Bab 19. Siapa Ayah Novia?

1039 Words
William melangkah memasuki kontrakan sempit yang hanya menyediakan empat ruangan, satu ruang depan, kamar dan dapur berukuran satu meter tepat di depan kamar mandi ukuran kecil. Hati seorang William merasa terhenyak. Wanita bernama Nova rela meninggalkan dirinya demi hidup miskin seperti ini? Batin William merasa tidak habis pikir. Pria itu hanya berdiri tepat di depan pintu seraya menatap ruangan sempit itu. "Turunin aku, Yah. Aku mau bobo, aku ngantuk banget," rengek Novia seraya membuka mulutnya lebar-lebar. "Kamu mau bobo di mana, Sayang?" tanya William seketika menimang Novia layaknya sedang menggendong bayi. "Di karpet itu aja, Yah, tapi udah gini aja deh, ditimang kayak gini lebih enak," jawab Novia tersenyum lebar merasa senang. "Baiklah, Ayah bakalan nimang kamu sampe kamu bobok, ya." Novia menganggukkan kepala lalu memasukkan jempol ke dalam mulutnya sendiri dan mengemutnya. Pelupuk mata gadis kecil itu perlahan mulai terpejam, tidak perlu menunggu terlalu lama, ia pun terlelap seketika. William menatap lekat wajah Novia, satu sisi bibirnya pun ditarik ke arah samping tersenyum kecil. Tanda sadar, kedua matanya seketika berkaca-kaca. Sebenarnya siapa ayah dari anak itu? Apakah dia darah dagingnya? Hal tersebut sedikit membuatnya ragu mengingat bahwa bukan hanya dirinya saja yang pernah tidur dengan ibu dari anak itu. Namun, hati kecilnya merasakan sesuatu yang aneh yang tidak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata. Nova yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya bisa menghela nafas panjang seraya menatap wajah William, kedua matanya teralihkan kepada Novia yang sudah terlelap di dalam gendongan pria itu. Nova berjalan menghampiri dengan wajah datar. "Lebih baik Anda pulang, Tuan. Novia aku tidurin di kamar dulu," ujarnya segera meraih tubuh putrinya dari gendongan William. "Hati-hati, Nov. Nanti dia bangun, kasihan Novia," pinta William seraya mengernyitkan dahinya. Nova tidak menanggapi ucapan pria itu, ia bergegas memasuki kamar lalu membaringkan tubuh putrinya di atas kasur yang tergerai di atas lantai. Wanita itu terdiam sejenak seraya mengusap kepala Novia yang tengah terlelap, jari jempol yang sedang dia emut pun ia tarik keluar lalu menutup tubuh kecilnya menggunakannya selimut. "Saya mau bicara sama kamu, Nova," ujar William tiba-tiba saja sudah berdiri diluar kamar. Nova memejamkan kedua matanya sejenak sebelum akhirnya berdiri tegak lalu memutar badan. "Lebih baik Anda pulang sekarang, Tuan William," pintanya sinis. Bukannya menanggapi ucapan wanita bernama Novariyanti, yang dilakukan oleh William adalah meraih lalu menarik telapak tangan wanita itu dan memaksanya keluar dari dalam kamar. "Anda mau ngapain, Tuan? Lepasin aku!" pinta Nova seraya menepis kasar telapak tangan William. "Izinkan saya buat bicara sama kamu, Nov. Ada banyak yang pengen saya tanyain sama kamu." "Apa yang pengen Anda tanyakan sama aku, Tuan? Apa Anda mau bertanya siapa ayah dari anakku?" "Ya, itu salah satunya," jawab William. "Tapi masih ada lagi pertanyaan lainnya, Nov. Duduklah, gak baik bicara sambil berdiri kayak gini. Lagian, saya tamu lho di sini, kamu gak mau nyuguhin saya minuman? Saya haus lho." Nova menghela nafas kasar, lalu kembali berbalik dan berjalan ke arah dapur, sementara William nampak tersenyum lalu duduk di karpet tipis yang tergerai di atas lantai. "Aku cuma punya air putih," ujar Nova kembali ke ruangan depan dengan membawa segelas air putih. "Gak apa-apa, meskipun cuma air putih, pasti rasanya bakalan manis kalau kamu yang bikin," jawab William seraya meraih gelas tersebut lalu meneguk isinya hingga habis tidak bersisa. "Duduklah, Nov. Saya janji akan segera pergi dari sini setelah saya menanyakan beberapa hal sama kamu." Nova lagi-lagi menghela nafas kasar lalu duduk dengan menyandarkan punggungnya di tembok. Wajahnya nampak pucat, bagian depan rambutnya pun agak basah karena ia sempat membasuh wajahnya di kamar mandi. William menatap lekat wajah Nova, bahkan sangat lekat seakan tengah mengobati rasa rindunya kepada wanita itu. Ya, meskipun rasa rindu itu tidak sepenuhnya terobati hanya dengan menatap wajahnya saja. "Bagaimana kabar kamu, Nov? Saya gak nyangka bisa ketemu lagi di sini," tanya William memulai percakapan. "Seperti yang Anda liat, aku baik-baik aja," jawab Nova datar. "Tidak, bagi saya kamu gak terlihat baik-baik aja, Nov," lirih William, tatapan matanya tidak beranjak sedikitpun dalam menatap wajah cantik Nova. "Kamu meninggalkan saya cuma buat hidup miskin kayak gini? Kamu punya banyak uang, kenapa kamu tinggal di tempat seperti ini dan berkerja sebagai petugas kebersihan?" "Uang?" Nova tersenyum hambar. "Semua uang haram itu udah aku sumbangkan ke yayasan sosial. Terus, Anda mau aku terus bekerja sebagai p*****r, begitu?" "Bukan seperti itu maksud saya, Nov! Jangan salah paham dulu," ujar William seraya menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan wanita itu. "Saya seneng kamu udah gak kerja kayak gitu lagi, saya juga bahagia karena takdir mempertemukan kita lagi, tapi hati saya sakit ngelihat kamu hidup kayak gini, Nov." "Hidup kayak gini yang gimana maksud Anda, Tuan William yang terhormat? Aku seneng bekerja sebagai petugas kebersihan. Bagiku, pekerjaan ini lebih terhormat dibandingkan dengan pekerjaan aku yang dulu." Nova seketika menundukkan kepala. Mengingat masa lalu membuat hatinya sakit. Bagaimana jika Novia sampai tahu apa pekerjaan ibunya dahulu? Putrinya itu pasti akan kecewa kepadanya. Terlebih, Novia terus saja menanyakan siapa ayah kandungnya. Nova tentu saja tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan setiap saat oleh sang putri karena dirinya melayani banyak pria di masa lalu. Ia sendiri tidak tahu benih pria mana yang berhasil membuahi sel telurnya hingga membuatnya hamil dan melahirkan buah hati yang sangat ia sayangi. "Kembalilah sama saya dan memulai hidup baru yang lebih baik, Nova," ujar William, tatapan matanya nampak lurus menatap ke depan, sementara Nova duduk tepat di sampingnya. "Jadi simpanan Anda, begitu?" Nova seketika menoleh dan menatap wajah William dari arah samping. William sontak melakukan hal yang sama hingga kedua mata mereka saling bertemu menatap satu sama lain. Telapak tangan William perlahan mulai naik lalu mengusap satu sisi wajah wanita yang sangat ia cintai. Nova sontak memejamkan kedua matanya saat lembutnya telapak tangan William terasa hangat menyentuh permukaan wajahnya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia begitu merindukan belaian pria itu. Namun, Nova kembali membuka kedua matanya seraya menurunkan telapak tangan William. "Lebih baik Anda pulang, aku gak mau jadi orang ketiga dalam pernikahan Anda, Tuan. Istri Anda udah menolongku lima tahun yang lalu, aku gak berani menusuk dia dari belakang," ujarnya seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. "Saya udah gak tahan hidup sama dia, Nov. Pernikahan kami seperti di neraka, kalau kamu kembali sama saya, saya janji akan menceraikan istri saya, demi kamu!" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD