawanya masuk kemudian menutup pintu dan menguncinya. Keduanya berdiri di belakang pintu seraya menatap wajah satu sama lain, satu kecupan singkat pun seketika mendarat di bibir masing-masing.
"Aku buatin minum dulu, Tuan. Muka Anda pucat," sahut Nova hendak melangkah.
"Tunggu, Nov," pinta William membuat Nova seketika menahan langkahnya. "Jangan panggil saya Tuan dong, apalagi bicara formal begitu."
Nova tersenyum ringan. "Terus, aku harus manggil Anda dengan sebutan apa?"
"Hmm ... panggil saya Mas, Mas Willi."
Wajah Nova seketika memerah tersipu malu. "Mas Willi?"
"Iya, Mas Willi. Kenapa? Kamu keberatan manggil saya dengan sebutan Mas Willi?"
"Nggak, aku gak keberatan ko," jawab Nova. "Aku ambilin minum buat kamu dulu ya, Mas Wi-lli."
William tersenyum lebar seraya menganggukkan kepala. Nova kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda sementara William menatap sofa berwarna hitam yang baru ia beli siang ini. Pria itu pun melangkah mendekati sofa lalu berbaring di sana.
"Nah, kalau kayak gini 'kan gak bakalan kapalan b****g saya," decaknya berbicara sendiri. "Gak salah saya pilih sofa, benar-benar empuk dan nyaman."
"Kamu bicara sama siapa, Mas?" tanya Nova kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi segelas air putih.
"Ini sofanya nyaman banget, harga emang gak pernah bohong." William bergegas bangkit lalu duduk tegak.
"Emangnya harga sofa ini berapa?" tanya Nova seraya meletakan apa yang ia bawa di atas meja.
"55 juta," jawab Willi santai membuat Nova seketika merasa terkejut hingga kedua matanya membulat.
"What? Harga sofa ini 55 juta?"
"Gak usah kaget gitu kali, uang segitu tuh gak ada artinya buat saya, Nova."
"Seharusnya kamu beli sofa yang biasa aja, Mas Willi. 55 juta itu gak sedikit lho."
Willi menarik telapak tangan Nova hingga tubuh wanita itu terjatuh tepat di atas pangkuannya. Telapak tangannya perlahan mulai bergerak naik mengusap satu sisi wajahnya membuat jantung Nova seketika berdetak kencang. Apalagi, tatapan mata William begitu sayu dalam menatap wajahnya.
"Harga segitu itu gak ada artinya dibandingkan dengan kebahagiaan dan kepuasan yang udah kamu berikan sama saya, Sayang," lirih William membuat perasaan Nova meleleh karenanya. "Jujur, hidup saya itu membosankan, Nova. Setiap hari saya cuma kerja, kerja dan kerja. Rasanya capek, benar-benar capek, tapi setelah saya ketemu sama kamu, rasa capek saya hilang."
"Dasar gombal," decak Nova seraya memalingkan wajahnya ke arah lain juga menahan diri agar tidak tersenyum. "Ternyata, kamu pinter banget ngegombal ya, Mas. Hatiku sampe meleleh lho ini."
"Hahahaha! Saya gak lagi ngegombal, Nova. Saya serius."
"Tapi, Mas. Kalau istri kamu sampe tahu kamu kayak gini, gimana?"
William seketika bergeming. Telapak tangannya pun mulai turun dari wajah wanita itu. "Saya minta jangan pernah membahas dia saat kita lagi berdua kayak gini. Mood saya berantakan tiap kali saya inget dia."
Kali ini Nova yang bergeming seraya menatap wajah tampan seorang William. Sebenarnya, ada apa dengan pernikahannya? Apa pria itu merasa tidak bahagia dengan mahligai rumah tangga yang tengah dia jalani dengan istrinya, itu sebabnya William mencari kesenangan di luar? Lantas, apakah dirinya hanya dijadikan pelarian saja? Batin Nova mulai menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.
"Sekarang, hanya ada kita berdua. Saya dan kamu, saya gak mau kita membahas orang lain ketika kita lagi berdua kayak gini, paham?"
Nova menganggukkan kepala seraya melayangkan senyuman manis. Saking manisnya membuat Wiliam tidak tahan untuk tidak mendaratkan bibirnya di bibir merah muda yang selalu saja terlihat menggoda. Ciuman panas pun seketika tercipta, tidak hanya kecupan singkat seperti yang mereka lakukan sebelumnya.
"Saya mau minta tolong sama kamu, Nov," bisik William sesaat setelah mereka melepaskan tautan bibir masing-masing.
"Kamu mau minta tolong apa? Katakan aja, Mas. Aku pasti akan mengabulkan apapun keinginan kamu," jawab Nova seraya mengusap ujung bibir Wiliam yang basah karena saliva. "Apa kamu mau malam ini kita bercinta sampe pagi?"
"Kalau itu pasti, Sayang," jawab William seraya mengecup tengkuk Nova. "Lahirkan anak buat saya, Nov."
Nova seketika terperanjat. "Apa? A-aku gak salah denger, 'kan?"
"Kalau kamu mau ngelahirin anak buat saya, maka saya akan memberikan apapun yang kamu mau," ujar William. "Kamu mau apapun pasti akan saya kasih. Kamu mau rumah besar, uang, mobil bahkan kalau kamu mau pesawat pun akan saya kasih."
Nova yang semula duduk di pangkuan William seketika bangkit lalu berdiri tepat di depan pria itu. "Ka-kamu pasti bercanda, 'kan? Kamu lagi mabuk, ya? Omongan kamu ngaco tau, Mas."
"Saya emang lagi mabuk, tapi bukan mabuk alkohol. Saya mabuk cinta ... sama kamu." Wiliam tersenyum lebar dengan kepala mendongan menatap wajah cantik seorang Novariyanti.
"Kamu gila ya, Mas. Kenapa kamu minta aku buat lahirin anak kamu. Kamu 'kan punya--" Nova seketika menahan ucapannya tatkala mengingat apa yang diucapkan oleh William sebelumnya yang mengatakan bahwa mereka tidak boleh membahas orang lain selain mereka berdua.
"Istri saya gak mau punya anak, padahal kami udah menikah 10 tahun," jelas Willian melanggar sendiri apa yang ia larang.
"Maksud kamu?" Nova seketika mengerutkan kening seraya duduk tepat di samping pria itu.
"Dia gak mau hamil karena takut tubuhnya melar, dia takut wajahnya gak cantik lagi kalau dia ngelahirin anak buat saya."
Nova mengusap wajahnya kasar dengan kedua mata terpejam lalu kembali menatap wajah William "Maksud kamu, kalian ngejalani program Child Free, begitu?"
William menganggukkan kepala seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Tapi kenapa harus aku, Mas Willi? Kamu bisa cari bibit unggul. Maksud aku ... eu ... aku ini siapa? Aku cuma seorang pela--" Nova terpaksa menahan ucapannya karena William tiba-tiba saja berdiri tegak lalu meletakkan jari telunjuknya di antara bibir wanita itu.
"Stttt! Saya mohon jangan ngomong kayak gitu, Nov," pinta William.
"Emang kenyataanya seperti itu, Mas Willi."
"Itu dulu, Sayang. Anggap saja pekerjaan kamu itu cuma masa lalu."
Nova menggigit bibir bawahnya keras seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Sekarang kamu milik saya, kamu tinggalkan dunia malam dan bertobatlah sama Tuhan."
"Apa Tuhan bersedia menerima tobatnya wanita kotor seperti aku?" Nova kembali menatap sayu wajah William.
"Apa kamu gak tau? Tuhan punya lautan maaf, Tuhan akan menerima tobat hambanya yang bersungguh-sungguh ingin berubah," jelas Willian seraya meraih lalu menggenggam telapak tangan Nova. "Saya memang bukan orang suci, Nova. Saya juga manusia yang penuh dengan dosa, tapi saya juga pengen berubah agar saya bisa punya keturunan dan saya pengen kamu yang lahirin anak saya karena saya cinta sama kamu."
"Terus, bagaimana sama istri kamu, Mas Willi? Kalau aku bersedia memberi kamu keturunan, apa kamu juga bersedia menceraikan dia?"
Wiliam seketika bergeming
Bersambung