03. Awal Mula Semua Itu

2016 Words
Richard mengurut kepalanya perlahan saat sejak tadi Emilia terus saja berbicara hal yang tak jelas seolah memarahi dirinya. Jika didengarkan dengan seksama Emilia memang memarahinya karena kesalahannya sendiri, ia lupa datang keacara yang sudah Emilia persiapakan jauh-jauh hari untuk merayakan tiga tahun hubungan mereka. Ia tak mengingat itu sama sekali, yang ada dalam pikirannya malam itu ia hanya perkumpul dengan teman-teman kerjanya di sebuah bar, begitu banyak minum hingga ia mabuk dan tak sadarkan diri. Pagi harinya ia terbangun karena Emilia menggedor pintu kamar apartemennya itu, bahkan gedoran itu mengundang para tetangga untuk mengintip sesaat. Richard yang merasa tahu bahwa ia salah tak bisa berbicara apapun, ia hanya mendengarkan Emilia yang mengomel tanpa menjawabnya. Emilia berteriak sangat keras, ia ingin menutup telinga rasanya tapi itu tak mungkin karena akan membuatnya semakin marah. “Aku harus pergi ke kantor sekarang, Sayang,” ucap Richard sambil ia mengambil pakaian dari dalam lemari dan memakainya. “Semua laki-laki sama saja, menganggap bahwa perayaan itu tak penting,” kata Emilia masih berkacak pinggang dan menampakkan wajah datarnya. Richard hanya bisa menghembuskan napas, ia salah ia menyadari hal itu. Jika dibandingkan dengan teriakan sang ibu ucapan Emilia memang tak ada apa-apanya, bahkan masih terkesan tenang. “Aku harus apa supaya kau memaafkanku? Aku sudah meminta maaf, bukan?” tanya Richard, kini ia memegang kedua pinggang Emilia dan menatapnya dengan lekat sembari tersenyum. Emilia mengalihkan wajah, seolah tak ingin menatap Richard lebih dalam lagi, tapi itu membuat Richard dengan mudah mencium pipi kirinya yang sangat lembut. Meskipun tak begitu nampak tapi Emilia sedikit tersenyum, bibirnya terangkat yang menciptakan garis. “Aku pergi dulu, ya. Nanti malam kita makan bersama, di Restoran biasa, aku akan memesan untuk kita,” sambung Richard kemudian melepaskan pegangannya pada pinggang Emilia dan berjalan keluar pintu apartement. “Kalau kau sampai lupa, lebih baik kau tak usah kembali!” teriak Emilia saat Richard sudah berjalan menjauh, ia membiarkan Emilia di sana untuk menutup pintu apartementnya. Menjalin hubungan dengan perempuan yang berkarir sebagai Bankir bukan hal yang mudah, apalagi saat menyadari bahwa sifat perempuan yang selama lebih dari dua tahun bersamanya itu kadang terlalu posesif, Richard berpikir seperti itu karena merasa bahwa terkadang Emili melarangnya untuk melakukan ini dan itu, melarangnya untuk berkumpul dengan teman-temannya yang sudah bersama sejak kuliah, padahal yang ia lakukan hanya meminum dan melakukan hal biasa layaknya lelaki pada umumnya. Dua tahun lebih menjalin hubungan, melakukan pekerjaan dan rutinitasnya biasa, tanpa sedikitpun ingin menjalin hubungan dengan perempuan lain selaim Emili, ia tak ingin semuanya menjadi kacau dan rumit. Jika ia berselingkuh ia akan kehilangan dua  hal, pekerjaanya dan juga kekasihnya. Bagaimana tidak, pekerjaan yang ia lakukan kini pemberian dari orangtua Emili lebih tepatnya setelah lulus kuliah Richard menganggur dan ayah Emili memintanya menjadi kontraktor, ia merasa bisa melakukan hal itu dan uang yang ia dapatkan cukup banyak dari sana, makan dari itu ia tak ingin melepaskannya. Jika ia kehilangan pekerjaan, ia tak akan tinggal di apartemen lagi dan kemungkinan terbesar adalah kembali hidup bersama dengan ibunya di kampung. Itu tidak akan mungkin terjadi, ia tak bisa lagi bertani ataupun mengurus kebun, ia sudah melakukan hal itu 18 tahun lamanya, selama itu ia merasa kerja paksa seolah di jajah bangsa asing. Berlebihan memang jika ia mengatakan itu padahal yang memaksanya sang ibu. “Laki-laki itu harus bekerja, itu kodratnya, jangan jadi laki-laki lemah yang bisanya hanya merokok sambil sambil bermain ponsel di kamar.” Begitu kata sang ibu saat ia tengah membajak sawah dengan mesin, saat itu tengah musim tanam padi. “Maksudnya seperti mantan suami Ibu dulu?” tanya Richard ia seolah menjawab apa yang ibunya katakan. “Itu juga laki-laki yang sudah membuatmu,” ucap sang ibu lagi. “Aku tak mau menyebutnya Ayah. Karena dirinya aku harus membajak sawah saat ini, jika ia ada dan bertanggungjawab mungkin aku bisa bermain game bersama-temanku,” ujar Richard. “Jangan banyak membual, kerjakan saja!” seru sang ibu. Kemudian saat Richard tahu bahwa apa yang ia katakan pada sang ibu itu menyakiti hatinya ia tak lagi membicarakan apapun tentang laki-laki yang seharusnya ia panggil ayah. Itu pertama kalinya ia melihat ibunya yang galak dan begitu tegar menangis, mungkin mengurus dirinya sendiri bukan pilihan yang baik, tapi apa yang bisa ia lakukan selain menerima kenyataan bahwa laki-laki yang tak pernah ia tahu namanya itu meninggalkannya. Perempuan selalu begitu, termakan kata-kata manis laki-laki yang pandai bersandiwara, bukan iming-iming ingin dinikahi karena itu terasa hambar di negara yang membebaskan hubungan tanpa ikatan pernikahan, tapi yang diterima perempuan adalah kata-kata yang harus ditebalkan tentang bertanggungjawab. Ibunya sempat mengatakan bahwa ia harusnya tak lahir kedunia karena hendak diaborsi, bukan laki-laki itu yang meminta tapi karena ibunya bingung harus melakukan apa jika ia lahir, saat itu sang ibu tak memiliki pekerjaan yang sesuai, ibunya bekerja serabutan karena memang hanya lulusan sekolah menengah pertama, tapi kemudian neneknya yang kini sudah meninggal mengatakan untuk mengurus ladang mereka yang sudah tak lama terbengkalai. Neneknya juga mengatakan untuk tidak mengaborsi dirinya, lalu beberapa bulan kemudian sesuai kehamilan normal ia pun lahir dan diberinama Richard Sam, entah nama belakang Sam itu dari mana, padahal ia saja tak memiliki nama keluarga Sam, mungkin ibunya hanya sekedar memberinama tanpa memikirkan arti dari nama sebenarnya. Pada usia lima tahun neneknya meninggal, ibunya menjadi orang yang cukup keras juga bertambah kuat. Dengan meninggalnya sang nenek, ibunya mengurus semua sendiri termasuk ladang dan sampai ia masuk sekolah di sekolah yang diperuntukan bagi anak-anak orang kaya, ibunya berpendapat agar ia memiliki kehidupan yang jauh lebih baik dari keluarganya dan juga laki-laki yang harusnya ia panggil dengan sebutan ayah. Mulai sekolah dasar hingga lulus sekolah menengah atas ia memiliki banyak teman dan juga kenalan hingga ketika ia masuk kuliah, ia tak perlu bingung lagi mencari uang karena mendapatkan beasiswa, tapi bukan karena kepintarannya melainkan dirinya yang pandai mengambil hati banyak orang termasuk kepala sekolah di tempatnya. Ibunya tak perlu lagi memikirkan mencari uang untuknya, tapi kemudian yang membuat sang ibu marah saat tahu bahwa beasiswanya hampir saja dicabut karena nilainya terus-terusan tak mencapai hasil yang maksimal setiap semesternya. “Jika kau dikeluarkan dari kampus, kau harus kembali bekerja di ladang!” Richard masih ingat dengan jelas seruan ibunya itu meskipun lewat ponsel. Walaupun begitu ia bisa melewati semua hal itu dengan baik, nyatanya ia tetap mendapatkan beasiswa sampai lulus dan mendapatkan gelar sarjana dalam lima tahun, menganggur satu tahun dan kini bekerja sebagai kontrakor yang menangani banyak pembuatan gedung-gedung di kota. Setelah pertengkaran pagi dengan Emili kini ia sampai di tempat di mana ia bekerja, ia di sana hanya melihat-lihat dan mungkin ada yang perlu ia urus. “Tuan Richard, saya sudah menunggu,” ujar seorang laki-laki yang berperawakan tubuh tinggi tambun dengan kulit kepala plontos yang tertutup helm proyek berwarna putih, ia juga memberikan helm yang sama pada Richard. “Apa saya begitu penting untuk proyek ini, Pak Santos?” tanya Richard. “Anda terlalu merendah. Mari kita lihat pembangunannya,” kata laki-laki yang dipanggil Santos tadi oleh Richard. Richard mengindahkan apa yang dikatakan Santos kemudian mengikutinya dari belakang. Richard mendengarkan apa yang dikatakan Santos sambil ia terus memperhatikan bangunan, mengatakan apa yang harusnya dilakukan jika ada hal-hal yang kurang tepat dalam pembangunan itu. Saat meninjau hal itu, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi, ia merogoh benda yang ada dikantongnya, kemudian menepi untuk mengangkatnya. Telpon dari ibunya yang mengatakan bahwa harus pulang dalam waktu dekat karena akan ada upacara doa dihari kematian sang nenek. “Pak awas!” teriak seorang pegawai pada Richard, tapi ia tak mendengarkannya. Beberapa orang lalu berteriak dengan hal yang sama, hingga membuat Richard sadar, ketika sadar ia melihat keatas bahwa mendapati bahwa sebuah besi lepas dari katrol. Richard tak sempat menghidar dan kemudian dengan cepat semua hal terjadi begitu saja. Tubuh Richard tertutupi besi besar itu, darah keluar dari lukanya panggilan orang-orang untuknya tak bisa ia raih, lalu ambulan datang. *** Richard membuka matanya, terasa berat sekali, pedih. Ketika matanya sudah terbuka sepenuhnya ia merasakan silau yang ada, karena semua terlihat terang dan putih, ia kemudian mengedarkan pandangannya, tak ada apapun selain putih dan terus putih. Ia melihat tubuhnya sendiri yang kini bertelanjang, lalu menutupi area belalai gajahnya meskipun telapak tangannya tak begitu cukup menampung ukuran itu. “Ayee, kau sudah bangun ternyata,” ujar sebuah suara, suaranya cempreng dan menusuk telinga, geli sekali. Apalagi ditambah kata Aye, seolah ia sedang bertemu dengan anak-anak remaja yang terlalu gaul. “Bangun, aku tak ingat sudah tidur,” kata Richard masih saja bingung. “Aku tak bilang kau tidur, kau pingsan karena tertimpa besi, ingat?” ucap suara itu diakhiri kata tanya. “Aku ingat, jelas sekali ... tunggu dulu, kau ini siapa? Aku di mana dan kenapa aku telanjang, lihat benda ini menggantung tanpa celana dalam,” tanya Richard kini mempertanyakan semua hal yang terjadi padanya. “Apa aku sudah mati?” “Wah-wah, kau banyak sekali bertanya, aku belum belajar dari pertanyaanmu itu, bisa besok saja aku jawab,” ujar suara itu. “Aku tidak sedang melakukan ujian, berhentilah bermain, dan jangan buat suara seperti anak-anak, aku benci mendengarnya,” desak Richard. Mendengar hal itu, sebuah suara yang sejak tadi berbicara dengan Ricard menampakkan wujudnya sebagai sebuah cahaya, semakin menyilaukan mata. Cahaya itu mengaku sebagai Dewa dan mengatakan bahwa saat ini Richard berada di sebuah dimensi yang menghubungkan antara kehidupan-kematian, dimensi yang dikhususkan untuk orang-orang terpilih yang ingin memperbaiki hidupnya. “Jadi aku bisa hidup lagi?” tanya Richard. “Bisa, tapi tidak menjadi Richard lagi,” ujar cahaya yang mengaku dewa itu. “Maksudnya? Bicara yang jelas,” “Kau yang memotong ucapanku sejak tadi. Berhentilah mengomel aku bisa saja marah, kan aku dewa,” ujar dewa itu. “Sombong sekali kau dewa, entahlah aku selama ini juga tak menyembah dewa,” kata Richard. Kemudian dewa dalam balutan cahaya itu mengatakan bahwa Richard diberi dua pilihan, mati atau hidup kembali menjadi seseorang yang berbeda di sebuah tempat yang berbeda, awalnya Richard berpikir itu reinkarnasi tapi dewa mengatakan bahwa itu bkan reinkarnasi melainkan terulang kembali. Ia bisa memiliki ingatan masa lalunya, tapi ia tak lagi hidup kembali sebagai Richard yang sama. “Apa ini sebuah ujian, jika aku sudah selesai dengan kehidupan baruku aku bisa kembali menjadi Richard?” tanya Richard memotong ucapan dewa itu. “Tidak,” jawab dewa itu singkat. “Kau tak bisa kembali kesana, tapi kau bisa hidup lagi, kalau kau ingin memilih pilihan pertama yakni mati kau benar-benar mati. Aku tak mengenal sistem reinkarnasi, tapi kau boleh saja menyebutnya begitu.” Richard masih bingung dengan semua itu, ia merasa seperti bermimpi tapi itu nyata, selama ini yang ia tahu bahwa seperti itu hanya ada di film-film fantasi ataupun komik yang sering ia baca, mana mungkin dunia nyatra seperti itu, tapi ternyata ada dan benar-benar nyata. “Kalau aku memilih pilihan kedua, itu berarti aku bisa menjadi manusia lain? Bagaimana bentuknya? Jadikan aku tampan seperti Tom Hardi, kaya seperti Ellon, dan..” Ricard belum menyelesaikan ucapannya dewa itu memotong. “Dan cepatlah, aku sudah lelah menunggu, satu jam lagi pesawatku terbang ke Hawai, aku butuh hiburan.” “Kau butuh hiburan? Kau dewa apa laki-laki hidung belang?” tanya Richard. “Cepat pilih atau aku tinggalkan kau di sini, selamanya kau di sini,” desak dewa itu pada Richard. “Baiklah, biarkan aku hidup kembali dengan ingatakan ini,” ujar Richard. “Dikabulkan!” Kemudian Richard A.k.a Agras kembali terbangun, di gereja dengan teriakan kepala pengurus, karena hari sudah pagi. Rasanya ia baru saja tertidur, mungkin karena memimpi yang panjang itu yang membuat tubuhnya terasa berat dan sakit. Kini bersama dengan teman-teman lainnya ia harus bangun dan memulai hidupnya lagi. Agras ingat apa yang terjadi sebelumnya dan alasan kenapa ia sampai berada di sana, itu karena pilihannya sendiri yang menginginkan tetap hidup meskipun di tubuh yang berbeda, ia berpikir mungkin itu pilihan yang baik dari pada harus mati, ia tahu bahwa mati pasti masuk neraka,  meskipun ia tak yakin neraka seperti apa. Mungkin kini ia harus mulai menikmatinya, ia tak bisa kembali kedunianya, tak lagi bertemu dengan Emili dan juga ibunya. Padahal ia ada janji makan malam dengan Emili dan juga janji dengan ibunya, kini ia berharap semoga mereka tak menyumpahi dirinya karena melanggar janjinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD