Langit hitam menyelimuti kota Tron, gelap sekali, hingga rasanya matahari tak sanggup membuyarkan cahayanya kedunia, tertutup oleh awan-awan yang berkumpul setelah berarak beberapa waktu. Kemudian benda putih dingin jatuh perlahan satu persatu layaknya hujan air, itu hari pertama musim dingin tiba, salju turun dari gumpalan awan gelap itu. Dingin rasanya.
Agras menatap jatuhnya salju itu dari dalam gereja, ia menyandarkan lengannya di bahu jendela, memperhatikannya tanpa peduli saat uskup mengajar tentang kitab, yang bahkan sama sekali tak masuk kedalam telinganya. Hari ini ia berpikir setelah pulang ingin menggunakan matel yang beberapa waktu lalu diberikan Razes untuknya, ia belum mencobanya sama sekali hanya terus menyentuhnya.
Sejenak Agras juga membayangkan saat dirinya masih menjadi Richard dulu. Pada setiap musim dingin tiba, ibunya berhenti mengurus ladang karena tak akan ada tumbuhan yang hidup pada musim seperti itu. Ibunya akan banyak menghabiskan waktu di rumah, memasak makanan yang enak dan terus mendendangkan musim dari tape usang yang ia dapatkan di gudang sang nenek, setiap hari.
Pada beberapa minggu musim dingin ia sendiri pasti pulang kerumah, tak lagi tinggal di asrama, berbeda dengan musim panas yang meskipun libur ia harus melakukan banyak sekali pekerjaan. Mengetahui bahwa dirinya berada di rumah, sang ibu gemar memasakkannya kentang, Richard menyukai kentang goreng yang dimasak bersamaan dengan kulitnya. Ia merasa bahwa aromanya begitu harum.
Ibunya mendapatkan banyak kentang dari Paman Joe, ia biasa memanen kentang satu minggu sebelum musim dingin, ia tak bisa terlambat sedikit, karena akan banyak hewan pengerat seperti tikus yang memperebutkan kentang itu, kadang monyet pun bisa saja datang untuk di bawa masuk kedalam hutan. Mereka juga mempersiapkan untuk musim dingin.
Ibunya selalu mendapatkannya percuma, itu bukan kentang yang dibagi dengan alasan tertentu, tapi memang begitulah tradisinya. Di desanya setiap musim panen atau menjelang musim dingin saat ladang tak bekerja dan hewan-hewan tak tumbuh dengan baik, penduduk yang panen saat musim sebelumnya saling berbagi.
Selain kentang, ada juga gandum, bawang bombai, wortel juga kubis. Tapi Richard tak begitu menyukai makanan itu, karena rasa sayur menurutnya aneh, apalagi saat ia harus dipaksa memakan sayur hijau, ia selalu menolak dengan mengatakan bahwa dirinya itu bukan kambing ataupun sapi. Padahal sapi makan rumput bukan sayur.
Pada musim dingin juga bisanya keluarga ibunya mengirim doa untuk mengenang kematian sang kakek, begitu juga dengan neneknya. Selain paman Joe ada bibinya dari luar desa datang hingga menginap beberapa hari di sana. Seminggu sebelum musim dingin berakhir Agras kembali keasrama sekolah dan meninggalkan ibunya.
“Tak perlu menangis, Ibu sudah mengeluarkan banyak uang setiap tahun untuk membayar uang sekolahmu. Sekolah yang rajin, lagi pula jika kau tak ada ibu bisa mengirit makanan,” ujar sang ibu setiap kali Richard berusaha menahan diri untuk tak kembali keasrama.
“Aku ingin sekolah di kampung saja, biar lebih dekat Ibu biarpun aku harus selalu keladang,” kata Richard mencoba menarik simpati sang ibu, meskipun ia tahu itu tak akan berhasil.
“Tidak-tidak, kau harus kembali kesekolah di kota, di kampung kau hanya akan menjadi anak berandalan nantinya, didikan guru di sini hanya semaunya mereka. Ingat kau hanya perlu sekolah, ibu tak memaksa apapun nanti setelah kau lulus, tak ada pekerja kembali berladang itu tak masalah.”
Kata-kata itu yang mengantar Richard pergi meninggalkan sang ibu setiap kali hampir selesai musim dingin, ia akan berada di asrama sekolah hingga musim dingin selanjutnya, begitu yang terjadi terus menerus hingga ia selesai dengan sekolahnya. Kemudian saat sudah kuliah ia memilih banyak waktu untuk kembali ke kampung, ia bisa kembali kapanpun jika ingin menggunakan kereta api jurusan kota-kampung.
Sesampainya di kampung sang ibu tak begitu menyuruhnya untuk berladang seperti biasanya, sang ibu kadang memintanya untuk beristirahat karena pasti kelelahan terus belajar dan mengerjakan banyak tugas kuliah.
Hingga Richard lulus kuliah dan bekerja pun begitu, apalagi saat ia kembali setahun lalu bersama dengan Emili, sang ibu merasa bahagia bahwa ternyata anak yang selama ini ia kenal manja ternyata masih menyukai perempuan. Ibunya sempat berpikir bahwa Richard tak normal karena tak memiliki satu teman perempuan, padahal jikapun ia menyukai sesama jenis itu tak masalah bagi sang ibu.
“Aku normal bu, belalai gajahku masih bisa bangun jika melihat perempuan, apalagi seseksi Emilia,” ujar Richard kala itu membela dirinya, tak membela pun semua orang juga tahu, apalagi teman-teman sekolah dan kampusnya yang tahu betapa playboynya dia.
“Bagaiamana Ibu berpikir bahwa Richard tak normal, jika di kampus saja ia terkenal sebagai playboy,” kata Emili menimpali.
“Apa benar begitu, Emili? Ibu kira Richard tak menyukai perempuan karena semua temannya laki-laki datang kekampung pun bersama dengan laki-laki, meskipun Ibu tak mempermasalahkan hal itu karena jika Richard bahagia kenapa tidak.” Begitu jawaban sang ibu yang sebenarnya menggoda Richard. Emili dan sang ibu tertawa bersama seolah mereka sudah akrab sebagai mertua dan menantu, sedangkan Richard merasa bahwa dirinya pasti akan tersingkir secepat mungkin dalam kehidupan harmonis mereka.
Kenangan masa lalu tentang musim dingin masih membekas jelas di pikirannya, tentang keluarganya juga tentang hidupnya. Bahkan pernah satu kali pada musim dingin yang entah tahun keberapa, saat itu ia baru saja kembali dari asrama, Richard melihat sang ibu yang tengah berbicara dengan seorang laki-laki yang awalnya ia pikir Paman Joe, tapi ternyata bukan.
Laki-laki yang tak ingin ia kenal dan tahu itu ternyata ayahnya, ia datang bermaksud ingin mengambilnya padahal seingatnya ia saat itu masih sekolah menengah pertama. Hal yang pertama yang ia lakukan adalah menolak, Richard menolak dengan tegas bukan karena ia merasa tak kenal dengan laki-laki itu, tapi ia menganggap bahwa dirinya tak membutuhkan ayah, selama hidup bersama dengan ibunya tak ada masalah apapun, ia hidup dengan tenang dan nyaman.
Mendengar penolakan dari Richard itu, akhirnya laki-laki yang tak ingin ia sebut sebagai ayah itu pergi dan sampai ia berusia 30 tahun tak kembali lagi. Kepergian laki-laki itu membuatnya tak merasa kehilangan, karena selama ini memang ia menganggap bahwa laki-laki itu tak ada sama sekali.
Ibunya memang cerewet dan keras kepala, kadang membuatnya ingin cepat-cepat pergi dari sana, tapi bagaimana pun ibunya yang begitu baik padanya mengurusnya dan membantunya melakukan banyak hal, meskipun kadang ibunya bersikap aneh. Suka mabuk bersama dengan Paman, kadang juga dengan laki-laki di kampung yang membuat Richard geram, namun tetap saja itu tak bisa membuatnya sakit hati dan terluka.
“Hei bangun,” bisik sebuah suara yang membuat Agras terbangun dari lamunannya. “Jika kau terus melamun, uskup akan tahu hal itu dan bisa saja menghukummu.”
Agras mengindahkan apa yang dikatakan anak yang duduk di sampingnya itu dan ia pun mulai memperhatikan uskup yang tengah mengajar dan mencoba untuk membuang semua hal terkait dengan kehidupannya saat menjadi Richard dulu, karena secara garis besar ia tak mungkin kembali kesana.
Jika ia tak juga mendengarkan apa yang uskup ocehkan, ia tak ingin terkena masalah dan di hukum.
***
Vina dan Luis keluar dari kereta kuda hampir bersamaan. Saat itu musim dingin minggu kedua, sebelum datang keduanya sudah memberitahu Agras bahwa akan menjemputnya dan mengatakan bahwa selama musim dingin ia akan kembali ke rumah, sebuah tradisi yang lagi-lagi mengingatkanya pada apa yang terjadi dulu saat masih menjadi Richard.
Richard membawa barangnya yang sebenarnya hampir tidak ada, karena yang selama ini ia pakai hanya bajua asrama yang hampir setiap hari pula tak pernah berganti, yang ia ingatkan mungkin dua atau tiga kali dalam seminggu, itu tak masalah baginya karena ia saja tak melakukan banyak pekerjaan berat yang membuat tubuhnya kotor dan bau.
Setelah berpamitan dengan uskup dan teman-teman asraamnya ia pun masuk kedalam kereta kuda yang sama dengan Vina dan Luis, meskipun Agras masih sulit untuk menyebutnya sebagai orangtua. Dilihat dari mana pun kedua orang itu usianya mungkin tak jauh berbeda dengan dirirnya saat menjadi Richard dulu.
Bahkan rasanya Luis masih terlalu muda untuk menjadi seorang ayah, Agras tak pernah tahu berapa umur Luis dan Vina tapi yang pasti kemungkinan mereka berusia menjelang 35 tahunan. Mungkin setahun atau dua tahun di atasnya, bisa juga bahkan jauh lebih muda darinya. Vina saja belum memiliki raut tua dan Luis masih terlalu kekanakan.
“Dari siapa kau mendapatkan mantel yang sebagus itu?” tanya Vina lembut padanya, sangat berbeda dengan ibunya dulu yang jika tahu Richard memakai barang mahal akan menganggap bahwa dirinya mencuri.
“Razes memberikannya untukku, katanya mantel ini dari bahan khusus,” ujar Agras menjawab pertanyaan Vina.
Vina memegang kain bahan dasar mantel itu dengan jari-jarinya, ia merasakan sesuatu dari mantel yang menurutnya bagus itu.
“Iya,” kata singkat Vina. “Mantan walikota yang membuat mantel ini, bahan dasarnya dari ulat emas yang biasa disebut litos, kenapa disebut khusus karena ulat itu langka, tidak bisa diternak tapi ia hidup sendiri di suatu tempat.”
Kemudian Vina menjelaskan tentang ulat itu, habitatnya dan kehidupannya sampai dijuluki ulat termahal, satu kilo ulat itu bisa dihargai hampir lima ekor sapi meskipun Vina tak mengatakan berapa kisaran nominalnya. Selain menjadi bahan dasar kain ataupun benang, ulat itu juga bisa di konsumsi menurutnya ulat itu begitu nikah dan lezat.
Sayangnya karena harganya mahal dan langka, hanya kalangan bangsawan saja yang bisa memilikinya. Agras sendiri harusnya merasa beruntung bisa mengenakan mantel itu, ia bisa sedikit menganggap bahwa dirinya juga bagian dari bangsawan itu sendiri, meskipun tidak begitu, ia hanya anak dari seorang petani biasa, tapi sebenarnya ia sendiri tak tahu apa benar Luis dan Vina bekerja sebagai petani.
“Hampir dua tahun aku tak kembali ke rumah, apa jaraknya masih jauh?” tanya Agras disela-sela berjalanan.
“Tidak jauh juga tidak dekat jika kau bandingkan dengan berkedip,” jawab Luis. “Coba kau lihat keluar.”
Agras mengindahkan apa yang dikatakan Luis, kemudian ia membuka pintu kereta kuda yang tersekat kayu dengan tangannya, lebih tepatnya di depan Vina. Di luar masih turun salju itu jelas sekali, tak begitu terlihat pemandangan luar, lalu kemudian ia menyipitkan matanya untuk menajamkan pandangan, lalu ia sedikit tercekat dan kaget.
Mereka saat ini tengah melintas di atas lereng sebuah gunung yang sangat curam, mungkin hanya bisa di lewati dua kereta kuda seukuran dengan yang mereka naiki. Bahkan kemungkinan untuk lewat berdampingan dua kereta akan sangat sulit. Agras tak bisa membayangkan bagaimana jika sampai terjatuh dari lereng itu, mungkin bisa langsung mati.
“Apa di bawah sana banyak batu?” tanya Agras pada Luis.
“Banyak sekali, bahkan begitu curam,” kata Luis.
“Bagaimana Ayah tahu?” Agras bertanya lagi.
“Seseorang memberitahu Ayah tentang itu,” ujar Luis pada Agras yang sejak tadi terus bertanya.
“Berarti Ayah tidak tahu, bagaimana jika ternyata seseorang itu bohong pada Ayah,” ucap Agras.
“Bagaimana jika kau tidur sana, matamu akan lelah memandang keluar karena perjalanan kita masih puluhan mil.” Luis menarik tubuh Agras memposisikan kepala Agras di pahanya agar anak itu tertidur karena pernyataanya sejak tadi bukan lagi pertanyaan yang ingin dicari tahu seorang anak kecil tapi lebih dari itu.
Bukan hanya setelah tersambar petir Luis dan Vina merasa bahwa Agras berbeda, tapi sebelum itu. Keduanya yakin bahwa Agras adalah anak yang cerdas, ia memiliki kemampuan yang baik bahkan di atas rata-rata anak pada usianya. Setengah tahun belakangan uskup gereja mengatakan bahwa Agras sudah bisa membaca bahkan ia bisa berbicara dengan bahasa Lotren, yang sampai saat ini masih sulit Luis kuasai.
Seharusnya ia tak heran mengingat temannya saja Razes anak dari mantan walikota yang kini tinggal di Tablos dan menjadi pedagang yang selalu keliling kemana pun untuk berjualan, maka tak bisa dipungkiri bahwa Agras pasti belajar juga dari sana.
Lalu setelah perjalanan puluhan mil jauhnya hingga melewati lereng gunung, akhirnya mereka pun sampai di rumah sederhana di desa ujung kota. Agras bangun langsung keluar dari kereta kuda. Ketika keluar dari sana udara begitu mencekam dan dingin, jauh lebih dingin dari di Tron, ia bahkan yakin dinginnya di bawah nol derajat. Ia bisa membeku jika terus berada di luar, maka dari itu ia cepat-cepat masuk.
Vina dan Luis sedikit tersenyum melihat tingkah bocah Agras yang berlari karena merasa kedinginan itu, mungkin ia terbiasa berada di kota yang udaranya sedikit berbeda dengan desa. Wajar saja karena desa yang mereka tinggali saatr ini masih di selimuti kabut salju, selain itu juga dekat dengan gunung serta hutan yang lebat.
Sesampainya di dalam, Luis langsung menyalakan perapian agar Agras tak kedinginan lagi . Setelah perapian menyala Agras langsung duduk di depannya dan terus mendekap tubuhnya sendiri sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.
“Ibu akan membuatkanmu sup supaya tubuhmu hangat,” kata Vina pada Agras sesaat setelah perempuan itu mengusap lembut rambutnya.
Sedangkan Agras tak mengindahkannya, ia masih sibuk dengan menghangatkan tubuhnya yang masih saja terus merasa kedinginan. Jika tahu begini tinggal di asrama akan jauh lebih baik, karena sejak musim dingin tiba para pengurus memberikannya selimut tambahan juga mantel untuk orang-orang yang tinggal di sana, itu sangat menolong sekali. Ditambah dengan mantel dari Razes itu malah membuat tubuhnya merasa sedikit gerah.
Selama musim dingin pun kegiatan di gereja sedikit dikurangi, anak-anak tak dipaksa melakukan pekerjaan yang membuat mereka berada di luar ruangan terus menerus, mereka hanya boleh bermain tapi tak jauh dari gereja maupun asrama. Semua itu karena penghuni gereja termasuk Uskup dan biarawan tak ingin hal buruk terjadi pada anak-anak itu, sebab mereka adalah anak yang dititipkan bukan sebuah panti asuhan ataupun rumah singgah.