04. Konsep Reinkarnasi dan Evolusi

2107 Words
Dalam kepercayaan Hindu, reinkarnasi atau titis adalah hal yang mereka akui, konsep adanya kepercayaan itu bahwa seseorang yang dulunya suka berbuat buruk akan bereinkarnasi menjadi bentuk lain dalam kehidupan yang lain, jika ia dalam kehidupan baru bisa berbuat baik maka reinkarnasi berhenti dan mati masuk surga atau menyatu dengan Tuhan.  Begitu juga yang diajarkan agama Budha, mereka akan terus melakukan reinkarnasi sampai menuju sebuah esensi murni yang disebut kesucian. Dari dua konsep kelahiran kembali yang saling terkaitan itu, semuanya menjelaskan bahwa suatu keburukan bisa dihapus dengan kebaikan. Dalam buku n****+, komik, film maupun kartun jepang (Anime) yang sering Richard baca dan tonton dulu, reinkarnasi bisa dilakukan jika ada hal yang ingin mereka ubah, tapi film-film itu menyajikan bahwa reinkarnasi bisa berupa bentuk lain misal hewan atau bahkan kesatria hebat dengan kekuatan luar biasa. Belum lama sebelum kejadian yang terjadi padanya, Richard pernah menonton film-film yang menjelasan bahwa mereka terlahir dengan sihir hebat yang tak terbatas seolah itu anugrah yang harusnya mereka dapatkan, jika dalam kehidupan sebelumnya mereka menderita. Namun, sayangnya si cahaya putih yang mengaku sebagai dewa itu tak mengakui adanya reinkarnasi, ia juga mengatakan bahwa sebelum ada di dunia putih dengan bertelanjang, tubuh atau raganya masih ada sampai saat ini, itu artinya Richard di bumi dalam keadaan koma, jika ia tak mati. Si dewa itu juga tak memberikannya kuasa apapun, tak ada kekuatan layaknya di film-film atau buku komik yang gemar ia baca setiap satu minggu sekali jika ia tak bekerja. Selama satu setengah tahun ia tak mendapatkan apapun, hidupnya tenang layaknya anak kecil yang benar-benar belum memiliki masalah. Masalah sebenarnya hanya ada dalam pikirannya sendiri yang belum sepenuhnya menerima keadaan itu. Hampir setiap bangun tidur dalam satu setengah tahun itu, ia selalu mencubit kulitnya untuk mematiskan bahwa ia benar-benar bangun dan bukan hanya mimpi belaka. Cubitan tangan kecil bernama Agras itu memang tak begitu sakit tapi tetap saja berasa dan ia yakin bahwa ia sadar sepenuhnya, ia tak sedang bermimpi ataupun berkhayal. Kini pada hari kesekian setelah ia terbangun pagi, ia tak ikut anak-anak seusianya dalam asrama yang sama-sama keluar untuk melakukan hal yang mereka perlu kerjakan. Hingga sinar matahari sedikit naik ia masih berada di dalam kamar, ia sudah makan dari makanan yang diantarkan ibunya kemarin sore. Ia hanya melamun tak melakukan apapun selain hanya diam dan menunggu, ia berharap mendapatkan sebuah ide, bukan untuk kembali kedunianya tapi untuk membuat ia lupa dengan semua itu. Karena sepertinya melupakan semua yang terjadi adalah hal yang paling menyenangkan. Pernah suatu waktu ia terpikirkan tentang tubuh anak kecilnya yang saat ini ia pakai. Kemana pemilik tubuh ini pergi? Kemana ketika ia berada di tubuh itu seolah ia yang memilikinya? Apa sebenarnya anak itu sudah mati dan jiwanya hilang entah kemana? Jika benar maka ia sah menjadinya penggantinya, tapi jika tidak seharusnya dalam satu tubuh itu ada ia dan Agras sebenarnya. Pikiran itu sempat mengganggunya, tapi jika ada dua jiwa dalam satu tubuh, apa seolah Agras tidak kesurupan? Sebuah kata yang dianggap kemasukan suatu entitas jahat yang disebuht sebagai iblis. “Ternak-ternak itu tak bisa memberi makan mereka sendiri, kecuali mereka dilepaskan,” ujar sebuah dari ambang pintu. Agras yang berada di dalam kamarnya menatapnya, anak seusianya yang berbicara hal itu. Agras tak percaya dengan apa yang dikatakan anak itu, yang sebenarnya ia lupa siapa namanya, padahal dulu saat usianya sama seperti saat ini ia tak pandai mengolah kata, mengajak berarti memaksa, jika tidak ia akan menariknya dengan begitu getol. “Pagi ini jadwal kita untuk memberi makan hewan-hewan itu,” sambungnya lagi. “Ah,” kata Agras lalu berjalan mendekati anak lelaki seusianya. “Hanya “ah” dan kau pasti melupakan namaku?” tanya anak laki. “Sebenarnya aku tak tahu siapa namamu dan kapan kita pernah bertemu,” ujar Agras. “Kita baru kali ini bertemu, ketua asrama yang menyuruhku untuk menemuiku, aku dari asrama pertama,” kata anak laki-laki itu sambil menunjuk sebuah bangunan asrama saat mereka sudah berada di luar. Agras menatap asrama itu, jaraknya hanya beberapa puluh meter dari asrama tempatnya tinggal saat ini. Meskipun disebut asrama tapi ia lebih memilih sebutan panti asuhan atau rumah singgah, karena banyak sekali anak-anak tanpa orangtua yang tinggal di sana, sedangkan ia tinggal di sana karena ibu dan ayahnya yang meminta dan mengatakan bahwa ia harus belajar agama lebih dengan para uskup. Pada suatu malam sebelum ia tinggal di gereja ia mendengar Vina ibunya dan Luis sang ayah tengah berkacap-cakap, mengatakan bahwa dirinya setelah bangun dari sambaran petir bersikap aneh dan satu-satunya cara adalah menyuruhnya tinggal di gereja. Dari hal itu Agras berpikir bahwa kemungkinan orangtuanya terutama Vina menganggap bahwa dirinya kemasukan sesosok iblis yang dalam artian “kesurupan”, tepat seperti perkiraannya sebelumnya. Mungkin menurut Vina dengan membawa dirinya tinggal di gereja akan membuat iblis dalam tubuhnya hilang, itu seperti terapi bagi penderita pecandu obat-obat terlarang. Tapi ia tak pernah marah dengan kerisauan Vina itu, ia tahu betul bagaimana sedihnya seorang ibu jika tahu anaknya sedang tidak baik-baik saja, termasuk ibunya dulu. Pada usianya sepuluh tahun ketika hari libur dan ia kembali dari asrama, ia bermain sepeda tak jauh dari halaman rumah, kemudian tak sengaja ia membawa sepedanya itu hingga kejalanan, naas ada mobil yang melintas dan ia pun tertabrak hingga harus koma tiga hari. Ketika bangun ia melihat ibunya dengan mata yang sembab dan wajah pucat tengah membaringkan kepalanya di ranjang tempat tidurnya.  Setelah tahu bahwa ia bangun sang ibu kembali menangis sambil memeluknya, Richard tahu bahwa itu adalah tangisan kesedihan sekaligus haru melihat bahwa anak tunggalnya masih bisa hidup, tapi kemudian yang kembali membuatnya menangis adalah saat tahu bahwa biaya pengobatan dirinya cukup mahal dan itu membuat tabungan tunjangan janda yang ibunya dapatkan dari pemerintah setiap satu tahun sekali terpakai. Sejak saat itu ia tak ingin membuat ibunya sedih dan ia harus menjaga dirinya sendiri, tapi sekarang mungkin ibunya akan sangat sedih mengetahui bahwa ia kembali kecelakaan hingga tak sadarkan diri. Entah sudah berapa lama ia terbaring koma di dunia sebelumnya, ia berharap jika ia bisa kembali tak selama yang ia jalani, karena ia begitu lama mungkin semua orang menganggap bahwa dirinya mati dan sudah di kubur bersama peti. “Kata ketua asrama kau sering sekali melamun,” sambung anak laki-laki itu. “Ah tidak juga, kepalaku terlalu penuh, aku suka berpikir tentang apapun, jadi mungkin terkesan melamun,” ujar Agras. “Aku belum tahun namamu.” “Razes, kau bisa memanggilku begitu, ayahku yang memberi nama itu,” kata anak laki-laki yang bernama Razes itu. Razes. Nama yang unik, mengingat itu Agras jadi berpikir bahwa nama itu seperti campuran kata dari negara-negara Asia Timur dan Tengah, sedikit familiar jika sering menonton film. Richard misalnya, itu nama kebanyakan dipakai orang-orang di Eropa dan beberapa negara Amerika. “Kalau aku Agras, Agrasa Ryuma,” kata Agras memperkenal dirinya. “Aku tahu ketua asrama yang mengatakan padaku,” kata Razes. Agras mengangguk, sepertinya ia mulai memiliki teman baru setelah satu tengah tahun, yang bahkan teman-teman di asramanya saja ia tak ingat satupun namanya, atau memang ia tak pernah berkenalan dengan mereka. Kemudian tak berapa lama ia sampai di tempat di mana Razes berhenti. Razes mengatakan akan memberi makan babi dan kelinci, Agras sampai terdiam, ia tak bisa membayangkan memberi makan babi dengan tumpukan makanan sisa, mengingatnya saja ia sampai muntah. Itu juga yang menjadi alasan kenapa sejak kecil tak pernah makan daging babi, hanya ia satu-satunya dari keluargnya tak memakan hewan itu, meskipun ada babi yang diternak dengan bersih ataupun semisal babi hutan yang makan tumbuhan di hutan. “Ambil embermu dan pakai ini.” Razes meleparkan ember dan sebuah kain dengan isyarat untuk menutup hidungnya, Agras bersyukur bahwa Razes tahu bahwa ia tak akan bisa tahan dengan bau dari makanan sisa itu. Tak jauh dari kandang babi itu ada sebuah tong besar yang isi di dalamnya adalah makanan babi, bentuknya tak beraturan entah makanan dan tumbuh apa saja yang ada di sana, Agras tak mau berlama-lama menatapnya, ia mengambil berganti dengan Razes sambil memberik makan hewan-hewan yang seolah tak memiliki pusar itu. Suara berisi kegirangannya masuk kedalam telinganya. Suara itu membuatnya dulu trauma, apalagi setiap paman-pamannya datang membawa babi-baik merah muda yang gemuk-gemuk untuk mengadakan pesta, baik natal, paskah maupun mendoakan kematian kakeknya. Hewan itu didapatkan dari peternakan Paman Joe, salah satu adik dari ibunya, yang juga memiliki ladang tak jauh dari rumah mereka di kampung. Pada suatu hari Agras pernah diajak Paman Joe memberi makan babi-babi itu, tapi saat tahu bahwa makanan hewan itu mengerikan, ia tak mau membantu lagi bahkan hingga ia tak mau makan lagi. Sejak tahu bahwa dirinya tak makan hewan itu, Ibunya selalu membuatkan makanan lagi seperti daging ayam maupun kalkun dari peternakan yang sama milik Paman Joe. Beberapa menit kemudian setelah memberi makan hewan-hewan itu mereka pun selesai. Ia dan Razes pun mengistirahatkan tubuhnya yang cukup lelah, karena ember berisi makanan itu itu terasa sangat berat bagi tubuh kecil Agras, padahal jika ia menjadi Richard ia bisa dengan mudah membawa dua ember dengan berlari. Selain tubuhnya yang mengecil kekuatannya juga berkurang dengan drastis. Harusnya ia meminta pada si dewa untuk tidak mengurangi kekuatannya, tapi ia malah memilih untuk tetap mengingat saat ia menjadi menjadi Richard, entah apa gunanya, ia berharap itu bermanfaat suatu saat nantinya, jika pun bisa terjadi hal itu. *** Setelah memberi makan para hewan-hewan itu, kini Agras terdiam sambil memandangi padang rumput di mana kumpulan babi dan para kelinci yang diternak di dalam kandang, ia duduk di samping Razes yang entah memikirkan hal apa. Anak yang duduk di sampingnya itu sepertinya bukan anak kecil biasa, mungkin pikirannya lebih dewasa dari anak seusianya, jika itu benar maka Razes bisa menjadi tempat terbaiknya untuk bertukar pikiran meskipun ia belum yakin jika Razes paham apa yang ia maksud. Agras duduk seperti itu sambil memandang binatang-binatang itu ia malah berpikir tentang sesuatu yang aneh. Bagaimana jalur evolusi hewan-hewan itu? Maksudnya bentu hewan di dunia ini dan dunianya persis tidak ada yang berbeda, ada anjing, kucimg, babi, kelinci juga yang lainnya. Padahal tempat keduanya berbeda. Misalnya gajah dari mamot, ayam yang katanya dari tironosaurus, atau hewan-hewan darat yang dulunya tinggal di laut karena sebuah evolusi saat gamping sudah membentu daratan menjadi benua, mereka memulai habitat barunya. Awalnya bersirip menjadi berkaki, ekor memendek dan berganti b****g. Jika hewan-hewan yang ada di depannya memiliki jalur evolusi yang sama maka ada kemungkinan buminya dengan tempat ini memiliki keterkaitan satu sama lain yang sama erat. Untung saja ia pernah sangat menyukai ilmu bumi saat sekolah menengah dulu, tapi ketika kuliah tak ada materi sepert itu, maka sangat senang saat ia membaca buku sejarah ataupun tentang masa lalu, dan kini ia harus mencari tahu bagaimana keterkaitan itu. “Raz,” panggil Agras tiba-tiba pada Razes. Razes mendengar panggilan itu dan menoleh kearah Agras yang kini sudah memandangnya. “Apa di kota ini ada tempat orang menjual buku?” “Toko buku?” tanya Razes. Agras mengangguk. “Aku tak yakin, tapi jika kau ingin membaca buku, kau bisa menggunakan perpustakaan gereja.” “Memangnya ada?” Kini Agras yang bertanya. “Ada. Aku bisa mengantarmu malam ini keperpustakaan, setelah ibadah kau bisa menungguku di depan asramamu,” ujar Razes. “Tapi apa kau bisa membaca?” Agras mengangkat kedua pundaknya. “Entah, aku tak yakin. Aku juga lupa apa aku sudah belajar membaca atau belum.” “Aku bisa mengajarimu membaca huruf-huruf volis, abjad resmi yang digunakan dalam bahasa Valgava,” kata Razes. Kemudian Razes menjelaskan bahwa membaca adalah sesuatu hal yang mustahil dikuasai anak seusia mereka, gereja bahkan mengajarkan mereka membaca saat usia mereka menginjak sepuluh tahun yang berarti satu tahun lagi, sedangkan dari kecil hingga menginjak usia mereka hanya harus belajar apa itu Tuhan dan ketuhanan itu sendiri. Tapi Razes yang baru pindah kegereja sudah belajar dengan orangtuanya. Ayah Razes sendiri mantan walikota yang memiliki ilmu dan pandai, mungkin dari situ juga pikiran Razes. Mendengar hal itu Agras begitu antusias, ia ingin membaca banyak buku, mungkin karena biasanya ia suka membaca apalagi jika Emili dan dirinya libur kadang suka bertukar bacaan, meskipun ia lebih memilih membaca komik karena bergambar ketimbang melihat rentetan tulisan dalam balutan sampul tebal yang satu bukunya bisa menyamai kaki kursi. Meskipun begitu ia tetap suka membaca, dulu sebelum keluar dari asrama tiap hari ia membaca buku apapun termasuk pelajaran karena itu memang diwajibkan, sayangnya meskipun ia suka membaca pelajaran eksak seperti matematika, kimia hingga fisika adalah hal yang paling ia benci, ia tak suka menghitung rumus, melihatnya saja membuatnya mual apalagi sampai mempelajarinya. Kadang jika melihat Emili mengurus buku keuangan kantor, angka di sana bisa membuatnya sakit kepala. Setelah selesai memberi makan hewan-hewan ternak itu dan berjanji akan bertemu lagi setelah ibadah malam mereka pun kembali keasrama masing-masing dan tak lama kegiatan makan siang pun berlangsung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD