Nova seketika menundukkan kepala seraya tersenyum getir. "Anda gak boleh membuang berlian yang sangat berharga hanya demi batu krikil seperti aku, Tuan. Aku gak ada apa-apanya dibandingkan sama istri Anda yang cantik itu," lirihnya merasa rendah diri. "Kalian sudah lama berumah tangga, masa ia Anda rela melepas Mbak Selly demi aku?"
"Saya mohon jangan bicara formal sama saya, Nov. Saya gak suka," protes William. "Satu lagi, kamu itu bukan batu krikil. Kamu sangat berharga di mata saya, Nov. Sungguh!"
Nova memejamkan kedua matanya sejenak lalu kembali menatap wajah William. "Jangan bercanda, Tuan William. Aku pernah menaruh harapan sama Anda, aku pernah menggantungkan hidupku sama Anda, tapi apa? Semua itu cuma mimpi, mimpi indah yang singgah sesaat dan menghilang saat aku bangun dari tidur panjangku. Aku gak akan terjebak untuk yang kedua kalinya."
"Astaga, Nova. Harus berapa kali lagi saya ngomong sama kamu, saya rela melepaskan istri saya demi kamu!"
"Terus, kenapa gak Anda lakuin lima tahun yang lalu, hah?" Nova mulai menaikan nada suaranya. "Anda diem aja waktu aku diseret sama madam Lee karena di sana ada istri Anda? Anda diam aja waktu aku dimaki sama madam Lee karena Anda gak bisa memilih antara aku dan istri Anda, 'kan? Sekarang Anda bilang rela melepas istri Anda demi aku? Anda pikir aku akan percaya, gitu?"
William seketika bergeming. Kejadian itulah yang paling ia sesali selama ini. Mengapa dirinya diam saja saat madam Lee menyeret bahkan memaki dan menampar wajah wanita yang ia cintai hanya karena istrinya berada di sana saat itu.
Andai saja ia bertindak gentle man, mungkin dirinya tidak akan pernah berpisah dengan Nova. Mungkin ia tidak perlu menjalani hidup dengan sangat kesepian dan tersiksa usai kandasnya hubungan mereka. Ia bahkan sudah mencoba untuk melupakan Nova dan meraup kembali rasa yang telah hilang kepada istrinya sendiri, tapi hasilnya sia-sia. Nova benar-benar telah mencuri seluruh cintanya dari sang istri hingga habis tidak bersisa.
"Maafin saya, Nov. Saya ngaku salah, seharusnya saya nggak diem aja waktu itu. Seharusnya saya nolongin kamu, seharusnya saya gak bersikap pengecut dan membiarkan kamu--"
"Cukup! Kata maaf Anda terlambat, Tuan. Malam itu aku terpaksa melayani laki-laki gendut bahkan dia memaksa aku buat--" Nova tidak kuasa untuk meneruskan ucapannya.
Mengingat kejadian malam itu seakan membangkitkan kembali luka lama yang sudah ia kubur dalam-dalam sampai ke dasar jurang. Beruntung, Tuhan menitipkan bayi di rahimnya kala itu. Madam Lee memintanya untuk menggugurkan kandungan itu, ia bahkan dipaksa untuk meminum obat penggugur kandungan, tapi Tuhan berkehendak lain, Novia kian kokoh bertahan di rahimnya hingga anak itu dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan selamat dan sehat walafiat.
"Lebih baik Anda pulang dan jangan pernah balik lagi ke sini," pinta Nova kembali membuka kedua matanya.
"Nggak, saya pasti akan balik ke sini, Nov. Saya pengen ketemu lagi sama Novia," tolak William tegas dan penuh penekanan. "Saya pernah kehilangan kamu satu kali dan saya gak akan pernah menyia-nyiakan kamu lagi."
William berdiri tegak dan hendak melangkah.
"Tunggu, Tuan William," pinta Nova membuat pria itu sontak menahan langkahnya dengan perasaan senang. Ia pikir Nova berubah pikiran dan bersedia menerimanya kembali.
"Apa kamu berubah pikiran, Nov? Kamu mau menerima saya lagi?" tanya William seraya tersenyum lebar.
Nova tersenyum sinis lalu melakukan hal yang sama seperti pria itu. Ia melangkah memasuki kamar lalu kembali beberapa saat kemudian dengan membawa jaket kulit yang dahulu sempat dipinjamkan oleh Selly.
"Aku cuma mau ngembaliin jaket istri Anda, Tuan," ujarnya seraya menyerahkan jaket tersebut. "Aku bahkan belum sempat berterima kasih karena dia udah nolongin aku waktu itu."
William merubah raut wajahnya. Senyuman yang semula mengembang di kedua sisi bibirnya pun seketika sirna. Pria itu hanya bergeming tanpa menerima apa yang diberikan oleh Nova hingga wanita itu harus meletakkan sendiri jaket tersebut di telapak tangannya.
"Pergilah, aku gak mau ngeliat wajah Anda lagi," pinta Nova seraya berbalik memunggungi William. "Anda hanya membangkitkan luka lama yang sudah aku kubur."
Ucapan terakhir Nova sebelum wanita itu melangkah memasuki kamar di mana Novia putrinya berbaring. Buliran bening seketika mengalir deras dari pelupuk matanya. Telapak tangannya pun perlahan mulai naik menutup mulutnya sendiri agar suara isakan itu tidak sampai terdengar oleh William yang masih berdiri di tempatnya.
Rasanya benar-benar sakit, hatinya bagai diiris beribu-ribu pisau tajam ketika ia harus merelakan cintanya untuk yang kedua kalinya. Ia bisa saja menerima William kembali, tapi dirinya belum siap tersisihkan untuk yang kesekian kalinya. Walau bagaimanapun, ia hanyalah batu kali yang tidak pantas bersaing dengan mutiara seperti wanita bernama Selly.
"Saya pasti akan balik lagi ke sini, Nov. Saya gak akan pernah menyerah untuk mendapatkan kamu dan Novia." Suara William terdengar tegas dan penuh penekanan sebelum akhirnya, suasana benar-benar hening sebagai pertanda bahwa pria itu telah meninggalkan kontrakan sempit tempat di mana Nova dan putrinya tinggal.
Nova yang semula berdiri seketika terduduk lemas di atas lantai dengan tubuh gemetar. Suara isakan yang semula ia tahan pun akhirnya pecah memekikkan seraya memukul-mukul dadanya sendiri berharap dapat mengurangi rasa sesak yang tengah ia rasakan. Novia yang sedang terlelap pun seketika terjaga. Anak itu perlahan mulai bangkit dan duduk tegak seraya mengusap kedua matanya sendiri.
"Ibu," rengeknya menatap sayu wajah sang ibu. "Kenapa Ibu nangis?"
Novia merangkak menghampiri ibunya lalu memeluknya erat. Nova tetap tidak kuasa menahan isak tangisnya, wanita itu balas memeluk tubuh sang putri seraya menangis sesenggukan.
"Maafin Ibu, Via," lemahnya, hanya kata itu yang mampu ia ucapkan.
"Ibu jangan nangis terus, aku sedih kalau liat Ibu nangis kayak gini."
Nova kembali mengurai pelukan seraya mengusap kedua matanya juga memaksakan diri untuk tersenyum. "Iya, Sayang. Ibu janji gak akan nangis lagi. Maaf ya, gara-gara Ibu kamu jadi bangun. Sekarang kamu tidur lagi, ya."
"Eu ... Ayah mana, Bu? Apa dia udah pulang?"
Nova seketika bergeming.
"Jadi Ayah beneran udah pulang, ya? Yaaaah! Padahal aku masih pengen sama Ayah."
"Novia," lemah Nova seraya mengusap kedua sisi wajah putrinya. "Pria tadi itu bukan Ayah kamu, Nak. Berhenti memanggil dia Ayah."
"Tidak, dia Ayah aku, Bu."
"Kata siapa dia Ayah kamu?"
Novia tiba-tiba saja meletakan telapak tangan sang ibu di dadanya. "Kata hatiku, Bu. Hati kecilku mengatakan kalau Ayah William itu Ayahku. Ibu gak bakalan ngerti sih!"
Nova kembali memeluk tubuh putrinya erat.
"Ya Tuhan, apa itu artinya Novia benar-benar darah dagingnya Mas William? Novia bisa merasakan siapa Ayahnya? Apa mereka punya ikatan batin antara Ayah dan anak?" batin Nova, buliran bening kembali luruh dari kedua matanya.
Bersambung