"Dasar gila!" umpat William merasa murka. Pria itu seketika berdiri tegak lalu hendak membuka pintu rumah.
"Kamu mau ke mana, Mas Will?" tanya Nova sontak melakukan hal yang sama.
"Saya mau nyusulin di g***o sialan itu," sahutnya dengan rahang mengeras kesal. "Sebelum dia nyakiti kamu, saya yang akan ngehajar dia duluan. Enak aja, emangnya dia siapa berani ngatur-ngatur hidup kamu, hah?!"
Nova kembali memeluk tubuh William seraya terisak. "Aku mohon jangan, Mas. Kamu gak tau seberapa kejamnya dia. Aku gak mau kamu sampe kenapa-napa, aku gak mau dia nyakiti kamu juga, Mas."
William memejamkan kedua matanya sejenak lalu kembali mengurai pelukan seraya mencengkram kedua sisi bahu Novariyanti juga menatap wajahnya tajam. "Dengerin Mas, Sayang. Gak ada yang bisa nyakiti Mas termasuk di g***o b******k itu. Mas punya uang, Mas cuma mau memperingatkan dia supaya gak nyakiti kamu, Nov."
"Percuma aja, Mas Willi. Kamu gak akan bisa peringatin dia, yang ada dia bakalan ngebongkar perselingkuhan kamu sama aku," lemah Nova seraya menundukkan kepala, air matanya masih bergulir deras dari kedua matanya. "Aku gak mau hidup kamu hancur juga gara-gara aku. Gimana kalau publik sampai tau kalau kamu selingkuh sama seorang p*****r kayak aku, Mas? Kamu ini pengusaha terpandang, harga diri kamu bisa hancur. Aku gak mau nama baik kamu sampe tercoreng gara-gara aku."
William terdiam sejenak lalu kembali memeluk tubuh Nova erat, bahkan sangat erat. Satu kecupan pun mendarat di ujung kepalanya. Rasanya benar-benar sakit luar biasa saat mengetahui bahwa wanita yang ia cintai diancam nyawanya. Terlebih, Nova masih memikirkan nama baiknya di saat hidupnya sendiri sedang dalam tekanan.
"Kamu tenang, ya. Mas akan baik-baik aja, Sayang. Mas juga pastikan kalau si b******k itu gak akan pernah nyentuh kamu," lemah William mencoba untuk menenangkan. "Gimana kalau kamu pindah dari rumah ini? Mas akan carikan apartemen buat kamu, Nov. Tinggal di apartemen lebih aman karena gak sembarang orang bisa masuk ke sana."
Nova menganggukkan kepala seraya melingkarkan kedua tangannya di punggung William. Mengapa sulit sekali terlepas dari dunia malam. Niatnya memang sudah bulat, sudah sejak lama ia ingin hidup normal dan bertobat, tapi ternyata tidak mudah lepas dari wanita bernama madam Lee yang merupakan orang pertama yang memperkenalkan dunia penuh dengan dosa itu kepadanya. Madam Lee juga yang selalu mencarikan klien VIP untuknya.
"Sekarang Mas lapar, Nov. Kita sarapan sekarang?" tanya William kembali mengurai pelukan, telapak tangannya perlahan mulai bergerak naik mengusap kedua sisi wajah Nova yang benar-benar membanjir. "Udah, jangan nangis lagi, Sayang. Ingat, kamu gak sendiri. Kamu punya saya, Sayang. Saya berjanji akan melindungi kamu. Oke?"
Nova menganggukkan kepala seraya menatap sayu wajah William Brawijaya, seorang pengusaha kaya raya yang terang-terangan mengatakan bahwa dia mencintainya tanpa rasa jijik. Tidak peduli sekotor apapun tubuhnya, tak peduli sekotor apapun kehidupan yang selama ini ia jalani, pria itu dengan tulus memberikan cinta bahkan menghujaninya dengan limpahan kasih sayang juga memastikan hidupnya aman dan tidak kekurangan.
"Makasih, Mas Willi. Terima kasih karena kamu udah hadir di hidup aku. Aku janji, akan meninggalkan dunia malam, aku janji akan bertobat dan menjalani hidup aku dengan normal bersama kamu," lirih Nova, perasaanya sudah mulai tenang.
"Sama-sama, Sayang," jawab William, satu kecupan kembali mendarat di keningnya lembut dan penuh kasih sayang.
***
Malam hari tepatnya pukul 19.00, suara ponsel seketika berdering nyaring mengejutkan Nova yang tengah berbaring di atas ranjang di kamarnya. Wanita itu pun bangkit lalu meraih dan menatap layar ponsel. Nama madam Lee terpampang nyata di layar ponsel. Nova menggigit bibir bawahnya keras seraya menggenggam ponsel yang masih meraung-raung tanpa henti.
"Ya Tuhan, madam nelpon lagi," decaknya merasa bingung. "Aku lupa kalau malam ini dia minta aku datang ke Club."
Nova tidak memiliki pilihan lain lagi selain mengangkat sambungan telpon karena ponsel tersebut sama sekali tidak berhenti berdering. Wanita itu menekan tombol berwarna hijau lalu meletakan ponsel tersebut di telinganya.
"Halo, Mam," sapa Nova gemetar.
"Kamu di mana, Nova? Astaga! Ini tamu kamu udah nungguin dari tadi!" bentak madam Lee penuh emosi.
"Ma-maaf, Mam. Aku masih gak enak badan, kata Dokter malam ini aku harus istirahat di rumah, Mam."
"Jangan bohong kamu! Aku tau kalau kamu gak beneran sakit, kamu cuma pura-pura sakit, 'kan?"
Nova terdiam sejenak seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Pokoknya aku gak mau, aku tunggu kamu di Club sekarang juga. Kalau nggak ..." Madam Lee manahan ucapannya sekejap. "Kalau nggak, aku bakalan kasih tau keluarga kamu di kampung kalau uang yang kamu kirim ke mereka adalah uang haram, uang hasil kamu ngejual diri!"
"Jangan, Mam. Aku mohon jangan kasih tau mereka tentang hal ini, aku mohon!" Nova mulai terisak.
"Kalau kamu gak mau ibumu kena serangan jantung karena tau anaknya jadi p*****r, kamu temui tamu pertamamu di hotel Maradona kamar 201. Kalau kamu gak datang juga, maka aku pastikan ibu dan sodara kamu di kampung akan mati karena serangan jantung, paham?" Ucapan terakhir madam Lee sebelum wanita itu menutup sambungan telpon.
***
Di tempat yang berbeda, William baru saja menghadiri meeting penting di restoran yang berada di salah satu hotel berbintang lima di pusat kota Jakarta. Klien pentingnya pun baru saja meninggalkan meja. Namun, pria itu masih duduk bersama Tommy asisten pribadinya.
"Saya ada tugas penting buat kamu, Tom," pinta William kepada sang asisten yang berdiri tepat di sampingnya.
"Saya siap menerima tugas dari Anda, Pak Bos," jawab Tommy patuh.
"Cariin saya apartemen di daerah Selatan. Saya mau apartemen yang punya standar keamanan tinggi," titah William.
"Baik, Pak Bos."
"Satu lagi, kalau bisa apartemennya udah siap huni. Berapapun harganya gak masalah, yang penting kamu dapetin apartemen itu secepatnya."
"Siap, Pak Bos."
William menganggukkan kepala lalu meraih gelas berisi jus jeruk kemudian meneguknya pelan.
"Maaf, Pak Bos. Dari siang Nyonya Selly nelponin saya terus, dia nanya semalam Anda tidur di mana?"
"Terus, kamu jawab apa?" William menoleh lalu menatap wajah Tommy.
"Saya bilang aja gak tau, Pak Bos."
"Bagus."
"Tapi, Pak. Eu ... Nyonya Selly meminta saya buat jadi mata-mata Anda." Tommy yang mengenakan kemeja berwarna putih seketika menggaruk kepalanya sendiri seraya tersenyum cengengesan.
"Hah? Istri saya meminta kamu buat jadi mata-mata dia?" Kedua mata William seketika membulat. "Maksud kamu, dia meminta kamu buat ngelaporin setiap gerak gerik saya dan apapun yang saya lakuin, begitu?"
"Betul, Pak Bos."
"Astaga!" decak William tersenyum lebar, beberapa detik kemudian senyuman itu pun berubah menjadi tawa nyaring. "Hahahaha! Dasar kocak, sejak kapan Selly peduli sama saya, hah? Sejak kapan dia peduli dengan kegiatan saya dan apa yang saya lakuin di luar? Bukannya dia selalu sibuk sama kehidupannya sendiri, ya?"
"Mohon maaf jika apa yang akan saya katakan ini menyinggung perasaan Anda, Pak Bos."
William seketika menghentikan suara tawanya lalu kembali menoleh dan menatap tajam wajah sang asisten. "Emangnya kamu mau ngomong apa, hah? Ngomong aja gak apa-apa, saya gak akan kesinggung ko."
"Sepertinya, Nyonya mulai curiga sama Anda, Pak Bos. Biasanya feeling seorang istri itu kuat dan gak pernah salah. Sekali lagi saya mohon maaf jika perkataan saya menyinggung perasaan Anda."
"Maksud kamu, Selly udah mulai curiga kalau saya selingkuh?"
Tommy menganggukkan kepala dengan wajah datar
Bersambung